RIAU ONLINE, JAKARTA - Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa Indonesia tengah dalam keadaan rawan pangan. Konsumsi terus meningkat tak didukung dengan peningkatan produksi pangan lokal.
"Menurut data dari Badan Ketahanan Pangan, pada 2006-2012, peningkatan pertumbuhan produksi di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan konsumsi," kata peneliti Ekonomi LIPI Esta Lestari di Jakarta pada Rabu (30/9/2015) seperti dikutip dari laman Tempo.co. Hal ini terjadi untuk komoditas pokok seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula tebu.
Untuk mengatasi hal ini, Esta mengatakan pemerintah perlu menggenjot diversifikasi makanan. Definisi diversifikasi makanan adalah pemenuhan konsumsi makanan pokok yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Pola produksi saat ini, yang berorientasi pada beras, menyebabkan pola konsumsi masyarakat belum ideal. (BACA JUGA: Kekeringan Parah Ancam Indonesia)
Salah satu contohnya adalah di Nusa Tenggara Timur. Makanan utama masyarakat NTT adalah jagung bose, sementara beras hanyalah makanan komplementer. Dan, produksi jagung di NTT pun dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di sana.
"Kalau di sana, nasi itu hanya keluar kalau ada acara khusus," kata Esta. Masyarakat baru bisa menikmati beras saat ada pesta besar atau kedatangan raskin.
Untuk itu, ia menekankan pada pemerintah untuk terus mendorong diversifikasi makanan ini. Paradigma kalau daerah dengan jumlah beras sedikit itu rawan pangan juga perlu diubah. Sebab, memang tak semua daerah menjadikan beras sebagai kebutuhan utama.
"Kalau kebutuhan protein dan karbohidrat bisa diatasi dengan diversifikasi ini, maka kita tak perlu lagi bergantung pada impor beras, dan tak lagi rawan," kata Esta.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline