Cerita Ratri dan Keluarga Sembuh dari Covid-19, Perawat yang Baik dan Adik yang Nekat Headstand/Ratri (pasien 3), Maria (2), Sita (pasien 1), dan Bhismo Kunokini (putra sulung)/Ratri
(Ratri)
RIAU ONLINE, JAKARTA-"Saya yakin saya akan sembuh," tegas Ratri Anindya—pasien virus corona nomor 03 di Indonesia—ketika diberitahu tim dokter dirinya positif terinfeksi Covid-19.
Ratri dan sang ibu tertular dari adiknya (pasien nomor 01) serta dirawat di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, awal Maret 2020. Sejak saat itu, Indonesia untuk kali pertama mengumumkan ada warganya terkena virus corona.
"Dicek dan tadi pagi saya mendapatkan laporan dari Pak Menkes bahwa ibu ini dan putrinya positif corona," demikian jumpa pers Presiden Jokowi pada Senin 2 Maret 2020 di Istana Merdeka, Jakarta.
Tak berapa lama, kakak dari pasien satu dan pasien dan dua ini dinyatakan terjangkit virus corona juga dan harus dirawat.
Sekitar dua pekan mereka dirawat di salah satu rumah sakit rujukan virus corona, RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, lalu mereka dinyatakan sembuh. Pada Senin 16 Maret mereka diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Kepada Silvano Hajid, wartawan BBC News Indonesia, Ratri Anindya menceritakan pengalamannya dan keluarga, yang disebutnya sebagai 'pengalaman luar biasa', dari mulai dinyatakan positif corona hingga akhirnya dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang membuat Ratri mau berbagi dengan masyarakat?
Ini kan statusnya wabah nasional dan dunia, terus ini juga hal baru untuk semuanya serta jadi pengalaman untuk kita sekeluarga.
Belum pernah kan alami kayak begini. Saya tahu karena ini virus baru dan masih dipelajari jadi menciptakan banyak kepanikan dan kebingungan di masyarakat.
Karena saya mengalami langsung, jadi kalau kita bisa berbagi informasi untuk mengurangi kepanikan masyarakat Indonesia saya mau berbagi.
Kondisi hari ini bagaimana? (wawancara dilakukan pada 13 Maret 2020, saat Ratri sudah dinyatakan sembuh dan akan diperbolehkan pulang-red)
Ya baik-baik saja, lucunya saya dari awal nggak ada gejala sama sekali. Jadi saya ke sini (Indonesia) sebulan yang lalu untuk liburan bertemu keluarga. Terus dua hari setelah saya landing, saya sama adik saya pergi ke restoran Paloma, Jakarta.
Dan, besoknya saya memang demam dan lemas banget. Tapi demam saya itu cuma 37,2 C terus 37,3 C selama empat hari, terus saya langsung sembuh.
Dua minggu kemudian saya dapat kabar bahwa ibu dan adik saya positif. Hari itu juga Senin, 2 Maret saya dites, terus saya disuruh pulang karena saya negatif lalu tanggal 4 Maret dipanggil kembali ke RSPI untuk tes ulang. Sejak hari itu memang saya enggak ada keluhan.
Yang ada tuh waktu saya masuk ke kamar ini, suhu kamarnya 30C, saya kepanasan semalaman saya tidur kayak begitu. Lalu besoknya susternya berusaha keras untuk mengurangi suhunya tapi tak berhasil. Lalu besoknya tiba-tiba turun ke 26 derajat.
Saat dinyatakan Anda positif, reaksi Anda bagaimana? Apa yang ada di benak Anda?
Itu jam 02.00 pagi, saya dibangunkan sama dokter dinyatakan positif. Pertama saya berpikir, "Kenapa ya jam 02.00 pagi?"... Alasannya supaya tidak bikin panik tapi namanya juga masih tidur, otak saya belum bangun.
Terus saya kayak cuma nulis report gitu, apa kejadiannya, saya kirim ke keluarga terdekat saya. Sudah itu tidur lagi karena saya ngantuk banget. Saya sih tak khawatir karena saya tahu, dari awal saya sudah mengikuti perkembangannya.
Waktu saya di Austria saya dengar berita dari Amerika bahwa memang sebagian besar persentase penyembuhannya 98,9% dan kita tak usah khawatir.
Jadi pas tahu ya sudah saya pikir nggak apa-apa positif, yang penting saya tahu. Daripada hari-hari sebelumnya, saya nanggung begitu, jadi kayak ada apa dengan badan saya. Jadi pas saya dikasih tahu, saya lega.
Berdasarkan bekal informasi itu yang membuat Anda yakin bahwa Anda bisa sembuh?
