RIAU ONLINE - Sejak di bawah penjajahan Kolonial Belanda, hingga Indonesia Merdeka, musuh utama komunis pastilah kekuatan Islam, baik partai politik dengan basis Islam, ulama, hingga organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tak terkecuali dialami Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Jelang hari-hari meletusnya Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, sasaran terpenting pengganyangan PKI adalah HMI, organisasi kemahasiswaan terbesar ketika itu.
Prof Dr Salim Haji Said, dalam bukunya, Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, menyatakan, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) diperintahkan oleh bos besarnya, Dipo Nusantara (DN) Aiditi untuk membubarkan HMI.
Baca Juga: Usai Singkirkan Soekarno, Soeharto Campakkan Tiga Jenderal Loyalisnya
"Kalau tidak bisa membubarkan HMI, pakai sarung saja," kata Aidit, seperti ditulis Salim Said, untuk menghasut CGMI, organisasi mahasiswa komunis, dalam pidatonya di Istora Senayan, beberapa hari sebelum meletus Gestapu.
Kalau HMI berhasil mereka bubarkan, sama seperti nasibnya Partai Masyumi, Murba dan organisasi lainnya, maka organisasi-organisasi independen lainnya bukan soal serius lagi bagi PKI menghancurkannya.
Menyadari taktik tersebut, tutur Salim Said, tentara dalam hal ini TNI AD dan kekuatan Anti-Komunis lainnya bersama-sama melindungi HMI.
"Soekarno tak ingin membubarkan HMI, karena ingin keseimbangan kekuataan antara PKI dengan kekuatan-kekuataan Anti-Komunis lainnya, terutama TNI AD.
Salim Said juga menceritakan, tokoh mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Lim Bian Kie (kini bernama Jusuf Wanandi), menuturkan, "Ketika HMI terus-menerus diserang PKI, PMKRI berdiri di garis depan membela organisasi mahasiswa Islam terbesar itu,"
Cerdiknya, pimpinan HMI, sasaran terpenting untuk dibubarkan oleh PKI, membina hubungan baik dengan KSAD Letjen Ahmad Yani serta sejumlah pimpinan tentara lainnya.
Klik Juga: Kagetnya Bule Australia Lihat Gembong PKI Kebal Peluru Saat Eksekusi Mati
Fahmi Idris, mantan Menteri di zaman Orde Baru dan SBY, bercerita kepada Salim Said, mengenai kedekatan-kedekatan tersebut. Ayah dari Fahira Idris, anggota DPD RI itu menceritakan bagaimana aktivis-aktivis HMI zaman itu menggelar pertemuan dengan jenderal-jenderal Angkatan Darat.
"Yang membuat janji untuk kita jumpa dengan Pak (Ahmad) Yani adalah Rully, anggota kami (HMI)," kata Salim Said menirukan ucapan Fahmi Idris.
Rully Yani merupakan anak Jenderal Ahmad Yani, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Ia merupakan anggota HMI yang sangat aktif.
Meski Rully putri Jenderal Ahmad Yani, putri Yani lainnya juga aktif di organisasi mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), dekat dengan Bung Karno.
Selain dengan Yani, Fahmi dan kawan-kawan lainnya juga punya kontak teraur dengan Jenderal Achmad Sukendro, tokoh intel Angkatan Darat, Jenderal Alamsyah Prawiranegara (mantan Menteri Agama di zaman Soeharto), ketika itu bertugas di Markas Besar Angkatan Darat dan Jenderal Muchlas Rowi, perwira tinggi yang sangat dekat dengan Men-Pangab Jenderal Abdul Haris Nasution.
"Saya dan beberapa teman bahkan pernah diikutkan pada pendidikan combat intelligence di Jawa Barat," cerita Fahmi kepada Salim Said.
Usai Gestapu 65, dr Sulastomo, Ketua PB HMI ketika itu, sibuk menyelamatkan anak-anak HMI yang disusupi sebagai intel ke dalam PKI.
Lihat Juga: Kini Penjara Untuk Tahanan PKI Itu Berdiri Plaza Citra
"Wah repot, mereka dikira PKI betulan," kata Sulastomo, alumini Fakultas Kedokteran UI itu.
Menyusupi atau menyelundupkan mahasiswa HMI ke dalam PKI, karena dimungkinkan adanya kerja sama dengan jaringan intelijen Angkatan darat.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline