MAYOR Jenderal Soeharto saat berdiskusi dengan Komodor Udara Leo Wattimena dalam Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat, 1963.
(INTERNET)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Karir kemiliteran Soeharto nyaris berakhir dengan pangkat Kolonel saat menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro/Jawa Tengah, akhir tahun 1950-an.
Niatan ingin mundur tersebut terbersit usai Markas Besar TBI AD (Mabesad), ketika itu, KSAD-nya Abdul Haris Nasution, menurunkan Inspektur Jenderal (rjen) TNI AD ke Kodam IV/Diponegoro. Tim ini bertugas menyelidiki penyelewengan yang dilakukan Kolonel Soeharto ketika menjabat sebagai Pangdam.
Mayjen Pranoto Reksosamodra dalam memoarnya Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra, menuliskan, niat Soeharto ingin mundur usai hasil penyelidikan ia terlibat kasus penyelewengan tersebut.
Soeharto menjadi sasaran pemeriksaan Inspektur Jenderal Angkatan Darat atas perintah KSAD Nasution. Penyelewengan yang dilakukan (Soeharto) berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi pabrik-pabrik rokok kretek Jawa Tengah (PPRK), lalu penjualan besi tua (scrab material) yang disponsori oleh orang-orang China bernama Liem Sio Liong, Oei Tek Young dan Bob Hasan. Akibat terbongkarnya bintik noda hitam kasus finec Financial adn Economy) ini, timbul niat Kolonel Soeharto untuk mengundurkan diri dari Dinas Angkatan Darat.
Akibatnya, Soeharto langsung "diparkirkan" menjadi tenaga pengajar di Seskoad, Bandung, Jawa Barat, untuk beberapa waktu, hingga namanya mencuat kembali saat menjabat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat disertai dengan kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal, sebelumnya Brigadir Jenderal, Februari 1962.
Perlahan-lahan karir Soeharto kembali ke relnya. Usai sukses menjalankan Operasi Mandala pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno belum begitu percaya sepenuhnya dengan kemampuan Soeharto. Puncaknya, saat Bung Karno lebih memilih Mayjen Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Jenderal AH Nasution, diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Bersenjata (Menpangab), sekitar tahun 1964.
MAYJEN Soeharto bersalaman dengan Manteri Panglima Angkatan Laut, Laksmana Laut RE Martadinata.
Padahal, dari sisi kesenioran, Soeharto lebih senior dari Ahmad Yani. Sewaktu menjabat Pangdam Diponegoro, Yani merupakan anak buahnya. Jenderal Gatot Subroto, mantan Pangdam Diponegoro, kemudian menjadi orang yang menyelamatkan Soeharto, ketika itu usai Soeharto kalah bertarung dengan Ahmad Yani sempat menasehatinya.
Dalam nasehat tersebut, seperti ditulis oleh Daud Sinyal, dalam bukunya, 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto (2014), "... Tapi Pak Yani menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat karena adalah pilihan dari Presiden/Panglima Tertinggi, sementara Pak Harto di mata Bung Karno dipandang sebagai perwira tinggi yang kopping (keras kepala). Pak Gatot menghibur Seoharto dengan mengatakan, "Waktumu akan sampai, malah akan mencapai kedudukan yang lebih tinggi,"
Jenderal Nasution yang mengatahui titik kelemahan psikologis Kolonel Soeharto ini menolak niatan pengunduran diri Soeharto dari dinas militernya.
Niatan ingin berhenti menjadi tentara juga terbersit di benak Soeharto untuk keduakalinya ketika Soeharto harus kalah kembali dan tidak dipilih oleh Panglima Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata, Presiden Soekarno. Bung Karno lebih memilih Marsekal Madya Omar Dani sebagai Panglima Komando Laga Siaga (Kolaga).
Padahal, Omar Dani baru menjadi tentara belasan tahun, jauh lebih junior dari dirinya serta tak pernah ikut perang seperti dirinya di zaman Revolusi Kemerdekaan. Peneliti sekaligus pengamat politik, Salim Haji Said dalam bukunya, Gestapu 1965 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, menceritakan bagaimana keinginan Soeharto untuk mundur tersebut.
Padahal, ketika itu ia sudah menyandang jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Zaman dulu, jabatan Pangkostrad bukanlah jabatan prestisius seperti sekarang ini. Kostrad ketika itu, tidak memiliki pasukan yang bisa dikerahkan sewaktu-waktu, layak saat ini.
Salim Said menuliskan, pada tahun 1984, ia bertemu dengan Dayino, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga mantan Pemuda Patuk, teman Soeharto di masa Revolusi di Yogyakarta. Ia menceritakan, Bu Tien pernah menyampaikan jelang Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965, Soeharto ingin keluar dari tentara.
Menurut istrinya, Soeharto merencanakan mencari pekerjaan lain untuk membiayai keluarga yang tidak lagi bisa ditopang oleh penghasilannya sebagai Pangkostrad. Dalam buku serupa, dalam memoarnya, Jusuf Wanandi membenarkan cerita Dayino, Soeharto pernah berniat mundur jadi tentara.
Menurut Jusuf - ceritanya bersumber dari Jenderal Sudjono Hoemardani, Soeharto memutuskan akan berhenti dari tentara karena kecewa tidak diangkat menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga) dalam rangka Operasi Dwikora ganyang Malaysia. Jabatan tersebut diberikan Soekarno kepada Laksamana Madya Udara Omar Dani, Panglima Angkatan Udara yang jauh lebih junior dari dirinya.
"Dia menulis surat pengunduran dirinya dari Angkatan Darat pada bulan Mei (1965), tapi diintersep oleh Letnan Kolonel Sudjono Hoemardani hingga tidak sampai ke tangan Nasution," tulis Wanandi.
Dua kali gagal mundur sebagai prajurit ternyata membawa berkah tersendiri bagi Soeharto. Apalagi, tahun 1965, semakin gencarnya PKI dan harmonisnya hubungan PKI-Soekarno, serta meletusnya Gestapu, dengan tewasnya beberapa jenderal petinggi Angkatan Darat, membuat jalan Soeharto menuju tampuk kekuasaan, semakin lempang. Puncaknya, ia menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun sebelum diturunkan oleh mahasiswa pada Mei 1998 silam.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline