RIAUONLINE, BOGOR - Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 22,2 juta hektar. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya. Industri sawit saat ini memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Devisa ekspor minyak sawit diperkirakan mencapai 300 triliun per tahun. Namun, besarnya penerimaan negara dari industri sawit ini berbanding terbalik dengan kondisi buruh yang bekerja di perkebunan sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan kondisi buruh perkebunan sawit berada pada kondisi kerja eksploitatif, upah murah, status hubungan kerja rentan, minim perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. “Pemerintah mestinya melihat kondisi buruh tersebut sebagai suatu hal yang sangat penting diselesaikan melalui dukungan kebijakan. Justru pemerintah banyak memberi dukungan massif terhadap indutri ini revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga meloby negara-negara konsumen”, kata Inda.
“Dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit. Regulasi yang mengatur perkebunan, Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), Kebijakan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan serta berbagai perundangan terkait sawit, secara eksplisit tidak menyentuh persoalan-persoalan penting mengenai perlindungan tenaga kerja dan jaminan hak-hak buruh perkebunan sawit”, lanjut Inda.
Herwin Nasution, ketua umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO) mengatakan perlindungan upah, tunjangan dan fasilitas yang lebih baik pada tahun 1960-an dibandingkan dengan Undang-undang Tenaga Kerja pada saat ini. “Di perkebunan sawit terjadi kelanggengan praktik eksploitatif berbentuk target kerja yang tidak manusiawi, upah murah, status hubungan kerja rentan dan kerja paksa yang berakibat pada kemiskinan struktural buruh perkebunan sawit. Pemerintah menafikan keberadaan buruh sawit sebagai ujung tombak dari industri sawit di Indonesia, khususnya perempuan yng merupakan kelompok paling dirugikan dan termarjinalisasi. Kami mendorong adanya regulasi khusus perlindungan buruh perkebunan sawit yang mengatur sistem target, hubungan status kerja, sistem pengupahan, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, mekanisme perlindungan K3 dan perlindungan terhadap kebebasan berserikat.”, kata Herwin Nasution.
Sementara itu, Slamet Ariyadi, anggota Komisi IV DPR menyatakan mayoritas buruh perkebunan sawit adalah buruh harian lepas dengan segala ketidakpastian kerja, besaran upah dan perlindungan kerja. Anggota DPR dari fraksi PAN tersebut menyatakan sebagai upaya melindungi buruh perkebunan, DPR menginisiasi RUU Perlindungan Buruh Perkebunan. “Fraksi PAN adalah salah satu pengusul RUU buruh pertanian perkebunan. Fraksi PAN berharap ada keadilan bagi buruh pertanian dan perkebunan. Regulasi ini nanti diharapkan dapat membenahi database buruh pertanian dan perkebunan yang komprehensif dan terintegrasi dengan basis data kementerian terkait. RUU dimaksud akan melindungi buruh perkebunan dengan jaminan kepastian kerja, pengupahan berbasis kebutuhan pokok, perlindungan K3 dan perlindungan perempuan dan anak”, kata Slamet Ariyadi.
Fajar Wisnu Wardani, Tenaga Ahli Utama Kedeputian 3 Kantor Staf Presiden menyatakan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) tidak secara spesifik berbicara tentang aspek ketenagakerjaan. “Tantangan terbesar di sektor perkebunan sawit adalah pengawasan. Mekanisme buyer dapat dijadikan sebagai salah satu strategi pengawasan, ini sekarang dijadikan model di industri manufaktur”, kata Fajar Wisnu Wardani.
Sawit Watch meminta RUU Buruh Perkebunan/Pertanian masuk dalam prolegnas prioritas 2021. “Kami merekomendasikan agar dibuat ketentuan yang khusus merespon kondisi buruh perkebunan sawit karena selama ini buruh mendapat perlakuan yang buruk. Pemerintah selama ini lebih banyak menerbitkan kebijakan untuk pelaku industri sawit, tapi minim untuk perlindungan buruh. Sawit Watch meminta agar RUU ini masuk prolegnas prioritas 2021 dan segera dibahas, kata Inda. (rlis)