RIAU ONLINE, PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengapresiasi pemberhentian secara permanen kegiatan penambangan pasir laut di Pulau Rupat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada Rabu, 21 Juni 2023 silam.
Pernyataan KKP ini sejalan dengan dorongan Walhi Riau dan tuntutan nelayan Desa Suka Damai dan Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara yang sejak awal menolak keberadaan kegiatan tambang pasir laut. Hal itu disebabkan keberadaan tambang tersebut sangat berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan menurunkan hasil tangkapan para nelayan tradisional yang mayoritasnya Suku Akit.
Direktur Walhi Riau, Even Sembiring, mengatakan pemberhentian ini masih bentuk kemenangan kecil dari tuntutan masyarakat agar Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logomas Utama dicabut.
“Gubernur Riau perlu merespon KKP dengan mencabut IUP PT Logomas Utama, karena berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022 kewenangan itu sekarang berada di tangannya,” kata Even Sembiring, Sabtu, 24 Juni 2023.
Ia menambahkan, KKP juga harus segera menetapkan laut utara Rupat sebagai wilayah konservasi perairan, sebab jika tidak maka aktivitas pihak luar yang merusak terumbu karang dan padang lamun karena penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan akan tetap berjalan.
Selain IUP PT LMU dan aktivitas tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan yang masih eksis, ancaman lain yang dihadapi Pulau Rupat adalah keberadaan perusahaan perkebunan skala besar.
Analisis perizinan yang dilakukan Walhi Riau memperlihatkan 61,7% daratan Pulau Rupat telah dikapling untuk kepentingan korporasi.
“Paling tidak terdapat tujuh perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beraktivitas di Pulau Rupat. Kondisi ini jelas tidak adil bagi 49.480 jiwa penduduk atau 14.175 kepala keluarga (KK) di Pulau Rupat,” tegasnya.
Senada, Tokoh Masyarakat Riau, Azlaini Agus, menyatakan penghentian permanen operasional penambangan pasir laut di Pulau Rupat oleh KKP adalah kebijakan pemerintah yang patut diapresiasi serta merupakan kabar baik untuk warga Riau, terutama warga Pulau Rupat.
Selain itu Azlaini juga menuntut agar Pemerintah meninjau kembali serta mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023.
“Sebagai warga Riau yang turut berjuang menyelamatkan pulau-pulau kecil dari daya rusak tambang pasir laut sejak 1998, saya menolak pemberlakuan PP 26 Tahun 2023, karena PP ini akan mengakibatkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menimbulkan banyak persoalan di masa yang akan datang,” tegasnya.
“Menjadikan pasir laut sebagai salah satu hasil sedimentasi yang dapat dikeruk menyebabkan lingkungan (ekosistem) laut rusak dan hasil tangkap nelayan akan berkurang dan punah. Di sisi lain, PP ini juga mengancam keamanan dan pertahanan NKRI karena jika marak tambang beroperasi, pulau-pulau kecil di wilayah terluar juga akan terancam hilang, seperti yang terjadi pada Pulau Nipah di Kepulauan Riau,” sambung Azlaini.
Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim Walhi Riau, Eko Yunanda, juga menuturkan dengan luas 150.288 hektar, Pulau Rupat sebagai pulau kecil terluar memiliki beban ancaman yang tinggi baik di wilayah darat maupun laut.
“Pulau Rupat termasuk kategori pulau kecil, sudah seharusnya tidak diberi izin baik di darat maupun laut,” ucap Eko.