Terungkap, Auditor BPK RI Riau Terima Ratusan Juta dari Sejumlah Eks Pejabat Meranti

Sidang-muhammad-Adil.jpg
(DEFRI CANDRA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sidang mantan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil kembali digelar di Ruang Soebakhti, Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis, 14 September 2023.

Adapun agenda sidang kali ini pemeriksaan 7 orang saksi yakni mantan Sekda Meranti, Plt PUPR, Bendahara PUPR, Kabid SDM PUPR, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Kepala Badan Kepegawaian SDM dan Bendahara Pengeluaran Diskominfo Kepulauan Meranti.

Ketujuh saksi dihadirkan secara langsung di hadapan hakim sidang, Muhammad Arif Nuryanta. Sedangkan terdakwa mantan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, duduk di samping kuasa hukumnya.

Sedangkan, terdakwa Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Riau, Muhammad Rafi Aresa mengikuti sidang secara online.

Di persidangan, saksi mengungkap bahwa Muhammad Rafi menerima uang ratusan juta rupiah dari sejumlah mantan pejabat di Pemkab Kepulauan Meranti.

Pada kesempatan ini, terbuka kalau Auditor BPK RI menerima uang ratusan juta dari saksi yang dihadirkan di persidangan. Uang sejumlah Rp 600 juta itu diserahkan mantan Sekda Kepulauan Meranti, Bambang Supriyanto kepada Muhammad Rafi atas perintah Muhammad Adil.

"Saya sempat heran, karena nominal yang diminta pak bupati tidak lazim. Saya diamkan, jangan tanggapi dulu," ujar Bambang Supriyanto dalam sidang, Kamis, 14 September 2023.

Selain itu, menurut Bambang, Muhammad Adil saat menjabat Bupati Kepulauan Meranti juga mengirimkan undangan rapat internal kepada sejumlah pejabat di Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Meranti.

"Saya lupa siapa yang minta, tapi saya diperintahkan siapkan uang Rp 600 juta dan diberikan kepada BPK agar temuan BPK berkurang," tambah Bambang dengan sedikit gugup.

Plt Kadis PUPR Kepulauan Meranti, Fajar Triasmoko, yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan tersebut, mengaku bahwa dirinya dua kali menyerahkan uang kepada terdakwa Fahmi Aressa, pertama di Hotel Red 9 Selatpanjang pada pertengahan Februari 2023. Sebelum diserahkan terlebih dahulu Fajar menghubungi terdakwa Fahmi Aressa menyampaikan kalau ada titipan.

"Ketika itu, Pak Fahmi bilang. Langsung ke kamar saja. Ambil kunci di resepsionis. Lalu saya sampaikan ke Sugeng hari itu juga, bro langsung ke kamar saja," sebut Fajar dalam sidang.

Fajar juga secara langsung bertemu dengan terdakwa Fahmi Aressa dan menyerahkan uang di parkiran Mal Pekanbaru (MP) Rp 150 juta dibungkus dalam plastik hitam.

Uang tersebut disampaikan Fajar adalah untuk biaya Operasional BPK RI Perwakilan Riau. Ia juga tidak mengetahui pecahan uang yang diberikan tersebut karena sudah dibungkus plastik hitam.

Bendahara PUPR, Adi Putra, juga yang juga hadir sebagai saksi menjelaskan tupoksinya sebagai bendahara dan hanya menyiapkan uang yang diperintahkan Fajar untuk disiapkan.

"Saya diperintahkan pak Plt untuk menyiapkan uang dan diberikan kepada Sugeng Widodo Rp150 juta. Rinciannya Rp100 juta uang pecahan Rp100.000 dan uang Rp50 juta pecahan Rp50.000," sebut Adi.

Tak lama setelah itu, saksi Kabid SDM PUPR, Sugeng Widodo pergi menjemput uang yang telah disiapkan bendahara Adi Putra.

"Selanjutnya saya ditelpon oleh pak Fajar, agar menyerahkan uang kepada pak Sugeng. Saat uang diambil saya laporkan ke Pak Fajar kalau uang sudah diserahkan," tegas Adi Putra.



JPU KPK pun turut mencerca saksi Sugeng Widodo dengan pertanyaan. Sugeng mengaku diperintahkan untuk menyiapkan uang Rp30 juta untuk diserahkan kepada terdakwa Fahmi Aressa.

"Uang tersebut saya berikan ke Fahmi. Saya masuk ke hotel Red 9 dan meletakkannya di lemari. Setelah uang saya letakkan saya melaporkan ke pak Fajar kalau uang sudah diserahkan" ujar Sugeng.

Ia mengaku tidak tahu pecahan uang dan digunakan untuk apa uang tersebut. Ia hanya menyebut bahwa dirinya diperintahkan Fajar untuk menjemput uang ke Bendahara Adi Putra.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Meranti, Suardi, diminta oleh Fitria Ningsih untuk menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan kepada terdakwa Fahmi Aressa.

Dalam keterangannya, Suardi diperintahkan untuk menyetor uang Rp90 juta oleh Fitria Ningsih.

"Saat itu saya protes, bu uangnya tidak bisa kurang, Rp50 juta saja. Kalau kurang dari Rp90 juta tidak bisa, kalau lebih boleh," ujar Suardi menirukan ucapan Fitria saat itu.

Suardi bahkan sempat bertanya kepada Fitria Ningsih terkait temuan BPK di kedinasan akan hilang jika menyetorkan sejumlah uang ke BPK RI Perwakilan Riau.

"Hingga akhirnya kita carikan uang tersebut dan atas perintah Neng (Fitria Ningsi-red) dan diserahkan kepada Dahlia," sebut Suardi.

Kemudian saksi Sekretaris Kepala Badan Kepegawaian SDM dan sebelumnya, Plt Kominfo, Mukhlisin dicecar pertanyaan oleh JPU.

Saat itu, Mukhlisin mengaku kondisi keuangan sedang sulit tapi diperintahkan untuk menyetorkan uang ke Fitria Ningsih.

"Saat itu kami memang sedang tak ada uang. Selanjutnya pak Bupati memerintahkan ajudannya Yogi untuk mengantarkan uang ke saya," akunya.

"Dalam hati saya bertanya, ternyata daya berhutang sama ajudan ni. Akhirnya Yogi mengantarkan uang dan dipotong Rp2 juta. Saya carikan pengantinya agar cukup Rp40 juta lalu saya serahkan ke Fitria Ningsih," tegas Mukhlisin.

Terakhir saksi Bendahara Pengeluaran Diskominfo, Asnizar. Ia hanya memberikan tablet Ipad kepada Fahmi Aressa dengan nilai Rp 12,5 juta.

Atas keterangan itu, Fahmi Aressa menyatakan keberatannya tentang keterangan Fajar yang menyebut kalau dirinya meminta bertemu di Mal Pekanbaru. 

"Telepon bilang, apa jadi ke Pekanbaru?" kata dia.

Fahmi membantah ucapan Fajar yang menyebut adanya titipan saat akan mengantarkan uang. Ia berdalih bahwa titipan tersebut hanya berkas

"Saat itu bukan titipan, tapi berkas," kata Fahmi Aressa.

Dia juga keberatan atas keterangan Sugeng yang menyebut meletakkan uang di dalam lemari. "Keterangan Pak Sugeng soal peletakan uang, itu bukan di lemari (pakaian) tapi di lemari es," bantah Fahmi Aressa.

Menanggapi hal itu, Sugeng menyebut meletakkan di lemari yang di bawahnya ada kotak kecil. 

"Saat itu panas pak, tidak dingin (jadi berpikir itu lemari)," pungkasnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka dan langsung menahannya dalam kasus dugaan korupsi, pemotongan anggaran, dan pemberian suap.

Selain itu, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni M. Fahmi Aressa (MFA) selaku Pemeriksa Muda Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau dan Fitria Nengsih (FN) selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Meranti.

Penyidik KPK telah menemukan bukti bahwa Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil menerima uang sekitar Rp26,1 miliar dari berbagai pihak.

Dalam kasus ini, MA diduga memerintahkan para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memotong anggaran sebesar 5 hingga 10 persen, kemudian disetorkan kepada FN selaku orang kepercayaan MA.

Selain menjabat sebagai Kepala BPKAD Kepulauan Meranti, FN diketahui menjabat sebagai Kepala Cabang PT Tanur Muthmainnah (TM) yang bergerak dalam bidang jasa travel perjalanan umrah.

PT TM terlibat dalam proyek pemberangkatan umrah bagi para takmir masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Perusahaan travel tersebut mempunyai program setiap memberangkatkan lima orang ibadah umrah maka akan mendapatkan jatah gratis umrah untuk satu orang, namun pada kenyataannya tetap ditagihkan enam orang kepada Pemkab Kepulauan Meranti.

Selain untuk keperluan operasional MA, uang hasil korupsi juga digunakan untuk menyuap MFA demi memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti.

Atas perbuatannya para tersangka tersebut disangkakan dengan pasal sebagai berikut, tersangka MA sebagai penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Tersangka FN sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Kemudian MFA sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.