Kisah Mahasiswa Riau Bertahan Hidup di Tengah Perang Sudan

Rangga-dan-ibu.jpg
(LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pelukan sang ibu menyambut kedatangan Rangga Saputra (21) di pintu kedatangan Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Rabu 3 Mei 2023, sore. Rangga datang bersama puluhan mahasiswa lainnya dari Jakarta setelah dievakuasi dari Sudan.

Keluarga dan kerabat yang awalnya menanti dengan cemas seketika berganti haru. Rasa syukur tak henti tercurah dari bibir mereka. 

Para anak akhirnya tiba dengan selamat di kampung halaman setelah menempuh perjalanan berhari-hari lamanya dari Republik Sudan.

Rangga dan puluhan mahasiswa Riau lainnya harus dievakuasi dari Sudan yang berkecamuk di tengah perang dan konflik bersenjata.

Pertempuran di Sudan meletus saat ketegangan yang meningkat antara Faksi Al Burhan dan Hemedti memuncak. Rangga tak bisa membayangkan jika dirinya masih berada di sana.

"Syukur Alhamdulillah kami sudah sampai dengan selamat kembali ke Riau," ujar mahasiswa Khartoum International Institute for Arabic Language (KIIFAL) Sudan ini.

Ia menempuh perjalanan dari ibu kota Khartoum, Sudan dari 25 April 2023. Awalnya mereka dievakuasi pertama di Port Sudan. Di sana, mereka diinapkan dua hingga tiga hari menunggu jadwal keberangkatan evakuasi ke Jeddah, Arab Saudi.

"Evakuasi pertama lewat jalur laut menempuh perjalanan selama 20 jam, evakuasi kedua dan ketiga langsung dijemput pesawat TNI ke bandara di Port Sudan. Sampainya di Jeddah, kami menanti tahapan evakuasi selanjutnya. Jadi ini termasuk kloter terakhir keberangkatan dari Jeddah ke Jakarta," jelasnya.

Rangga mengakui perasaannya bercampur antara senang dan tenang setelah kembali ke tanah air. Apalagi selama masih di kawasan konflik, keluarganya hampir 24 jam menanyakan kondisi. Bahkan sang ibu sampai tak makan karena menunggu kabar darinya.

"Sampai kami di sini Alhamdulillah ya Allah, bersyukur diberi kesehatan dan keselamatan. Jadi lebih kurang satu minggu perjalanan dari Sudan ke Pekanbaru," ujar anak kelima dari enam bersaudara. 

Harga Bahan Pokok Melonjak Drastis di Tengah Perang Sudan

Rangga hanya bisa pasrah dalam gelisah menanti proses evakuasi. Ia harus bertahan hidup dalam menghadapi situasi perang. Pasokan makanan menipis dengan harga-harga naik drastis.

"Tak mudah. Lebih ke pasrah diri karena kita tidak bisa keluar rumah, listrik mati, koneksi internet sering dimatikan bahkan pasokan makanan pada hari ketiga sampai terakhir kami dievakuasi beberapa toko sudah pada tutup. Toko kosong dan pasokan makanan menipis, (jika) ada pun tapi harga mendadak naik drastis," ungkapnya.



"Telur awalnya satu butir seharga Rp 2 ribu naik sampai Rp 6 ribu. Jadi waktu itu kami hanya makan seadanya, entah itu mie atau telur. Kami hanya perlu makan, yang ada dalam pikiran segera bisa keluar dari Sudan," ujarnya penuh haru.

Melonjaknya harga bahan pokok juga dibenarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebutkan harga komoditas dasar melonjak 40 hingga 60 persen seperti bahan bakar, makanan pokok, dan air kemasan di beberapa daerah di Sudan.

WHO memperingatkan, banyak yang akan meninggal karena kurangnya layanan penting dan wabah penyakit. Persediaan medis menipis secara signifikan di daerah-daerah yang dilanda pertempuran, termasuk di Ibu Kota Khartoum, serta Darfur Barat dan Tengah.

Peluru Nyasar ke Rumah

Di situasi perang, apa yang paling ditakutkan? "Mati," kata Rangga yang sudah merasakan hidup di Sudan hampir tiga tahun.

"Karena di hari pertama saja, di rumah kami itu ada tiga peluru nyasar. Cuma karena Allah Maha Baik jadinya cuma kena dinding sama atap. Kalau sempat kami yang kena, wallahu a'lam," ucapnya.

Dirinya bersyukur tidak ada korban jiwa dari Warga Negara Indonesia (WNI). Ia berterima kasih kepada semua pihak yang membantu. Mulai dari logistik, obat-obatan dan tiket kepulangan.

"Alhamdulillah dari pihak KBRI, KJRI Jeddah, Kemenlu Pusat sangat memperhatikan kondisi kesehatan kami, mulai dari makan dan menyediakan beberapa obat-obatan dan logistik selama di perjalanan. Tiket pulang dari Jakarta-Pekanbaru juga ditanggung Baznas Provinsi Riau," paparnya.

Untuk pendidikan, kata Rangga, mereka akan melanjutkan di tanah air, mengingat situasi di Sudan belum kondusif. Pemerintah akan mengurus kelanjutan pendidikan mahasiswa terdampak perang Sudan.

"Sampai hari ini pun kondisi di sana (Sudan) makin memanas. Dua belah pihak tidak ada mau mengalah. Jadi kalau kami memandang ke depan, kecil kemungkinan untuk kembali ke sana, karena belum tau sampai kapan. Alhamdulillah dari Menko PMK siap membantu kelanjutan kuliah kami di sini," ulasnya.

Ibu Tak Bisa Makan dan Tidur, Doa Tak Putus

Lismarni tak kuasa menahan haru kala melihat wajah sang putera tiba di Bandara SSK II Pekanbaru. Penantian berhari-hari dihantui rasa cemas akhirnya berbuah lega. Ucapan syukur tak henti sembari mendekap sang putra.

Air bening nan hangat mengalir dari mata wajah wanita paruhbaya kala menyampaikan rasa syukur di hadapan awak media. Air mata terus mengalir diiringi ucapan syukur kepada pencipta.

Membayangkan anaknya bertahan dalam gempuran perang membuat Lismarni tak bisa makan dan tidur nyenyak. Segala doa tak henti ia kirimkan demi bisa kembali memeluk sang putra.

"Selama menanti kepulangan anak di Riau, tak bisa diungkapkan, tidak bisa tidur. Sebelum dia sampai selalu doa tidak putus. Syukurnya masih bisa menelepon. Ada satu hari satu malam kita tidak bisa menghubunginya karena mau berangkat ke RI," ungkapnya.

Wanita berkerudung ini menyebut, hal yang paling dikhawatirkan saat anaknya kesulitan pasokan makanan. Ia tak pernah menduga bakal ada pertempuran saat anaknya menempuh pendidikan di Benua Afrika.

"Entah cemana lah perasaan ibuk, campur aduk," ucap wanita asal Kampar ini.

Bernazar dan Potong Kambing

Tidak hanya doa, Lismarni juga bernazar atas keselamatan sang anak. Kegelisahan dalam penantian tak bisa ia tepis hingga anaknya kembali dengan selamat.

"Ibu bernazar, berdoa juga supaya selamat anak saya, sampai di tanah air. Alhamdulillah tercapai. Selama lebaran pun kami tak ada keluar dari rumah, hanya berdoa terus," ucapnya.

Setelah mendapat kabar sang anak bertolak dari evakuasi jalur laut, Lismarni langsung mengadakan acara syukur. Ia memotong seekor kambing untuk acara doa bersama.

"Langsung acara mendoa. Kambing sudah dipotong saat mereka berpindah dari pelabuhan," ujarnya.

Dirinya berharap pemerintah bisa membantu kelanjutan pendidikan anak mereka. "Yang penting kita selesaikan. Kita orang tua hanya bisa berdoa dan mengikhlaskan," tandasnya.