Ketika Tommy Blak-blakan Soal Kejatuhan Soeharto dan Pemerkosaan Massal

Tommy-Soeharto2.jpg
(PinterPolitik.com)

RIAU ONLINE - Hutomo Mandala Putra, anak bungsu penguasa Orde Baru, tampil sebagai pemimpin Partai berkarya dan bakal berlaga dalam Pemilu 2019 sekaligus menghidupkan kembali dinasti politik Soeharto.

Sosok yang dikenal sebagai Tommy Soeharto itu bahkan bertekad mengembalikan keyajayaan Orba, pasca 20 tahun setelah jatuhnya mantan presiden yang dikenal dunia sebagai kepala negara paling korup tersebut.

Tommy mengaku sudah banyak melakukan kunjungan ke daerah-daerah dei mendapatkan dukungan dari calon pemilih sebagai calon presiden. Bahkan, ia bepergian ke Solo untuk menerima gelar kerajaan dalam upaya meraih dukungan politik.

Bersama Partai Berkarya yang baru terbentuk, Tommy berjanji akan mengurangi kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia.

"Kami telah melalui 20 tahun reformasi, tetapi situasinya belum membaik. Utang nasional kita telah meningkat, dan kondisi kehidupan rakyat kita belum membaik secara signifikan," tutur Tommy saat diwawancarai Al Jazeera, melansir Suara.com, Selasa, 22 Mei 2018.

Namun, Tommy tak mengkhawatirkan nama sang ayah yang buruk karena skandal korupsi dan gaya kepemimpinan otoriter akan memengaruhi ambisi politiknya. “Anda lihat, banyak orang yang mengatakan rindu Orde Baru, rindu Soeharto,” klaimnya.

Padahal, Perserikatan Bangsa Bangsa dan Transparansi Internasional pernah mengungkapkan serangkaian data bahwa Soeharto mencuri lebih banyak aset neara daripada pemimpin dunia lainnya. Namun, Tommy membantah penyataan TI maupun PBB itu.

"Angka-angka itu tidak benar. Mereka bilang ayah saya memiliki miliaran dolar di Eropa, di bank Swiss... tidak ada yang memberikan bukti. Itu tidak pernah terbukti," sangkalnya.



Pada 2015, Mahkamah Agung Indonesia memerintahkan keluarga Soeharto untuk membayar lebih dari USD 400 juta yang digelapkan dari yayasan beasiswa Supersemar, tetapi uang itu tak kunjung dikembalikan.

Menurut Tommy, putusan pengadilan itu tidak praktis dan tidak memperhitungkan penutupan bank oleh pemerintah dimana banyak uang yayasan itu diinvestasikan.

"Bagaimana bisa yayasan memberikan uang kembali kepada pemerintah, jika yayasan ini menggunakan uang donor, bukan hanya (uang) dari pemerintah, dan uang ini telah diberikan kepada mereka yang menerima beasiswa?" klaimnya.

"Uang yang mereka cari (dituntut dikembalikan) adalah uang yang diinvestasikan di Bank Duta. Bank itu telah ditutup oleh pemerintah ... (dan) memiliki kewajiban lebih besar terhadap pelanggannya, tentu saja, pelanggan sedang diprioritaskan."

Dalam sesi wawancara tersebut, mempertanyakan kepada Tommy bahwa terdapat lebih dari satu juta orang Indonesia tewas dibunuh selama pemerintahan Soeharto. Sementara ribuan lainnya dipenjara tanpa proses hukum.

Soeharto menyatakan diri berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998, setelah gerakan rakyat semakin meluas menggelar aksi menuntut sang presiden turun tahta.

Lengsernya Soeharto juga dibayang-bayangi oleh tragedi pembunuhan dan pemerkosaan massal khususnya terhadap perempuan etnis Tionghoa.

Selama kerusuhan, seribu orang Indonesia diperkirakan tewas, yang diikuti dengan hancurnya pusat-pusat perbelanjaan dan rumah di ibukota Jakarta.

Setidaknya, 150 wanita etnis Tionghoa diperkosa. Kerusuhan tersebut dimulai setelah krisis keuangan Asia menyebabkan pasar saham jatuh.

Ketika tentara menembak empat mahasiswa di sebuah universitas, saat itu pula aksi pemerkosaan massa dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa semkakin meningkat.
Kerusuhan tersebut, diduga sengaja dibuat oleh rezim saat itu untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Akan tetapi, Tommy menilai kerusuhan Mei 1998 itu kemungkinan direkayasa justru untuk menyingkirkan sang ayah dari kekuasaan.

"Ini seperti sebuah film, di mana sutradara telah membuat skenario segalanya, tetapi mereka yang di lapangan hanya aktor. Jadi kita tidak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya," katanya.

Menurutnya, Soeharto pada tahun 1998 justru bertidak bijak dengan menyatakan berhenti sebagai presiden. Padahal, Soeharto bisa saja masih bertahan sebagai presiden.

"Ayah saya bisa tetap berkuasa. Sebab, masih ada pasukan militer yang siap membelanya dan untuk menjaga situasi. Tapi yang dilakukan sebaliknya, ketika Harmoko (Ketua MPR saat itu) memintanya berhenti, maka dia berhenti,” tuturnya.