Bocah Ini Nakalnya di Luar Nalar, Balai Rehabilitasi Pun Nyerah

B-8-anak-kleptomania.jpg
(Kompas.com/Ahmad Dzulviqor)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Polsek Nunukan, Kalimantan Utara, hampir setiap minggu mendapat laporan masyarakat yang kehilangan.

Ternyata sang pelaku masih berusia 8 tahun dan B. Bahkan tercatat ada puluhan kasus pencurian selama 2 tahun yang melibatkan B.

"Kita pakai nurani ya, apa yang bisa kita lakukan terhadap anak berusia 8 tahun? Ini fenomena yang butuh solusi bersama, ini bisa dikatakan simalakama karena tidak mungkin kita menahan anak 8 tahun, tapi kalau kita lepaskan dia, paling lama dua hari kemudian ada lagi laporan pencurian masuk dan dia pelakunya,’’ujar Kapolsek Nunukan Iptu Randya Shaktika, Kamis 19 November 2020.

Dalam catatan laporan masyarakat yang dibukukan petugas Polsek Nunukan Kota, ada sekitar 23 kasus pencurian dengan nominal di bawah Rp 10 juta.

Kebanyakan korbannya adalah pemilik toko. Sementara itu, ada banyak lagi laporan lain yang berhasil dimediasi pihak Polsek.
Dijelaskan, B biasanya beraksi ketika pemilik rumah atau pemilik toko lengah.

Terakhir kali aksinya terjadi pada Selasa, 16 November 2020. B masuk ke rumah salah satu warga, memecahkan celengan berisi uang sebesar Rp. 3.350.000.

B menyisakan uang Rp350.000 lalu pergi begitu saja.

Saat diamankan petugas, B juga tidak pernah menyangkal apa yang dilakukannya.

Di hadapan petugas, ia mengakui jika uang yang diambilnya dibagikan ke teman teman sebayanya dan dipakai untuk beli rokok, dan terkadang untuk membeli barang terlarang seperti sintek atau tembakau Gorilla.

‘’Dia enggak pernah bohong, semua dia jawab jujur, cuma memang dia kleptomania dan tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya itu. Ini menjadi kebingungan kami, di satu sisi tidak mungkin kita masukkan ke tahanan, di sisi lain kalau kita biarkan bebas, masyarakat resah, kita bingung harus bagaimana?’’katanya.

Untuk sementara waktu, polisi memberi ruang khusus untuk B dan menjamin semua kebutuhan B layaknya anak angkat.

Iptu Randya mengatakan, tentu butuh tindakan khusus selain sekedar memberinya tempat tinggal di Mapolsek Nunukan.

‘’Anak usia segitu tentunya butuh main, tapi celakanya kita takutkan bisa menularkan kebiasaaan buruknya ke anak-anak sebayanya, kita khawatir akan muncul B lain lagi nanti karena dia membawa dampak buruk kepada anak lain. Sekelas Bambu Apus saja sudah menyerah, gimana kita?’’ katanya.

Balai rehabilitasi Bambu Apus kembalikan B ke Nunukan



Kasus B sebenarnya menjadi perhatian sejak akhir tahun 2019. Hal ini juga sudah dikoordinasikan dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan.

Polsek sering mengadakan diskusi tentang kasus B dengan Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA).

Puncaknya, pada Desember 2019, Pemkab Nunukan melalui Dinsos mengirimnya ke Balai Rehabilitasi Sosial di Bambu Apus Jakarta.

Namun, belum sampai 6 bulan sebagaimana waktu standar bagi proses rehabilitasi umumnya, pihak Bambu Apus memulangkan B, dengan alasan tidak sanggup membina B yang dikatakan memiliki kenakalan di luar nalar.

Sekretaris Dinas Sosial Yaksi Belaning Pratiwi membenarkan fenomena B, pihak Bambu Apus banyak melaporkan perkembangan B, namun semua dalam artian negatif yang kemudian menjadi dasar pemulangan B kembali ke Nunukan.

‘’Di Bambu Apus dia malah mencuri sepeda orang, uang pembinanya dia curi dan dia belikan rokok dan dibagi-bagi ke teman teman di sana dan banyak kenakalan lain. Anak-anak nakal yang tadinya sudah mau sembuh di sana kembali berulah dengan adanya B, itulah kemudian dipulangkan,’’ujar Yaksi.

Kenakalan B memang membuat Dinsos berpikir keras, karena bahkan B sudah sangat hapal bagaimana mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu.

Lingkungan sekitar tempat tinggalnya diduga kuat membuat anak sekecil B begitu mudah mendapat barang haram tersebut.

‘’Dia mencuri itu bukan untuk membeli barang mahal, kalau bukan buat rokok atau narkoba, dia bagikan ke teman temannya, begitu saja,’’tambahnya.

Dicekoki narkoba sejak bayi

Pengakuan mengejutkan lain terkait tingkah polah B juga dibeberkan oleh Yaksi.

Selain akibat keluarganya yang minim pemahaman akan mendidik anak, B besar di lingkungan yang kurang baik.

Ayah B sudah beberapa tahun mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) akibat kasus narkoba, sementara sang ibu tak pernah peduli karena fokus bekerja sebagai buruh ikat rumput laut untuk memenuhi kebutuhan hidup.

‘’Kita tidak bisa menghakimi mengapa B tidak sekolah, mengapa sampai segitunya kenakalannya, kadang ekonomi membuat orangtua sama sekali tidak peduli tumbuh kembang anak, yang ada adalah bagaimana bekerja biar besok bisa makan,’’kata Yaksi.

B dan ibunya hanya tinggal di kontrakan kecil di daerah pesisir.

Namun demikian, dijelaskan Yaksi, kondisi ekonomi bukan alasan B menjadi kleptomania, gaya hidup ayahnya yang dikatakannya sudah rusak, adalah faktor utama dari apa yang dilakukan B saat ini.

Dari laporan Pekerja Sosial (Peksos) yang diterima Yaksi pascadilakukan asesmen terhadap B sebelum dikirim ke Bambu Apus Jakarta, dituliskan bahwa sejak berusia 2 bulan, ayahnya kerap mencampurkan narkoba jenis sabu ke dalam susu yang dikonsumsi B.

‘’Jadi sejak bayi umur dua bulan sudah dicekoki sabu-sabu, dicampur susunya dengan sabu sabu, alasannya supaya tidak rewel. Itu membuat pola pikir anak terganggu, B kan anaknya tidak memiliki rasa sakit dan tidak ada rasa takut, tidak ada yang dia takuti, ironi sekali memang,"lanjutnya.

Awal 2021, B dibawa ke panti rehabilitasi narkoba

Yaksi menegaskan, Dinas Sosial sudah melakukan beberapa langkah terkait penanganan B.

Saat ini Dinsos Nunukan sudah melakukan koordinasi dengan Dinsos Provinsi Kaltara untuk memasukkan B ke panti rehabilitasi narkotika.

‘’Kita sudah lakukan koordinasi dengan provinsi Kaltara, karena ini akhir tahun dan terkait pembiayaan, mungkin awal tahun 2021 baru kita akan kirimkan B ke panti rehabilitasi obat obatan,’’katanya.

Masih kata Yaksi, Kabupaten Nunukan memiliki sejumlah kendala jika dihadapkan pada kasus seperti B.

Kendala pertama adalah kemampuan anggaran. Dinsos Nunukan tidak memiliki anggaran rehabilitasi, dan kendala kedua adalah nihilnya tenaga psikolog sehingga tidak pernah ada upaya konseling atau pendampingan yang dilakukan

Artikel ini sudah terbit di Tribunnews