RIAU ONLINE - Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto menuturkan jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan oleh DPR maka masyarakat yang aktif menyampaikan pendapat lewat media sosial akan terancam dipidana.
Damar menyebutkan sejumlah pasal pada RKUHP tersebut mengancam kebebasan berekspresi maysarakat. Di antaranya pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah, pencemaran nama baik, penghasutan melawan penguasa umum, hingga penyiaran berita bohong.
Secara khusus, Damar menyoroti tentang penghinaan presiden yang diatur pada Pasal 263-264, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dapat dijerat pidana penjara.
"Potensinya adalah, siap-siap saja, ketika RKUHP sudah ketuk palu, maka sekitar 150 juta pengguna media sosial bisa jadi pesakitan. Bisa jadi mereka kemudian dibawa ke ranah hukum untuk apa yang mereka sampaikan," kata Damar, dilansir dari CNN Indonesia, Rabu, 14 Februari 2018.
Dikatannya, pasal-pasal yang terkait dengan penyampaian pendapat di RKUHP bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut dia, pembatasan menyampaikan pendapat dalam RKUHP itu akan masuk lebih jauh ke ruang berekspresi masyarakat dan mempersempit ruang demokrasi. Terlebih, selama ini tidak ada penjelasan eksplisit mengenai perbedaan antara menghina dan mengkritisi.
Seharusnya, lanjut dia, pemerintah memberikan pembatasan yang jelas mengenai pasal-pasal yang terkait aturan menyampaikan pendapat. "Karena efeknya, bukan pada jurnalis atau teman-teman yang bekerja pada media, tapi juga masyarakat luas," tuturnya.
Sementara itu, Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan LBH Pers tak menemukan penjelasan atau definisi tegas apakah sebuah pendapat masuk kategori penghinaan, aspirasi, atau kritik kepada pemerintah. Hal ini disampaikannya setelah menginventaris pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi dalam RKUHP.
"Salah satu yang masih multitafsir dan bisa ditafsirkan subyektif oleh aparat penegak hukum," kata Gading di tempat yang sama.
Gading mencontohkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang sempat dihapus oleh Mahkamah Konstitusi namun dihidupkan kembali dalam RKUHP.
Menurut dia, rumusan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam draf RKUHP sama persis dengan yang sudah dibatalkan MK.
"Aneh sekali apabila DPR dan pemerintah memaksa pasal tersebut dihidupkan kembali. Apa landasan yuridis dan kajian ilmiahnya, pasal-pasal yang sudah dibatalkan di MK, tapi dihidupkan kembali dalam revisi KUHP," tandas Gading.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online
Follow Instagram riauonline.co.id