RIAU ONLINE - Pelaksanaan eksekusi terhadap empat terpidana mati pada Jumat, 29 Juli 2016 mendapat kecaman dari sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Julius Ibrani , pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengungkapkan beberapa kejanggalan, kesalahan prosedur dan dugaan pelanggaran hukum yang terjadi jelang eksekusi mati.
Julius mengatakan kejanggalan dan kesalah prosedur tersebut terkonfirmasi dengan adanya keputusan penangguhan eksekusi terhadap 10 eksekusi mati. "Pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan kasus-kasus tersebut," ujar Julius, dilansir dari KOMPAS.com, Minggu, 31 Juli 2016.
BACA JUGA: Jelang Eksekusi, Terpidana Mati Nigeria: Apakah Bapak Presiden Tuhan?
Empat terpidana mati yang sudah dieksekusi, menurutnya tidak menerima surat pemberiitahuan eksekusinya selambat-lambatnya 3 hari atau 72 ja sebelum pelaksanaan hukuman.
Hal itu juga dibenarkan oleh Afif Abdul Qoyim dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat sebagai kuasa hukum Humphrey Jefferson Ejite dan Merri Utami. Afif mengungkapkan surat pemberitahuan pelaksanaan eksekusi mati baru diterima oleh Humphrey dan kuasa hukumnya pada Selasa, 26 Juli 2016 pukul 15.00 WIB.
"Artinya jarak waktu dari mulai surat pemberitahuan tersebut diberikan sampai saat eksekusi belum mencapai 3 hari atau kurang dari 72 jam," ujar Afif.
KLIK JUGA: Tolak Eksekusi Mati, Habibie: Mati dan Lahir di Tangan Allah
Selain itu, Pemerintah juga dinilai telah melanggar Undang-Undang No. 22 tahun 2002 mengenai pemberian grasi dan putusan MK No. 170/PUU-XIII/2015.
Pasal 13 UU Grasi Pasal 13 UU Grasi melarang eksekusi mati dilakukan bila terpidama mati mengajukan grasi. Namun, Afif menuturkan, pihaknya telah mengajukan permohonan grasi atas nama Humphrey pada Senin, 25 Juli 2016, siang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Saya sendiri sudah mendaftarkan permohonan grasi ke PN Jakarta Pusat dan berkasnya sudah ditandatangani oleh panitera. Namun sampai saat eksekusi, kami belum menerima putusan soal grasi tersebut," kata Afif.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia menjelaskan pemberian surat pemberitahuan eksekusi kurang dari 72 jam jelas merupakan kesalahan fatal.
LIHAT JUGA: Istri Agus Hadi: Kami Menunggu Keajaiban Tuhan
Menurut Putri, hal itu jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam PNPS No.2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Pasal 6 ayat (1) PNPS No.2 tahun 1964.
Aturan ketentuan tersebut menjelaskan, bahwa dalam tiga kali dua puluh empat jam sebelum perlaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati. "Dalam hal ini jelas aparat penegak hukum tidak memenuhi hak hukum terpidana mati," ungkap Putri.
Putri menyebut pihak Kejaksaan selaku eksekutor juga telah melakukan pelanggaran prosedur terkait tidak memadainya kepastian eksekusi yang diberikan kepada kuasa hukum para terpidana mati.
Menurut laporan yang diterima oleh Kontras, seluruh kuasa hukum baru menerima informasi terkait jumlah orang yang dieksekusi pada Jumat, 29 Juli 2016 dini hari pukul 02.00 WIB. "Kuasa hukum tidak mendapat informasi yang memadai. Secara hukum itu menyalahi undang-undang," kata Putri.
Empat terpidana mati dieksekusi di Lapangan Tembak Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari. Mereka yang dieksekusi adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humphrey Ejike. Freddy adalah satu-satunya warga Indonesia, sementara tiga lainnya berasal dari Nigeria.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline