Catatan Yudi Latif: Ketuhanan Mohammad Natsir (3)

Perdana-Menteri-Mohammad-Natsir.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Banyak cerita-cerita masa lalu ditorehkan oleh Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Fathers) Indonesia, tak kalah bahkan mampu menjadi keteladanan bagi anak bangsa saat ini.

Untuk itu, RIAUONLINE.CO.ID, mengangkat tulisan bernas dan tajam dari seorang Yudi Latif, akademisi sekaligus pendiri Universitas Paramadina Mulya bersama Nurcholish Madjid tentang keteladanan yang ada pada diri Ketua Umum Partai Masyumi, Mohammad Natsir, atau lazim disapa dengan sebutan Buya Natsir.

Tulisan ini ditulisnya di laman media sosialnya, dan telah mendapat persetujuan untuk dipublikasikan bagi Anda, pembaca setia kami. Berikut tulisannya: 

Baca Juga: Catatan Yudi Latif: Ketuhanan Sjafruddin Prawiranegara

Saudaraku, tidak banyak orang yang dapat menyatukan pada dirinya semangat keislaman yang kuat, nasionalisme yang kuat, integritas yang kuat, serta toleransi yang kuat. Salah seorang dari sedikit figur seperti itu ditunjukkan oleh Mohammad Natsir.

Lahir di Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, sebagai anak dari seorang juru tulis kontrolir, Natsir kecil mengawali mendidikan dengan memasuki HIS di Solok yang dikombinasikan dengan pendidikan madrasah (diniyah) yang dikelola oleh para pengkut Haji Rasul (Ayah Hamka). Setelah itu, ia memasuki MULO (1923-1927) dan berlanjut ke AMS di Bandung, hingga tamat pada tahun 1930.

Memasuki jaringan Haji Rasul, Natsir sedari dini telah terekspos padagerakan reformisme-modernisme Islam. Pertemuannya dengan pendiri Persis, A. Hassan, saat dia belajar di AMS Bandung mempertautkannya kembali dengan jaringan intelektual reformis dan menyurutkan cita-citanya untuk mengambil gelar dari perguruan tinggi hukum.

Buya Mohammad Natsir

Erudisinya baik dalam pengetahuan sekuler maupun pengetahuan agama menjadikannya sebagai seorang intelektual organik dari umat Muslim yang mulai diakui sejak dia menjadi ko-editor majalah Pembela Islam (bersama dengan A. Hassan) pada tahun 1929.

Ketika Natsir mulai menjadi ko-editor majalah tersebut, ruang publik didominasi oleh wacana-wacana tentang nasionalisme. Dia mulai ambil bagian dalam polemik tentang Islam dan nasionalisme pada tahun 1931, dimana ia memperkenalkan istilah “Kebangsaan Muslim” sebagai alternatif dari “Nasionalisme sekuler”.

Klik Juga: Catatan Yudi Latif: Ketuhanan J Leimena (2)

Keterlibatan Natsir dalam pegerakan dimulai dengan memasuki perkumpulan pelajar Muslim, Jong Islamieten Bond, memberinya bekal menjadi aktivitas politik pada tahun 1940 ketika dia menjadi ketua PII (Partai Islam Indonesia) cabang Bandung.

Di masa Revolusi Kemerdekaan, Natsir tampil sebagai rising star dalam kepimpinan kaum Muslim. Ia terpilih menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite NasionalIndonesia Pusat), ikut mendirikan dan memimpin Partai Masyumi, memimpin kementerian (menteri pertahanan dan penerangan). Setelah revolusi kemerdekaan, ia menjadi Perdana Menteri dan pengaruh kepemimpinannya meluas ke tingkat internasional.

Ia pernah menjadi Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, serta anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah.

Sebagai pemimpin bangsa dan pemimpin Islam, Natsir menampilkan diri sebagai pribadi dengan hikmat-kebijaksanaan tinggi, yang dapat menempatkan agenda keislaman dalam kepentingan yang lebih luas. Hal ini tercermin dari inisiatifnya dalam menggagas apa yang dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”.

Dalam Mosi ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak untuk tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir juga menyerukan agar tidak memaksa negara-negara bagian untuk membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS.



Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik. Dalam menggagas Mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dahulu melakukan penjajagan. Di Negara Pasundan ia menemui Sekarmadji Kartosoewirjo untuk tidak memproklamirkan Darul Islam.

 

Di parlemen ia berunding dengan I.J. Kasimo dari Fraksi Parati Katolik, AM. Tambunan dari Partai Krtisten dan Mr. Hardi dari PNI. Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan tak tertampung oleh kategori tersebut.

