Ini Cara Bedakan Sesak Nafas Akibat Covid-19 dan Kesulitan Bernafas karena ISPA

Sesak-Nafas.jpg
(Shutterstock)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Covid-19 bikin penderitanya kesulitan bernafas. Namun orang tua harus bisa membedakan mana sesak nafas atau kesulitan bernafas. Dokter spesialis anak, dr Arifianto SpA, memahami kekhawatiran orang tua akan kemungkinan buah hatinya terkena Covid-19. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa kondisi di luar lebih membahayakan hingga anjuran untuk di rumah saja pun diberlakukan.

Arifianto menjelaskan, infeksi saluran pernapsan akut (ISPA) terbagi menjadi dua, yaitu ISPA atas dan ISPA bawah. Covid-19 muncul akibat virus SARS-CoV-2 masuk ke tubuh melalui reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) yang terdapat di sepanjang saluran napas bawah sampai paru-paru.

"Sehingga ketika virus masuk ke saluran nafas melalui reseptor itu maka akan menimbulkan gejala yang bisa kita rasakan pada ISPA atas, yaitu batuk dan pilek,” jelas dokter yang akrab disapa Apin ini dalam Live Instagram melalu akun resminya, Rabu (24/3).

Virus corona, menurut Apin, ada beberapa jenis. Sebelum Covid-19, coronavirus juga menjadi penyebab commond cold alias selesma yang merupakan penyakit ISPA atas yang paling sering terjadi pada anak. Salesma ini disebabkan oleh banyak virus, di antaranya rhinovirus, human coronavirus, dan respiratovirus. Ada pula virus influenza yang menjadi flu.

Kalau infeksi meluas ke telinga, terjadilah otitis media. Apin mengatakan, rhinofaringitis dan sinusitis juga termasuk bagian dari infeksi saluran napas akut. Mayoritas disebabkan oleh infeksi virus.

Ketika ISPA atas turun ke bawah, ke jaringan paru, maka muncul kondisi pneumonia atau bronkiolitis. Antara saluran napas ke bawah menuju bronkus, cabang saluran napas menuju paru disebut bronkialitis.

"Kondisi gawat darurat pada anak salah satunya adalah sesak napas," jelas Apin.

Sesak napas paling sering ditimbulkan oleh ISPA atas kemudian turun ke ISPA bawah menjadi pneumonia. Bila sebelum pneumonia, infeksinya mengenai bronkialitis.



Sesak napas ini harus dikenali oleh seluruh orang tua dengan cara melihat, bukan mendengarkan. Misalnya, ketika mendengar napas anak mengeluarkan bunyi grok-grok dan ngik-ngik, orang tua khawatir itu adalah sesak napas.

Padahal, itu belum tentu sesak napas. Bisa jadi, bunyi tersebut tercipta karena hidung anak tersumbat.

"Kalau anak hidungnya tersumbat karena ingus, tidak akan membuat sesak napas," ungkap Apin.

Ketika hidungnya tersumbat dan sulit bernapas, anak akan bernapas dengan menggunakan mulutnya. Dengan begitu, orang tua tidak perlu khawatir karena paru-paru tetap masih bisa mendapatkan oksigen seperti biasa.

Apin mengingatkan, ayah dan ibu memperhatikan frekuensi napas anaknya. Cermati apabila ada tarikan di sela-sela iga.

"Bila napas lebih cepat dari biasanya dan ditambah ada tarikan di seluruh sela-sela iga, itu dikatakan sesak napas," papar Apin.

Umumnya, pada bayi nol sampai dua bulan, napasnya dikatakan lebih cepat bila di atas 60 kali per menit. Anak usia dua bulan sampai 12 bulan, lebih dari 50 kali per menit. Anak di atas 12 bulan, napasnya disebut cepat kalau di atas 40 kali,

"Namun saya membuatnya supaya lebih mudah, misalnya anak di bawah setahun di atas 60 kali per menit, satu sampai dua tahun di atas 50 kali per menit, dan di atas dua tahun diatas 40 kali per menit,” jelasnya.

Di lain sisi, frekuensi napas cepat ini bisa terjadi pada kondisi demam. Artinya anak nafas lebih cepat belum tentu sesak napas.

Sesak napas bisa dilihat dari retraksi dada. Kalau tampak ada retraksi, cekungan di dada, saat anak bernapas, segera ke rumah sakit .

"Kalau ada tarikan di sela-sela tulang iga, harus dipastikan ke dokter untuk memastikan apakah anak alami pneumonia atau tidak,” ujarnya.

Dalam kondisi seperti ini, anak harus mendapatkan oksigen dan cairan infus yang cukup agar tidak mengalami dehidrasi. Apin menjelaskan, Covid-19 pada anak umumnya bergejala ringan, yakni batuk, pilek atau demam.

"Sebagian kecil menimbulkan gejala berat berupa pneumonia, bahkan pada orang dewasa bisa menyebabkan kematian,” jelasnya.

Artikel ini sudah terbit di Republika