Perempuan UMKM Suku Anak Rawa, Raup Cuan dari Nanas dan Jaga Gambut

Nanas-siak.jpg
(LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, SIAK - Hamparan kebun nanas bak karpet hijau menyambut kedatangan saat memasuki Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau. Nanas-nanas itu ada yang baru saja ditanam, ada pula yang siap panen. Manisnya buah nanas matang terbayangkan saat disantap, begitu menggiurkan.

Alo (53) datang dari dapur membawa sepiring selai nanas yang baru saja ia masak. Olahan buah nanas begitu segar dengan rasa legit dan manis ketika masuk ke mulut. Selai nanas itu diolahnya dari buah nanas yang dipanen beberapa hari lalu.

Sore itu, Alo memilih rehat sejenak di beranda rumah bersama sang suami, Nat, setelah melakukan aktivitas memupuk nanas di kebun yang berada di samping rumah mereka. Terik matahari begitu menyengat ke lapisan kulit meski waktu sudah menuju pukul 15.30 WIB.

Kesehariannya sebagai ibu rumah tangga tak lantas menghalangi Alo untuk ikut mengambil peran penting di ladang nanas. Ia berperan mulai dari membuka menyiapkan ladang, menanam bibit nanas, pemupukan, panen, hingga nantinya mengolah nanas menjadi berbagai produk bernilai jual.

Meski begitu, perempuan suku asli Anak Rawa ini punya kekhawatiran akan dampak dari cuaca yang tidak stabil. Pokok nanas yang baru beberapa bulan ia tanam bisa saja tumbuh dengan tidak sempurna akibat pengaruh cuaca teramat terik atau bahkan penghujan.

"Cuaca tidak stabil menjadi satu kendala. Jika terlalu terik, itu bisa berpengaruh terhadap kualitas nanas. Nanti buahnya bisa menghitam," kata Alo.

Kebun nanas siak2Ketua RW 01, Nat, saat memupuk nanas. (Foto: LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

Sementara itu, di saat cuaca cukup stabil masyarakat yang menanam nanas bisa memanen sedikitnya 18 ribu buah nanas dari masing-masing ladang mereka. Aktivitas memanen bisa dilakukan setelah menanti siklus sempurna buah nanas dalam 6 bulan sampai 10 bulan kemudian.

Buah nanas yang dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Penyengat merupakan jenis nanas ratu. Nanas ini memiliki rasa khas dan lebih tahan lama dibanding jenis nanas lain. Setiap minggu, sekitar 40 ribu buah nanas dibawa ke pasar induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

Mayoritas masyarakat yang merupakan suku asli Anak Rawa di Desa Penyengat melakukan budidaya nanas sebagai mata pencarian. Ada lebih dari 100 kepala keluarga (KK) di RW 01 yang berkebun nanas. Hebatnya, lebih dari 50 persen para perempuan di sana mengambil peran penting dalam produktivitas buah nanas.

Perempuan Adat Kelola Sumberdaya Alam

Perempuan adat di Riau dalam kehidupan umumnya bergantung pada sumber daya alam seperti hutan, sungai, dan lahan pertanian, semua itu untuk mata pencarian dan kebutuhan sehari-hari. Mereka terlibat dalam berbagai aktivitas, seperti berburu, mengumpulkan tanaman liar, dan berkebun, yang semuanya berhubungan dengan sumber daya alam.

Nanas merupakan komoditas pertanian unggul di Sungai Apit, termasuk di Desa Penyengat. Bagi penduduk, buah nanas telah menjadi komoditas unggulan dan sangat sesuai ditanam di Desa Penyengat sejak dulu. Standarnya, nanas bisa ditanam 20 ribu batang per hektar. Ada juga petani yang berani menanam 30 ribu batang per hektar.

Selain Alo, perempuan yang juga petani nanas yakni, Apo. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-sehari bekerja mengolah kebun nanasnya. Saat matahari sudah menampakkan terik sinar yang begitu cerah, Alo akan bersiap meninggalkan kebun.

Alo bercerita, bagaimana kegiatan usahanya dari berkebun sawit kemudian berubah haluan menjadi berkebun nanas. Perempuan asli Suku Anak Rawa ini menceritakan saat pertama sekali timbul ide untuk menanam dan berkebun nanas bermula ketika ia membeli nanas di pasar yang harganya tidak menentu. 

Niat dan keyakinan yang kuat akhirnya Alo mengajak perempuan lainnya mencoba merintis usaha berkebun dengan membeli bibit nanas serta menanam sendiri. Pada akhirnya, kelompok mereka berhasil berkebun nanas dengan baik dan mendapatkan hasil panen yang bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga.

Perempuan UMKM SiakUMKM Ratu Penyengat. (Foto: LARAS OLIVIA)

"Awalnya sempat takut mencoba, tapi kita anggap ini sebagai tantangan baru," ujarnya.

Melimpahnya produk nanas di Desa Penyengat membuat daerah ini dikenal sebagai sentra nanas ratu. Namun sayangnya, tidak semua nanas yang bisa dijual ke pasaran. Sekitar 25 persen hasil panen para petani nanas masuk ke dalam kategori C yang sepi peminat.

Buah nanas kategori C dibanderol dengan harga Rp 4.000 untuk 6-8 buah, sedangkan harga untuk nanas kategori A dan B bisa mencapai Rp 4.000 per buah. Meski begitu, nanas kategori C sebenarnya memiliki kualitas yang sama dengan kategori A dan B, hanya saja ukurannya lebih kecil.

Para perempuan yang tergabung dalam UMKM Ratu Penyengat akhirnya punya cara untuk mengolah nanas ukuran kecil menjadi layak konsumsi. Di tangan para perempuan Suku Anak Rawa, nanas kategori C diolah menjadi produk turunan seperti selai, nastar, bolu, hingga minuman fermentasi.

Bangga Punya Penghasilan Sendiri

Sepuluh perempuan tergabung dalam UMKM Ratu Penyengat yang kini menjadi pelopor nastar premium di Siak. Kue kering yang terbuat dari adonan tepung terigu, mentega, dan telur yang diisi dengan selai nanas kini menjadi bintang di antara kue-kue kering lainnya. 

Alo yang juga anggota kelompok UMKM Ratu Penyengat mengatakan, saat jumlah pesanan naik drastis, mereka berupaya sebisa mungkin untuk memenuhi pesanan nastar bagi pelanggan. Sebagai solusi untuk mengejar pesanan, UMKM ini memberdayakan dan mengupah perempuan lainnya di luar kelompok sebagai tenaga kerja harian.

"Seperti kemarin ada yang pesan dari Jakarta, seratus toples lebih, itu memakan waktu sampai 4 hari. Kita ajak ibu-ibu lainnya di luar anggota," kata Alo.

UMKM Ratu Penyengat memproduksi nastar premium yang memiliki kekhasan pada rasanya yang manis legit dan cita rasa gurih dengan aroma butter yang kuat. Selain nastar, mereka juga menjual olahan nanas lainnya berupa sultana dan moon cake yang dibuat dari bahan-bahan premium. Harga nastar premium dibanderol di harga Rp 80 ribu per toples.

"Ada berbagai jenis nastar. Bedanya dari nastar lain yakni bentuknya, ada nastar klasik yang bentuk bulat, nastar premium seperti kue bulan yang dibungkus plastik mika, lalu nastar sultana yang bentuknya pipih," jelas Alo mengenalkan aneka produk UMKM Ratu Penyengat.

Komitmen bersama menjadi pendorong UMKM Ratu Penyengat masih eksis hingga saat ini. Meski baru berdiri pada pertengahan tahun 2022 silam, produktivitas dari UMKM Ratu Penyengat telah berhasil meningkatkan taraf perekonomian anggotanya. Tak hanya itu, masyarakat yang punya kebun nanas juga kecipratan untung menjual buah kepada UMKM ini.

Alo mengungkapkan, omset tertinggi UMKM Ratu Penyengat dialami pada tahun 2023. Saat itu, ia mencatat omset per tahun mencapai Rp 127 juta lebih. Pencapaian itu menurutnya semakin memantik semangat para perempuan di UMKM Ratu Penyengat untuk memproduksi nastar.

Produk UMKM nanas siakNastar dari nanas yang diolah UMKM Ratu Penyengat. (Foto: LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)



"Nastar menjadi primadona yakni nastar sultana dan klasik. Itu yang sejauh ini penjualan tinggi," ujarnya.

Dirinya menilai, aktivitas ini sangat berdampak positif bagi para perempuan yang tergabung dalam UMKM Ratu Penyengat. Bagi para ibu rumah tangga, mereka bisa punya penghasilan sendiri. Bagi para perempuan yang punya kebun nanas, mereka bisa menambah penghasilan.

Ada juga di antara anggota yang menjadi kader posyandu cuma memperoleh Rp 200 ribu setiap bulannya. Dengan menjadi anggota UMKM Ratu Penyengat, mereka bisa dapat lebih dari itu. Dalam sehari, paling kecil bisa memperoleh upah Rp 60 ribu hingga Rp 100 ribu. 

"Ikut kader posyandu yang dapat Rp 200 ribu per bulan saja sudah senang, apalagi aktivitas membuat nastar ini, mereka semakin termotivasi," sebutnya.

Pengolahan nanas siakUMKM Ratu Penyengat mengolah nanas jadi cemilan. (Foto: LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

Alo bercerita, para perempuan yang tergabung dalam UMKM Ratu Penyengat biasanya lebih senang menabung uang. Mereka akan mengumpulkan upah dalam beberapa waktu, baru kemudian diminta saat sudah terkumpul banyak.

"Biasanya begitu, ditabung dulu. Setelah banyak terkumpul uangnya, barulah diambil untuk keperluan kita," ulasnya.

Meskipun termasuk baru, namun produk UMKM Ratu Penyengat sudah menyasar ke luar provinsi bahkan ke luar negeri. Aneka nastar telah dirasakan oleh pelanggan di Malaysia, Filipina bahkan Jerman, Perancis, dan Swiss. Hal ini menjadi satu kebanggaan dan kepuasan bagi para anggota UMKM. Apa yang mereka hasilkan saat ini merupakan buah karya dari kekayaan alam Desa Penyengat.

Alo tak menampik adanya dukungan dari berbagai pihak, baik dalam proses pembelajaran, produksi, hingga pemasaran produk mereka. Sejak memperoleh pembinaan dari Program Community Development (CD) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), dirinya makin semangat  untuk aktif mengembangkan usaha budidaya nanas di desanya.

"Ini sebenarnya dukungan dari berbagai pihak. Mereka tidak cuma sekedar membantu memberikan pelatihan atau menyediakan alat produksi, namun sampai mengurus, PIRT, sertifikasi produk halal hingga promosi," bebernya.

Berangkat dari keluhan petani nanas, PT RAPP melalui program CD bermitra dengan pemerintah desa mencoba mencarikan solusi untuk nanas kategori C. Bentuk kemitraan yang terjalin antara RAPP dan pemerintah desa dalam skema Public Private Partnership untuk memberdayakan masyarakat di Desa Penyengat.

Community Development Head RAPP, Ferdinand Leo Hansen Simatupang, mengatakan bahwa pelatihan yang diberikan bisa membantu UMKM dalam mengembangkan usahanya dan menjalankan bisnis model baru. Ia berharap pelaku UMKM bisa lebih kreatif dalam mengembangkan produk mereka.

"Secara umum, tujuannya untuk mengembangkan UMKM agar bisa menjadi usaha yang profesional, bukan sekadar aktivitas usaha kecil. Kemudian, bagaimana UMKM ini bisa memberdayakan ekonomi lokal, satu orang pelaku usaha bisa berdampak lebih luas kepada masyarakat sekiranya," sebutnya.

Program budidaya nanas dan aktivitas UMKM di Desa Penyengat juga mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Siak. Dalam beberapa kesempatan, Bupati Siak, Alfedri telah memerintahkan Bagian Umum Setdakab Siak membeli produk Ratu Penyengat. Saat mencicipi kue tersebut, ia semakin yakin rasa dan aromanya layak dijual dengan jangkauan pasar lebih luas.

Hasil produksi UMKM dari kampung adat terujung pesisiran itu bahkan mewarnai ragam camilan yang ada di ruangan kerja Bupati dan Wakil Bupati Siak, untuk menyambut para tamu. 

"Saya telah minta Bagian Umum tolong di ruangan saya dan pak wabup beli produk UMKM Ratu Penyengat untuk disajikan bagi para tamu. Saya juga minta OPD  jika ada kegiatan atau agenda rapat jika butuh konsumsi utamakan produk UMKM Kabupaten Siak," tegas Alfedri. 