Terlebih jika seseorang itu manusia besar, selalu lebih besar dari dirinya sendiri. Seorang Natsir, dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, secara stereotip diperhadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis mengancam kelangsungan bangsa lebih mengedepankan kepentingan nasional, dibandingkan kepentingan dan ideologi partainya.

Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu diantara menteri-menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno...Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”

Baca: Apa Jadinya NKRI Jika Tak Ada Buya Natsir Dengan Mosi Integralnya

Selama lima tahun, 1950-1955, dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjungjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam.

Dia percaya, konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat sama, ia menegaskan kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait dengan (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan, karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”

Ketika Masjumi berkuasa, Natsir juga tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila, menurutnya selaras dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandangnya menjadi dasar etika, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Hal yang serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Qur’an, 1954: 

”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya bahwa dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”

Natsir membuktikan, menjadi Muslim taat tidak berarti kehilangan respek pada berbeda keyakinan. Rasa welas asih bisa menembus batas keyakinan, ideologi, ras dan etnis. Saat ditunjuk menjadi Perdana Menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi dengan melibatkan unsur-unsur non-Muslim.

Ia memelopori pembentukan kabinet ahli (zaken kabinet) dengan tak segan merekrut orang-orang profesional dari berbagai latar keagamaan: ada FS. Harjadi (Katolik/Partai Katolik), J. Leimena (Kristen/Partai Kristen Indonesia), M.A. Pellaupessy (Kristen/Fraksi Demokratik), dan Herman Johannes (Kristen/PIR).

Selain menjalin persahabatan yang hangat dengan tokoh-tokoh non-Muslim, Natsir pun bisa minum teh dan makan sate bersama dengan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, di kantin parlemen.

Ia kerapkali menekankan bangsa Indonesia dengan segala keragamannya harus “senantiasa mencari titik persamaan”. Karena itu, ia menganjurkan paham toleransi bersifat aktif. Dalam tulisannya di majalah Masyumi, Hikmah, edisi Februari 1954, ia menulis:

“Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antara agama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif, ia itu aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja! Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.”

Di dalam artikelnya tersebut, Natsir menegaskan, Alquran jelas mengajarkan, seorang Muslim diperintahkan untuk berjuang membela orang yang kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya lantaran mereka mempertahankan keyakinan.

Ia harus berjuang untuk mempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyang dan mesjid-mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah. (Natsir, 1954 & 1957).

Semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan juga tercermin dalam akhlak mulia. Natsir terpandang sebagai pribadi yang berintegritas. Kebersihan dan kebersahajaan dikisahkan George McTurnan Kahin, Indonesianis terkemuka dari Cornell University, Amerika Serikat (AS).

Lihat Juga: Hoegeng, Kapolri Jujur Yang Dilupakan Ravolusi

Dalam kunjungannya ke Yogyakarta, tahun 1948, Kahin melihat penampilan Natsir hampir-hampir tak menunjukkan dirinya sebagai menteri penerangan. Natsir mengenakan jas penuh dengan tambalan di sana-sini; dan belakangan ia juga tahu, para staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membeli baju buat Natsir.

Menjadi Perdana Menteri tidak membuat penampilan Natsir banyak berubah. Ia menempati rumah bekas Soekarno di Jalan PegangsaanTimur (kini Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat.

Sebelum pindah ke rumah tersebut, Natsir dan keluarganya tinggal menumpang di sebuah gang di Jalan Jawa, lalu di kawasan Tanah Abang. Mengenai kendaraan Natsir kala itu, Majalah Tempo, edisi 14 Juli 2008, melukiskannya cuma mempunyai mobil bermerk DeSoto yang telah kusam.

Pada 1956, Natsir ditawari sebuah mobil sedan mewah buatan AS, namun ia menolak dengan halus. Setelah melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri, Natsir pun segera meninggalkan rumah dinasnya di Jalan Proklamasi dan kembali ke Jalan Jawa (Nugroho, 2011).

Selain itu, ia juga menolak mendapatkan sisa dana taktisnya sebagai Perdana Menteri yang saldonya lumayan banyak. Ia malah menyuruh sekretarisnya, Maria Ulfa, untuk menyerahkan sisa dana taktis itu kepada koperasi pegawai.

Begitu berhenti sebagai Perdana Menteri, Natsir meninggalkan mobil dinasnya di Istana Kepresidenan. Ia memilih untuk membonceng sopirnya pulang ke rumah di Jl. Proklamasi.

Mohammad Natsir bisa disebut sebagai tokoh Muslim-demokrat sejati. Kepergian untuk selamanya, pada 14 Maret 1993, meninggalkan lobang besar dalam jantung keislaman dan kebangsaan. 



Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline