Ahli Epidemiologi Berang ke Pejabat yang Asal Ngomong Soal PSBB

psbb-polresta.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Rencana pemerintah untuk menerapkan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemi virus corona menuai persepsi yang beragam di masyarakat. Maksud dari relaksasi di sini adalah pelonggaran PSBB. 

Sejumlah pihak mengkritik pemerintah Indonesia hanya mengedepankan urusan ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan masyarakat. Beberapa pihak juga menganggap rencana relaksasi PSBB merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok).


Herd immunity sendiri merupakan konsep epidemiologis yang dideskripsikan sebagai kondisi di mana sebuah populasi manusia sudah cukup kebal terhadap penyakit, dan dengan demikian dapat menghambat penyebaran infeksi. Namun, penerapan konsep herd immunity mendapat kritikan keras dari para ahli kesehatan masyarakat karena bisa menimbulkan banyak kematian dalam proses mencapai kekebalan tersebut.


Kebijakan herd immunity memang tak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah. Kecurigaan publik tersebut lebih disebabkan karena kebijakan yang kurang tegas dari pemerintah dalam mengantisipasi virus corona.


Menurut ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, kebingungan publik terhadap kebijakan pemerintah disebabkan oleh pejabat yang asal bicara. Pandu meminta untuk pemerintah agar berhenti asal bicara soal virus corona dan relaksasi PSBB. 

 

Pandu mengatakan, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengumumkan rencana relaksasi PSBB ke publik. Menurutnya, rencana tersebut perlu dimatangkan terlebih dulu di internal pemerintahan agar tak memunculkan polemik di masyarakat. 



"Kalau langsung dinarasikan ke publik, publik mempersepsikannya berbeda. Publik enggak boleh dibuat bingung. Jadi, pejabat-pejabat itu jangan asal ngomong aja," ujar Pandu, saat dihubungi kumparan.

Sebelumnya, pada sebuah sesi live Instagram pada Sabtu 2 Mei 2020, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut bahwa PSBB membuat orang jadi sulit keluar rumah baik untuk belanja atau bekerja, sehingga pemerintah sedang mengkaji relaksasi PSBB.


"Nanti akan diadakan sedang dipikirkan pelonggaran pelonggaran. Misalnya rumah makan boleh buka dengan protokol begini, kemudian orang boleh berbelanja dengan protokol begini, dan seterusnya," kata Mahfud saat itu.


Pernyataan tersebut pun kemudian menimbulkan kritik dari sebagian pihak yang menganggap Indonesia belum mencapai puncak pandemi, dan dengan demikian tidak mungkin dilakukan relaksasi PSBB. Pada Senin (4/5), Mahfud kemudian mengklarifikasi bahwa relaksasi PSBB lebih ditujukan dalam konteks perekonomian yang harus tetap bergerak di tengah pandemi virus corona. 


"Di berbagai tempat itu berbeda. Ada yang begitu ketat, orang mau bergerak ke sana ndak bisa, mau nyari uang ndak bisa, mau ini ndak bisa, tapi di tempat lain ada orang yang melanggar dengan begitu mudahnya," kata Mahfud. "Nah, ini yang dimaksud kemudian perlu dilakukan relaksasi."


Meski demikian, klarifikasi tersebut dianggap tidak bermanfaat, menurut Pandu Riono. Dosen dan peneliti tersebut menganggap, publik sudah kadung bingung dengan apa yang rencana pemerintah sejak pernyataan pertama yang disampaikan oleh Mahfud.


"Seperti Pak Mahfud kan (contohnya). Kalau pun dia mau klarifikasi, masyarakat sudah terlanjur dibuat bingung," kata Pandu. "Klarifikasinya jadi enggak ada manfaatnya. Orang enggak dengar klarifikasinya, orang bakal dengar apa yang pertama kali diucapkan." 

Pandu menganggap, pemerintah memang boleh merencanakan relaksasi PSBB. Namun, kebijakan untuk melonggarkan PSBB mesti didasari oleh bukti dan data bahwa pandemi virus corona telah membaik di Indonesia. 

Kebijakan relaksasi PSBB itu harus berdasar pada indikator kesehatan di Indonesia selama wabah virus corona. Indikator tersebut mesti berisi seputar apakah penambahan kasus virus corona telah mengecil dan kematian harian pasien COVID-19 telah berkurang dalam 14 hari terakhir.


Berdasarkan indikator tersebut, kata Pandu, Indonesia belum bisa menerapkan relaksasi PSBB. "Masih jauh dari itu. Masih sangat jauh," kata Pandu. 
Hingga Senin (11/5), jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia bertambah 233 orang, sehingga total kini ada 14.265 orang yang terjangkit. Dari angka tersebut, ada 991 pasien yang meninggal dunia dan 2.881 orang yang berhasil sembuh.