Nanas Jaga Kelestarian Gambut

Para petani nanas di Desa Penyengat mesti menunggu paling lama 10 bulan untuk bisa memanen nanas. Itu pun jika didukung cuaca yang bagus. Meskipun begitu, UMKM Ratu Penyengat tidak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku membuat nastar. Mereka biasanya membeli nanas dari para anggota UMKM Ratu Penyengat yang juga petani nanas.

"Rata-rata anggota punya kebun nanas, kita utamakan mereka dahulu. Disamping itu boleh membeli di tempat lain," kata Alo.

Masyarakat di Desa Penyengat mulai mengembangkan pertanian di lahan gambut dengan komoditas nanas untuk melepas ketergantungan terhadap sawit. Mereka turut menjaga lahan ataupun hutan gambut agar terhindar dari karhutla dengan cara tidak lagi membakar ketika ingin membersihkan lahan.

Lembaga riset kehutanan internasional (CIFOR-Center for International Forestry Research), beberapa waktu lalu mengadakan riset di Desa Penyengat. Tim bersama mitra dari Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau, Pemkab Siak dan forum Non Government Organization (NGO) lokal Sedagho Siak pada 2022 akhir melaksanakan riset aksi partisipatif melalui pendekatan intens ke masyarakat setempat. Mereka meninjau perilaku masyarakat dalam menjaga kebakaran dan restorasi gambut, menawarkan pengembangan membuka lahan tanpa membakar.

Kebun Nanas SiakNanas hasil kebun warga. (Foto: LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

Projek Leader yang juga Deputy Country Director & Senior Scientist CIFOR-ICRAF Indonesia, Prof Dr Harry Purnomo mengatakan, kelompok masyarakat yang dibina kemudian difasilitasi untuk pembangunan sekat kanal, pembuatan embung, pengembangan kebun bibit dan penanaman komoditi yang bernilai ekonomis.

"Kita memang konsennya lebih kepada perubahan perilaku masyarakat," kata guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.

Para petani nanas di Desa Penyengat merasakan langsung hasil keterlibatan lembaga riset dalam mengedukasi dan memfasilitasi masyarakat desa. Masyarakat berperan penting memilih untuk bereksperimen terhadap komoditi yang sesuai di lahan gambut sehingga mampu mendongkrak perekonomian dengan tumbuhan bernilai jual tinggi selain kelapa sawit.

Luas lahan aktif produksi buah nanas di Desa Penyengat mencapai 300 hektar. Masyarakat kini punya kesadaran untuk membuka lahan dengan cara tidak dibakar. Termasuk perempuan yang tergabung dalam UMKM Ratu Penyengat, mereka membuka lahan dengan cara menebas semak hutan. Sampah-sampahnya kemudian akan dibiarkan menumpuk di tepian. 

Menjawab Tantangan Iklim

Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla besar yang terjadi di sejumlah wilayah, termasuk Riau pada 2015 mendorong masyarakat lokal lebih peka melakukan upaya restorasi sekaligus menjaga ekosistem gambut dengan berbagai inisiatif. Termasuk di Desa Penyengat yang 80 persen wilayahnya bergambut mengalami karhutla besar seluas hampir 500 hektar. Kondisi itu berdampak pada lingkungan, sosial, ekonomi serta kesehatan masyarakat.

Bagi Suku Anak Rawa, merawat lahan gambut sudah menjadi kearifan nenek moyang yang ingin tetap dilestarikan. Apalagi, masyarakat adat memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tempat tinggal mereka. Pengelolaan gambut tersebut mereka sinergikan dengan berbagai aspek mulai dari ekonomi, wisata, hingga kebijakan penurunan emisi.

Selama sembilan tahun terakhir, masyarakat Desa Penyengat tidak hanya melakukan upaya restorasi, tetapi juga terus meningkatkan penyadartahuan tentang pentingnya menjaga ekosistem gambut. Inisiatif awal yang dilakukan masyarakat Desa Penyengat dalam mengatasi karhutla adalah membangun embung sebagai penyimpanan atau cadangan air saat karhutla.

Abo Agustinus, Kepala Desa Penyengat menyampaikan bahwa karhutla yang terjadi pada 2015 baik di dalam maupun luar konsesi, termasuk di area konflik disebabkan oleh sejumlah faktor. Hal di antaranya perilaku abai masyarakat, seperti membuka lahan dengan cara dibakar dan membuang puntung rokok sembarangan, terutama pada saat puncak musim kemarau.

