Atasi Konflik Lahan, Bahtera Alam Bekali Masyarakat Adat Soal Hak Tenurial

Bahtera-Alam.jpg
(Riau Online/Laras Olivia)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Hutan Tanaman Industri (HTI) milik perusahaan besar saat ini di Riau telah menguasai area tanah/lahan dan hutan yang sangat luas untuk kawasan penanaman akasia.

Sayangnya, Masyarakat Adat Riau merasakan dampak negatif dari beroperasinya perusahaan HTI di kawasan tanah/lahan adat dan hutan milik masyarakat adat. Wujud dari persoalan dan masalah ini adalah munculnya konflik dan sengketa tenurial.

 

Hal ini menjadi pembahasan dalam "Diskusi Hak Tenurial Masyarakat Hukum Adat pada Kawasan Hutan Tanaman Industri di

Riau" yang ditaja oleh Bahtera Alam, Rabu 6 Desember 2023.

 

"Ini merupakan diskusi lanjutan ya. Dua bulan lalu kita sempat diskusi juga dengan pembahasan sama. Namun kali ini berbeda, lebih mengerucut dengan isu hak tenurial," ujar Direktur Bahtera Alam, Hari Octavian.

 

Masyarakat adat saat ini merasa wilayah adat mereka telah dikuasai oleh berbagai perizinan. Negara menetapkan kawasan hutan secara sepihak. Namun nyatanya wilayah tersebut tumpang tindih dengan kawasan masyarakat adat.

 

"Baik itu perizinan sawit. Kalau di perhutanan ada HTI atau yang termasuk dalam areal lindung konservasi. Bisa jadi taman nasional, suaka margasatwa. Jadi, di seluruh Indonesia ada wilayah-wilayah yang sudah ditetapkan jadi kawasan hutan," paparnya.

 

Hari menilai, konflik lahan selama ini kerap menemui jalan buntu. Ia mendorong masyarakat bisa memiliki pengetahuan dalam konteks penyelesaian konflik, agar tidak lagi terjadi konflik seperti dahulu yang menimbulkan kerugian.

 



"Sebab, kita tahu pemicu konflik juga dari perbedaan pengetahuan, perbedaan informasi antara masyarakat, perusahaan, termasuk pemerintah," sebutnya.

 

Selain masyarakat, kata Hari, pemerintah mestinya bisa lebih aktif dengan segala kebijakan yang dibuat. Dengan begitu, harapannya konflik bisa jauh lebih berkurang. 

 

"Output dari diskusi agar ada pemahaman bersama tentang penguasaan wilayah tadi. Dengan adanya pengetahuan baru, kita berharap pemerintah harus konsisten supaya konflik bisa terus berkurang," paparnya.

 

Sejumlah peserta perwakilan masyarakat adat menyampaikan apa yang mereka alami di lapangan. Mereka merupakan perwakilan Masyarakat Adat Riau dari Suku Asli Anak Rawa Siak, Suku Akit Kepulauan Meranti, MHA Sakai Kesumbo Ampai, dan MHA Sakai Mandiangin.

 

Tidak cuma masyarakat adat, peserta lain antusias menyampaikan pertanyaan maupun argumen mereka. Ada perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, KPH Bagan Siapiapi, KPH Minas Tahura, NGO di Riau, perusahaan Arrabadi, hingga mahasiswa.

 

Penyuluh Kehutanan Balai PSKL Wilayah Sumatera, Fellizka Rezmiaty dalam pemaparannya menyampaikan, konflik tenurial kawasan hutan meliputi semua bentuk perselisihan atau pertentangan.

 

"Termasuk klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan," paparnya.

 

BPSKL/Provinsi Riau mencatat jumlah kasus pengaduan konflik tenurial kawasan hutan sejak 2015 hingga 2023 totoalnya 361. Pengaduan terbanyak di tahun 2022 yakni sebanyak 142 pengaduan.

 

"Data pengaduan konflik tenurial tersebar pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Riau dengan total 361 yang selesai ditangani oleh PKTHA," ulasnya.

 

Sementara itu, Bahtera Alam menyimpulkan bahwa Sengketa pertanahan di

Riau beberapa puluh tahun belakangan ini umumnya disebabkan oleh izin konsesi untuk pembangunan wilayah perkebunan (sawit) dan hutan tanaman industri, yang membutuhkan penguasaan tanah dan lahan – bahkan kawasan hutan - yang luas untuk kepentingan ekonomi kapitalis.

 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan telah terjadi 660 letusan konflik agraria di Indonesia, terhitung sejak 2020 hingga 2023 ini. Rinciannya, sebanyak 241 konflik terjadi pada 2020, lalu 207 konflik di antaranya terjadi pada 2021 dan 212 konflik lainnya terjadi pada 2022.

 

Di Riau, jumlah sengketa tenurial telah mencapai puluhan sebagaimana diungkapkan oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) pada Februari 2023 yang lalu. Tim Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mendata lebih dari 80 lokasi sengketa lahan, 11 di antaranya dianggap sangat mendesak untuk diselesaikan.