RIAUONLINE, PEKANBARU - Rombongan tiba di Desa Gema menjelang siang pertengahan Februari lalu. Suhu udara cukup panas itu hari. Tapi kerinduan tak luntur akan pesona sungai subayang yang sudah tiga tahun tidak saya kunjungi.
Terakhir, saya kemari akhir 2016 lalu, melihat pesta rakyat bongkar ikan lubuk larangan. Sebuah kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga sungai dan hutan.
Mobil yang kami tumpang berhenti di bahu jalan, tepat berada di depan deretan kios dagangan di desa yang masuk dalam keadministrasian Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Kami bergegas turun dari mobil, sekedar memandang dari jauh aliran sungai yang tenang. Tak sabar menyusuri arus yang menyajikan lukisan alam antara dua perbukitan hijau: Bukit Rimbang dan Bukit Baling.
Dua perahu mesin sedari pagi sudah berada di tepian sungai menanti kedatangan kami dari Pekanbaru. Ada sedikit penyesalan mengapa harus tiba di Gema saat surya tepat pada puncaknya. Saya sudah mengira, saat berselancar nanti tak merasakan sentuhan sejuknya embun yang turun di lembah sungai yang membelah belantara bukit rimbang dan bukit baling.
Tapi tak jadi soal, menurut jadwal, kami akan berada diceruk perbukitan itu selama dua hari. Menyatu dengan alam sekaligus membaur dengan masyarakat adat perkampungan tua di hulu kampar kiri.
***
Inilah perjalan rombongan citizen juornalis yang digagas Aliansi Journalis Independen (AJI) Pekanbaru Word Resources Institut (WRI) Program Riau.
Sebuah program pelatihan menulis untuk warga. Peserta berasal dari lima kabupaten dan kota di Riau. Selain memperkenalkan ilmu jurnalistik, peserta yang rata-rata masih muda itu belajar banyak tentang media massa.
"Informasi kini bukan milik ekslusif awak media msinstream, tapi milik semua. Setelah pelatihan ini, peserta bisa menulis tentang apa yang terjadi di lingkunganya, terutama soal lingkungan," kata Ketua AJI Pekanbaru Firman Agus.
Mereka disiapkan sebagai pewarta warga yang mampu memberikan informasi akurat di tingkat tapak kebijakan satu peta.
***
Sebelum begerak menuju Desa Gajah Bertalut, kami terlebih dulu santap siang di sebuah warung nasi di Desa Gema. Posisinya tepat di atas pelabuhan Gema. Warung papan itu terkesan sederhana, namun menawarkan aneka lauk dan sambal tak kalah lezat. Dua macam olahan ikan sungai: patin dan baung, tinggal pilih, mau yang gulai atau goreng balado.
Sungguh menggugah selera. Rombongan tampak lahap menyantap hidangan khas warung makan Gema, mengisi perut yang kosong usai perjalanan jauh dari pusat kota.
***
Usai santap siang, kami berangsur turun ke tepian. Menuju perahu mesin yang akan membawa rombongan ke Desa Gajah Bertalut, sebuah desa kecil yang berada nun jauh diceruk bukit.
Ini baru awal dari perjalanan. Namun sebuah pemandangan yang cukup mengiris hati tersaji dihadapan.
Ya..di Pelabuhan kecil itu, meriung bongkar muat kayu log ke dalam sebuah truk di tepi sungai. Sedangkan satu truk lagi mengantre menunggu giliran muat. Konon, kayu-kayu yang dimuat di dalam truk merupakan kayu alam yang dirambah secara liar oleh penjarah. Sisanya, sengaja ditumpuk, mengapung di sepanjang tepian sungai menunggu giliran muat.
Lebih dari sepuluh pria berbadan kekar mengamati pergerakan kami. Rombongan memang terlihat asing bagi mereka. Mata-matanya liar mengamati langkah demi langkah kami menuju perahu mesin. Sampai seorang pria -- pemuat kayu berteriak. "Hoi, jangan kau poto-poto," menyergah seorang teman yang mencoba mengabadikan aktivitas bongkar muat kayu ke dalam truk.
"Wajar mereka marah, ini ilegal loging," ujar seorang teman setengah berbisik.
Perambahan liar dan penjarahan kayu yang dilakukan Secara terang-terangan itu kini menjadi ancaman Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
"Ini salah satu persoalan yang nanti akan sama-sama kita bahas," ujar Lawalata, perwakilan WRI Program Riau yang mendampingi rombongan trip ke rimbang baling.
Sejenak kami lepas perhatian dari aktivitas bongkar muat kayu log. Masing-masing peserta berangsur menaiki perahu mesin. Ada dua perahu yang disiapkan, satu perahu ukuran besar digerakkan dengan mesin Jhonson, cukup untuk muatan dengan berat lebih kurang satu ton. Satu perahu lagi lumayan kecil, digerakkan dengan mesin robin. Kapastitanya terbatas hanya 500 kilogram, setidaknya hanya untuk tujuh penumpang sekalian dengan pengemudi.
Bagi warga setempat, perahu mesin ini mereka sebut Piaw. Ia satu-satunya alat transportasi masyarakat lokal sekitar SM Rimbang Baling. Sudah berlangsung sejak lama, sejak para tetua menghuni alam yang teduh, ratusan tahun agaknya.
Piaw menjadi primadona, ibarat sepeda motor ataupun roda empat di perkotaan. Warga yang memiliki Piaw dianggap berekonomi mapan. Namun saat ini, hampir semua warga penghuni desa di ceruk Rimbang Baling punya perahu mesin. Tidak ada akses darat penghubung antar desa. Bertahun-tahun terisolasi karena terbentur regulasi hutan konservasi. Hutan alam yang menjadi habitat harimau sumatera (panthera tigris sumatrae).
Perlahan perahu kami mulai bergerak. Meninggalkan sekumpulan penjarah berbadan kekar.