'Setelah lima hari tidak keramas, dapat kiriman sisir, bisa mandi serta keramas, felt so good'," kata Ratri Anindya pada tanggal 8 Maret 2020.
Iya saya juga yakin bahwa ibu sama adik saya bisa sembuh. Jadi pas ketahuan, itu yang bikin kita ibaratnya naik darah tinggi, kayak "kita dengarnya dari media".
Terus tiba-tiba sejam kemudian rumah kita sudah dikerubungi wartawan. Sorotan media parah banget. Lalu berbagai macam dinas kesehatan menelepon saya.
Terus saya mesti koordinasi, selama sembilan jam saya nggak berhenti telepon sama keluarga, Dinas Kesehatan dan segala macam.
Ya saya ikut saja, menurut saja, pasrah saja. Pastinya nggak mungkin bilang, saya nggak takut.
Pasti takut karena tiba-tiba dalam sehari hidup kita kayak berubah harus mengatur ini semua. Tapi kalau soal kesembuhan atau kepanikan soal kesehatannya, saya jujur nggak terlalu panik.
Karena kan saya sudah dengar 'oke memang virus ini yang bahaya adalah karena penyebarannya sangat cepat' dan adik saya itu positif tapi dia umurnya umur prima. Jadi dia pasti bisa sembuh dengan cepat.
Saya khawatir karena ibu saya lebih tua tapi setelah saya bicara sama dia, hari itu dia sudah nggak apa-apa, nggak batuk, nggak demam, dia senang diinfus antibiotik dan vitamin.
Tidak apa-apa, yang bikin tekanan darah mereka agak tinggi karena stres dengan pemberitaan di luar. Jadi akhirnya mereka matikan televisi, fokus penyembuhan.
Anda sebut, ibu diberikan infus antibiotik dan beberapa obat lainnya. Sementara Anda sendiri, apa saja pengobatan yang diberikan selama perawatan?
Setiap hari suster nanya ada keluhan apa dan lagi-lagi karena ini virus, self-limiting disease, nggak ada obat tertentu. Kita cuma istirahat, minum banyak, minum vitamin, tidur yang diperbanyak.
Waktu itu saya bilang ada batuk sedikit, itu langsung dikasih obat batuk. Saya minum, terus dua hari kemudian suster dan dokter tanya ada keluhan apa. Saya bilang batuk saya sudah sembuh, ya sudah obat batuknya tak perlu diminum lagi, kata dokter.
Suatu hari saya dikasih obat antibiotik dan saya tanya ini buat apa. Dia bilang, "Kalau virus kan tak ada obatnya tapi antibotik ini sifatnya untuk menangani. Misalnya badan kita ditambah bakteri-bakteri lain, mungkin masuk dari rumah sakit, jadi supaya badannya supaya kebal.
Saya cuma minum antibiotik tiga kali terus habis itu sudah. Jadi semuanya disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Bagaimana dengan makanan selama di rumah sakit?
Kalau soal makanan mereka baik banget. Mereka memberikan makanan dengan teratur seperti sarapan jam 6.00 atau jam 7.00, lalu jam 12.00 makan siang, lalu jam 17.30 makan malam masuk.
Terus kita dikasih asupan gizi yang benar. Saya makannya banyak, sejujurnya saya waktu itu harus minta porsinya ditambah sedikit.
Mereka benar-benar mendengarkan. Mereka telepon, "Mbak Ratri, saya dari departemen gizi, makanannya bagaimana, ada pantangan tidak?' Saya bilang tidak suka makan ati ampela, ikan juga. Jadi berikut-berikutnya, ada catatannya, saya dikasih daging dan ayam. Saya tak minum susu, ya susunya di-cut.
Selama perawatan pasti berbeda menjalani kehidupan sehari-hari. Bagaimana cara menjalaninya biar tidak bosan, tidak bisa ketemu orang juga karena diisolasi?
"Saya bawa laptop ke rumah sakit untuk kerja, karena saya independent producer untuk seni jadi bisa bekerja di mana saja," kata Ratri Anindya.
Hari pertama senang banget karena kamar Sita dan ibu itu sebelah-sebelahan dan saya di seberangnya. Jadi kita telepon-teleponan dan dadah-dadahan karena ada pintunya.
Sita sampai menangis karena sudah berapa hari kan kita di sini. Ya sudah senang saja, karena kalau ada apa-apa paling tidak saya tahu, ibu sama Sita dekat sama saya.
Tapi hari keempat dan kelima kayaknya saya mulai merasa sumpek karena pertama kayaknya udara di kamar saya itu kayaknya paling panas dibanding kamar-kamar lain.
Jadi hampir panic attack karena merasa, "Aduh berapa lama saya di sini, kapan ya keluar."
Waktu itu kan belum keluar hasilnya positif atau negatif. Tapi saya sering sekali menelepon teman, keluarga, karena mereka juga harus waspada, jadi nonstop.
Akhirnya saya bikin konten di media sosial karena tak ada kerjaan.
Saya bawa laptop karena saya independent producer untuk seni, jadi saya bisa kerja di mana saja.
Kita bertiga aktif banget. Kita olahraga stretching badan. Sita sempat usaha pengin head stand di kasur terus susternya mengingatkan dari intercom, "Mbak Sita hati-hati ya infusnya."
Saya juga suka jingkrak-jingkrak di atas kasur sambil teleponan kalau bosan, lalu dari intercomnya terdengar, "Mbak Ratri, jangan mundur-mundur lagi ya, nanti jatuh."
Seperti itu, lucu sih. Susternya pada baik-baik banget sih.
Lumayan berwarna sih hari-harinya dan lama-lama juga jamnya berasa cepat banget. Tiba-tiba sudah malam.
Oya, kan ada jadwal besuk suster dan dokternya, mereka harus pakai baju kayak astronot gitu karena masuk ruangan bervirus ibaratnya.
Jadi sesudah cek tensi, memberikan makanan dan lain-lain, terus keluar dan ketika memeriksa ke ruangan lain mereka itu ganti baju APD yang baru.
Setiap baju yang dipakai itu harus dibuang, jadi saya pikir biayanya lumayan besar untuk merawat kita.
Tadi sempat cerita ruang rawat inap Anda berseberangan dengan ibu dan Sita. Sebenarnya kondisi mereka berdua sekarang bagaimana? (wawancara dilakukan pada 13 Maret 2020)
"Sita yang memang harus paling healing, ada sedikit cairan di paru-parunya, tapi dia berangsur membaik," Ratri menceritakan kondisi adiknya sebelum diperbolehkan pulang
Sudah baik. Jadi ibu tuh hari kedua pindah ke sini sudah nggak demam, sudah nggak batuk, cuma masih diinfus beberapa hari.
Pas hari Jumat lalu infusnya sudah lepas. Jadi ibu juga merasa sudah sehat bugar banget. Akhirnya dia nyanyi nyanyi sendiri, menari-nari biar nggak bosan.
Kalau Sita, nah, dia yang memang harus paling healing, jadi ada sedikit cairan di paru-parunya, ada suara sedikit, lalu di-nebulizer pakai uap. Dalam dua hari, ia sembuh terus sisanya tinggal batuk saja sih. Tapi dari mulai masuk sudah berangsur-angsur membaik terus.
Apa yang ada di benak Anda sesudah dinyatakan hasil tes virus coronanya negatif?
Waktu dengar hasil, "oh akhirnya". Cuma begitu boleh pulang, saya minta semalam lagi untuk menemani Sita dan ibu saya.
Tentu saya senang tapi masih terpikir, "Aduh, ibu masih di sini." Penginnya, kita tiga-tiganya pulang bareng.
Rekomendasi dari dokter sih saya tinggal dulu di rumah beberapa hari sampai seminggu maksimum.
Stay di rumah dulu, stress release juga.
Ada pesan yang mau disampaikan kepada masyarakat melalui BBC News Indonesia?
Sejujurnya banyak yang panik. Setelah saya mem-posting konten di media sosial banyak yang bilang, "Aduh saya takut, Kak. Lapor sama dokter takut kayak Sita dan ibunya Kakak, sampai diekspose."
Nah, itu kan yang bahaya. Padahal sebenarnya kalau kita bisa menyebarkan informasi yang kondusif dan selama kita bisa jaga kesehatan kita bisa sama-sama melewati wabah ini.
Untuk masyarakat, pokoknya kita lakukan gerakan pencegahan saja terus.
Setiap hari rekomendasi minum air yang banyak, berjemur di matahari pagi karena virusnya nggak tahan panas.
Begitu merasa sakit sedikit, langsung saja tinggal di rumah karena kita tidak hanya tanggung jawab terhadap diri sendiri tapi juga lingkungan.
Ratri Anindya (pasien 3), Maria Darmaningsih (pasien 2), Sita Tyasutami (pasien 1). [Ratri Anindya/BBC Indonesia]
Bahaya kalau sampai menyebar ke orang lain. Kita nggak tahu orang lain itu record-nya seperti apa. Itu yang tidak diketahui karena penyebaran virus kok cepat sekali. Itu saja yang harus kita jaga.
Artikel ini sudah terbit di Suara.com