RIAU ONLINE - Alberto Muhammad, satu dari ribuan anak yang diambil oleh Indonesia saat menduduki Timor Leste. Makam Alberto ada di Timor Leste, tapi ternyata ia belum meninggal dunia. Alberto kembali ke Timor Leste setelah lebih dari 30 tahun dipisahkan secara paksa.
Hanya butuh waktu sekitar dua jam dari Pulau Bali ke Ibu Kota Timor Leste, Dili. Kendati demikian, Alberto tak pernah membayangkan akan menempuh perjalanan itu selama 43 tahun hidupnya.
Di Dili, kerumunan keluarga besar telah menunggu kedatangan Alberto. Bahkan, sebagian dari mereka rela bertolak dari desa ke Dili dan menempuh perjalanan selama tujuh jam demi bertemu Alberto.
Seketika Alberto langsung berlutut dan berdoa saat kakinya menyentuh aspal bandara setelah menempuh perjalanan dengan pesawat. Keluarga besar Alberto mengelilinginya. Semua ingin menyentuhnya, membelai kepalanya dan menyentuh wajahnya. Tangis haru pecah untuk Alberto.
"Saya tidak percaya berada di sini," ucap Alberto berulang kali, dilansir dari BBC Indonesia, Sabtu, 25 Maret 2017.
Alberto Muhammad disambut pelukan kakak perempuannya, Markita Ximenes (BBC INDONESIA)
Sejenak pun tak ingin dilewatkan Alberto untuk bertukar kabar. Dia ingin tahu siapa yang sudah meninggal dunia, siapa yang punya anak, dan siapa menikah dengan siapa. Dia lalu diperkenalkan dengan sejumlah anggota keluarga dan ingatannya segar kembali.
Sejatinya, keluarga Alberto sudah putus asa akan nasibnya. Alberto, bahkan diasumsikan telah dibunuh oleh militer Indonesia atau kelompok prokemerdekaan Timor Leste. Agar bisa berdamai dengan masa lalu, keluarga membuat makam untuk Alberto.
"Rohnya telah mati. Menurut tradisi kami, dia sudah bersatu dengan para nenek moyang. Karena itu, kami perlu memanggil rohnya untuk dipersatukan lagi dengan tubuhnya. Dia seperti terlahir kembali," kata adik perempuan Alberto, Markita Ximenes.
Makam Alberto Muhammad di Timor Leste (BBC INDONESIA)
Makam tak berisi itu berada di hutan dekat desa Alberto di Distrik Laga. Makam itu terletak di bagian orang-orang penganut anismisme. Nisan yang melambangkan roh Alberto bersatu dengan nenek moyang telah dibuang ke tanah.
"Ini membuat saya bahagia, betul-betul bersyukur. Saya punya kuburan di sini tapi sekarang keluarga saya telah mengembalikan saya dari kematian," tutupnya.
Di negara kecil ini, sedikitnya setiap keluarga telah kehilangan satu orang anak akibat perang. Bahkan, kematian menjadi suatu yang wajar di sini, tapi kembalinya anak yang hilang bukan sesuatu yang lumrah.
Alberto adalah satu dari 14 anak Timor Leste yang hilang. Anak-anak tersebut kini sudah berusia antara 30-an hingaa 40-an tahun. Kembalinya mereka ke Timor Leste dimungkinkan berkat upaya kelompok HAM Indonesia, AJAR, yang didukung oleh Komnas HAM, Kementerian Luar Negeri RI, serta Pemerintah Timor Lesta.
Catatan komisi pencarian kebenaran Timor Lesta, CAVR, menyebutkan diperkirakan sekitar 4.000 anak Timor Leste dipisahkan secara paksa dari keluarganya antara tahun 1975 sampai 1999 akibat militer Indonesia, pemerintah Indonesia, atau organisasi keagamaan. Mereka disebut anak yang dicuri.
Namun, pemerintah Indonesia menolak bahwa anak-anak itu diambil secara paksa dan menyebut mereka sebgai anak-anak yang 'terpisah'.
"Mereka dibawa tanpa persetujuan tulus orang tua. Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," kata Galuh Wandita, koordinator program reuni itu.
Menurut Galuh, militer Indonesia ingin 'mengadopsi' anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.
"Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," imbuh Galuh.
Organisasi-organisasi keagamaan berjanji kepada orang tua yang anaknya diambil bahwa mereka akan dididik. Anak-anak itu lalu diislamkan. Timor Leste adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Katolik.
Sebagian besar anak-anak Timor Leste, seperti Alberto, merupakan bocah yang direkrut militer Indonesia untuk berperang melawan kelompok prokemerdekaan.
Anak-anak mulai usai enam tahun, ditugaskan membawa persediaan logistik, memanggul amunisi hingga berpesan sebagai pemandu di hutan-hutan Timor Leste.
Namun, Alberto mengaku saat itu ia tidak benar-benar paham dengan apa yang dilakukannya. Beranjak dewasa barulah ia mengerti. "Saya menyadari bahwa saya menyaksikan beberapa saudara saya dibunuh," ujarnya.
