RIAU ONLINE, PEKANBARU - Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Riau untuk pertama kalinya di tahun 2023 mengadakan seminar akbar dengan tema ''Dialog Tionghoa dalam Kebhinekaan'', Ahad, 7 Mei 2023.
Seminar akbar ini dimoderatori oleh Ketua DPW PITI Provinsi Riau yang juga Ketua Harian PSMTI Riau Jailani Tan dengan dua narasumber terkemuka yakni Ketua PSMTI Riau Stephen Sanjaya dan pendiri Museum Peranakan Tionghoa Indonesia Azmi Abu Bakar.
Ketua panitia, Kelvin menyebutkan bahwa kegiatan dihadiri lebih dari 300 peserta yang berasal dari kabupaten kota di Provinsi Riau dan juga luar Provinsi Riau. Peserta juga berasal dari berbagai kalangan dan berbagai usia.
''Kami sangat berterima kasih atas dukungan semua pihak sehingga kegiatan ini dapat terselenggara dengan baik,'' ucapnya.
Ketua PSMTI Riau Stephen Sanjaya yang memberikan materi soal sejarah PSMTI menyebutkan bahwa berdirinya PSMTI sejak pasca-kerusuhan Mei 1998. ''Melalui 14 orang pendiri, dideklarasikanlah organisasi sosial etnis Tionghoa ini dalam wadah PSMTI pada 28 September 1998 dengan pendiri Brigjen Purnawirawan Tedy Yusuf,'' paparnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, PSMTI merupakan organisasi etnik Tionghoa berskala nasional yang pertama dibentuk pasca reformasi. Secara umum, PSMTI yang merupakan organisasi Tionghoa terbesar di Indonesia telah berdiri di 167 kabupaten/kota di 30 provinsi seluruh Indonesia.
Stephen menyebut bahwa PSMTI selalu berupaya menghadirkan forum kebhinekaan guna mempererat rasa persatuan.
"Riau ini seperti kita ketahui tingkat toleransi semakin meningkat. Ke depan kita harapkan semakin bagus," harapnya.
Di kesempatan sama, pendiri Museum Peranakan Tionghoa Indonesia Azmi Abubakar menyampaikan materi sejarah kepatriotan orang Tionghoa.
''Kepatriotan orang Tionghoa juga tak kalah luar bisa,'' jelasnya.
Azmi mendirikan museum yang berlokasi di ruko Golden Road BSD, Tangerang Banten. Museum berdiri pada tahun 2011 dan telah memiliki lebih dari 30.000 koleksi kepustakaan Tionghoa Indonesia.
Pria yang juga Dewan Akar Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ini menyebut, Museum Pustaka Peranakan Tionghoa adalah museum yang menyimpan koleksi literatur, komik, surat kabar dan barang- barang lainnya tentang sejarah Tionghoa di Indonesia.
Salah satu yang mendasarinya mendirikan Museum Peranakan Tionghoa yakni kesamaan dari sisi sejarah Tionghoa yang melekat ketika tsunami Aceh pada 2004 silam.
"Bencana tsunami Aceh menelan hampir 200 ribu jiwa. Seluruh saudara orang-orang Aceh itu berdatangan, yang berlainan golongan maupun etnis. Saya menjadi saksi bagaimana orang-orang Tionghoa hadir di sana. Ini salah satu yang menyentuh saya," jelasnya.
Ia berharap dengan adanya museum ini bisa membongkar cara pandang dan stigma yang tersebar di masyarakat. Etnis Tionghoa menurutnya adalah bagian dari jati diri bangsa.
"Sama dengan Aceh, Melayu, Makassar dan seterusnya. Tidak mengenali Tionghoa adalah tidak mengenali diri kita sendiri. Ini yang mau saya garis bawahi," tukasnya.