"Tapi sekarang sudah mulai berkurang, masyarakat mulai peduli. Kita sudah punya rencana di Desa Penyengat, akan kami tanam tanaman kehutanan, tanaman kehidupan, dan kita juga sudah dari masyarakat adat mengajukan lahan seluas 18.000 hektar untuk diakui sebagai hutan adat bagi suku asli Anak Rawa ini," kata Abo.

Di Desa Penyengat yang masuk dalam lanskap Semenanjung Kampar-Kerumutan ini juga telah gencar dilakukan upaya restorasi dan pemulihan ekosistem. Berbagai upaya penyelamatan Semenanjung Kampar-Kerumutan diwujudkan dalam program-program masyarakat dan upaya mendukung pencapaian target penyerapan karbon bersih di hutan dan tata guna lahan (FoLU Net Sink) 2030.

Ekosistem Semenanjung Kampar merupakan salah satu hamparan gambut luas yang berada di Provinsi Riau. Secara administrasi, eksistem Semanjung Kampar ini masuk ke Kabupaten Siak seluas 36,56 persen atau 302.528,50 hektar. Luas tutupan hutan ekosistem semenanjung Kampar di kabupaten Siak seluas 86.535,84 ha. Terdapat Taman Nasional Zamrud dengan luas 31.480 hektar dengan bentangnya berupa hutan, danau dan pulau.

APL berhutan 5.503 ha dari 33.333,91 ha dan HGU berhutan 3.181 ha dari 15.578,64 ha. Dari luasan tersebut, secara administrasi berada di empat kecamatan atau 20 desa yang berada di kabupaten Siak. Secara umum, Kabupaten Siak lebih dari 50 persen wilayahnya bertanah gambut. Sebagian lagi tanah mineral yang sudah dipegang oleh perusahaan industri kehutanan besar dan pemilik modal.

Pemerintah Siak telah mempunyai kebijakan Peraturan Bupati tentang koordinasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Hal ini tertuang Peraturan Bupati No. 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau dan telah ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2022 tentang Siak Hijau.

Sasaran Siak Hijau tingkat kerusakan sumber daya alam khususnya gambut dan DAS Siak. Kebijakan yang mendukung di antaranya, RPJMD Siak 2021-2026, Perda No. 4/2022 tentang Siak Kabupaten Hijau, Perbub No.136 tahun 2018 tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Kemudian, Perbub No.103 tahun 2019 tentang pengurangan penggunaan kantong plastic, Kebijakan TAKE (Perbup ADD), dan Perbup tentang koordinasi pencegahan karhutla di Siak.

Cegah Kebakaran Terulang

Nat sesekali menyeruput kopi hangat yang disuguhkan istrinya, Alo. Soal cuaca ekstrem, Nat bukan hanya khawatir dampaknya terhadap pertumbuhan nanas. Lebih dari itu, ia masih dihantui rasa khawatir jika kebakaran hutan dan lahan melanda desa. Masih lekat di ingatannya kejadian kebakaran yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.

"Sedikit saja ada asap tinggi, saya yang babak belur. Walaupun malam tetap berangkat, ini sudah kerjaan saya sejak lama, bahkan sebelum menjadi anggota satgas," ujar laki-laki yang pernah menjadi pemadam sukarela, Masyarakat Peduli Api (MPA) di Desa Penyengat.

Ia mengatakan, jika wilayah konsesi menjadi tanggung jawab perusahaan, di kebun rakyat, patroli dan pencegahan dilakukan MPA, mereka merupakan tenaga sukarela yang dibayar jika hanya terjadi kebakaran. Tugasnya terutama memantau lahan gambut liar, karena meski tidak lagi disentuh manusia, lahan gambut di Riau tetap kering dan sebabnya berisiko terbakar.

"Makanya kita patroli terus setiap hari. Kalau sudah ditelepon warga, langsung bawa mesin, bawa selang jangan sampai api tertangkap hotspot," kenangnya.

Asap bukan tanpa bara, api tetap menyala di dalam tanah, meski tidak lagi meliuk di udara. Lahan gambut di Riau termasuk yang paling rentan kebakaran. Jika sudah menyala, api gambut tidak cuma sulit dipadamkan, tetapi juga memproduksi lebih banyak asap tebal.

Pada tahun El Nino 2023 satelit NASA mencatat ratusan ribu hektare hutan terbakar di Kalimantan, di sekujur Pulau Sulawesi dari Sumba hingga Timor di Nusa Tenggara, serta pesisir utara Jawa Timur dan Barat, Riau yang sarat lahan gambut malah relatif sepi api.

Organisasi lingkungan Pantau Gambut sejak dini merilis data kerentanan gambut di Riau. Menurut riset, ekosistem gambut di Rokan-Siak di Dumai dan Kabupaten Bengkalis termasuk yang paling rawan kebakaran. Sembilan persen berkategori rentan. Adapun 53 persen berisiko sedang. Menurut Pantau Gambut, sepertiga lahan gambut di Riau dijadikan kebun sawit. Sementara sepertiga lainnya untuk kayu kertas. Aktivitas ini menuntut pengeringan dalam skala besar.

Ahmad Muhammad, peneliti dari Universitas Riau (Unri) mengatakan, kelapa sawit, kelapa, akasia eukaliptus dan sebagainya itu tidak cocok untuk lahan basah, begitu juga dengan tanaman lain. Dibutuhkan intervensi atau modifikasi dari karakter alam gambut yang basah itu. Jika lahan dibuka menggunakan api, misalnya dalam satu hektar paling membutuhkan biaya sekitar Rp 1 juta. Namun, jika menggunakan tenaga manusia untuk menebas hutan semak, maka menelan biaya hingga Rp 7 juta.

"Untuk menebas dan itu butuh waktu lebih lama. Kalau pakai alat berat untuk membongkar hutan, dibuldoser kemudian dikumpulkan di pinggir, itu butuh Rp 8 juta per hektar yang kita hitung," ungkapnya.

Seberapa dini api bisa dipadamkan, bergantung pada pengawasan melalui penginderaan jauh oleh BPBD Riau yang berkantor di Pekanbaru. Mereka menggunakan aplikasi untuk mengidentifikasi kerawanan secara dini. Pemerintah juga giat menggunakan teknologi modifikasi cuaca atau TMC. Hampir setiap hari di wilayah rawan, pesawat TNI terbang menabur garam di langit demi memancing hujan.

Diyakini, teknologi ini akan semakin dibutuhkan ketika krisis iklim kian melazimkan cuaca ekstrem dan memperpendek siklus kemunculannya, menurut BMKG yang mengkoordinasikan penggunaan TMC di Indonesia. BPBD juga menyewa sejumlah helikopter tambahan untuk membantu memantau titik api dari udara.

Betapapun juga pengawasan tim di lapangan tetap menjadi pondasi pencegahan api. Karena jika sudah terbakar, api gambut biasanya hanya bisa dipadamkan oleh hujan. Namun bantuan langit kelak tidak lagi bisa diandalkan mengingat cuaca yang semakin kering dan siklus hidrologi yang kian ekstrem.

Hingga kini, Nat masih menyiagakan sejumlah peralatan untuk pemadaman api di rumahnya. Menurut Nat, masyarakat kini tidak punya alasan terkait kesadaran pencegahan karhutla. Apalagi segala aturan dan sanksi tertulis sudah banyak dipasang di plang-plang setiap desa.

"Kalau warga desa sudah sengaja membakar, artinya kita tidak menjaga desa. Kita memang perlu merawat kebun kita secara perlahan, terlihat api sedikit, harus segera kita amankan," ujarnya.

Keinginan di hari tuanya bersama sang istri, sederhana. Mereka berharap tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan. Ia hanya ingin bertani dan berternak dengan nyaman dan aman di desanya sendiri, Desa Penyengat yang dihuni mayoritas suku Asli Anak Rawa.

Terlebih lagi Alo, perempuan paruh baya yang selalu punya semangat berlebih untuk berkebun nanas. Produk-produk UMKM Ratu Penyengat yang telah menjangkau konsumen luas, mendorong keinginannya untuk terus berinovasi. Ia selalu tak sabar saat membayangkan toples-toples berisi nastar dibawa ke luar pulau bahkan luar negeri.

"Jadi, kita tidak bisa mengharapkan hanya bekerja di perusahaan. Saat perusahaan tidak mempekerjakan kita lagi, nanas masih menjadi mata pencaharian. Semoga desa kami bisa semakin sejahtera dan mandiri," harapnya.

Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co