Ketika tiba saatnya bagi para prajurit di batalion yang merekrutnya untuk pulang ke Indonesia, salah satu serdadu hendak membawa Alberto turut serta dengan janji Alberto akan disekolahkan. Alberto sebenarnya menolak ikut. Namun, serdadu itu menyuruhnya naik ke kapal dan menjaga koper-kopernya.
"Saya menunggu di kapal itu, menunggu kembali ke rumah. Saya tidak menyadari bahwa kapal itu meninggalkan pelabuhan dan menuju ke tengah laut," tutur Alberto.
Kedatangan Alberto di Pulau Jawa tidak mendapat sambutan yang baik dari istri serdadu itu, karena mereka harus memberi makan satu anak lagi.
"Sang istri marah dan dia berkata kepada serdadu itu, 'Kamu tahu kan kita sudah punya banyak anak, lalu mengapa kamu membawanya ke sini'. Saya sangat sedih dan berkata, 'Jika ibu mengirim saya pulang, saya akan pergi'. Tapi dia tidak berkata apa-apa," ungkap Alberto.
Alberto kemudian kabur dan bekerja di proyek pembangunan untuk bisa bertahan hidup. Kini, ia sudah menikah dan telah menjadi seorang kakek. Tapi, ia tidak pernah merasa benar-benar betah di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.
Kendati demikian, kembali ke Timor Leste bukanlah pilihan jika tanpa akta kelahiran dan uang untuk bekal perjalanan. Bahkan, ia tidak pernah berpikir bahwa keluarganya masih menunggunya di Timor Leste.
Beberapa anggota militer Indonesia yang 'mengadopsi' anak-anak Timor Leste adalah figur yang punya pengaruh kuat di Indonesia. BBC Indonesia meminta kesempatan untuk berbincang-bincang dengan mereka, tapi ditolak.
"Versi mereka mengenai peristiwa itu adalah anak-anak itu diselamatkan dan diberikan kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Beberapa bahkan berbohong kepada anak-anak itu dengan mengatakan orang tua mereka telah meninggal dunia dan keluarga mereka tidak menginginkan mereka," kata Galuh Widanta.
Lalu, bagaimana proses perjalanan pemulangan Alberto Muhammad?
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia dan Timor Leste pada 2008 merekomendasikan pembentukan komisi pencari orang hilang, termasuk anak-anak yang terpisah dari keluarganya selama konflik berlangsung.
Namun, hingga kini tidak ada langkah nyata yang diterapkan. "Ini adalah isu yang sensitif. Sudah delapan tahun dan tak banyak yang tercapai, dan apa yang Indonesia lakukan adalah di luar mandat," kata Jacinto Alves salah satu komisioner dari Timor Leste.
Sosok yang bertanggung jawab menindaklanjuti respons Indonesia terkait rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan adalah Wiranto, pria yang didakwa melakukan kejahatan di Timor Leste oleh panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu, sebagai panglima TNI, dia disebut secara eksplisit oleh PBB terkait pertumpahan darah yang menewaskan 1.000 orang.
Meski komisi pencari orang hilang tidak dibentuk, Kementerian Luar Negeri RI mendukung acara reuni di Timor Leste. Mereka menyediakan dana agar Alberto Muhammad dan anak-anak hilang lainnya bisa ambil bagian dalam reuni tersebut.
ALberto dan anak-anak hilang lainnya dibantu untuk mendapatkan paspor dan beberapa orang mendapat uang untuk tiket perjalanan pulang.
Menurut Direktur Hak Asasi Manusia di Kementerian Luar Negeri RI, Dicky Komar, bantuan dan sokongan itu dilakukan dengan semangat "rekonsiliasi". Namun, Indonesia bersikeras menyebut mereka sebagai 'anak-anak terpisah', alih-alih diambil secara paksa dari keluarga masing-masing.
"Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, tapi dalam tahap ini saya tidak bisa merinci lebih jauh. Anda menyampaikan pertanyaan yang sangat sulit," kata Dicky Komar ketika ditanya bagaimana anak-anak itu terpisah dari keluarga mereka.
"Saya paham bahwa pemerintah menggunakan istilah yang sedikit berbeda, namun secara keseluruhan idenya adalah rekonsiliasi. Saya paham dimensinya berbeda, namun yang kami lihat adalah anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka untuk alasan berbeda. Kini kami menatap rekonsiliasi dan itu berarti kita akan menyebut mereka sebagai anak-anak terpisah," lanjutnya.
Dicky menjelaskan rekonsiliasi adalah proses yang terus berlangsung. Ada banyak yang telah dicapai dalam artian kebenaran dan persahataban.
"Namun, sejujurnya, ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Reuni ini adalah bagian dari pekerjaan itu. Untuk keuntungan hubungan baik antara kedua negara, kami perlu memandang ke depan. Hubungan kami sangat baik saat ini dan Presiden Joko Widodo telah sukses melakukan kunjungan ke negara itu awal tahun ini," kata Dicky.
Pemerintah Timor Leste menyambut baik kembalinya anak-anak yang hilang dan menawarkan mereka dwikewarganegaraan. Namun, Indonesia tidak mengenal konsep dwikewarganegaraan.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline