Siapa Dalang di Balik Peristiwa G30?

7-perwira-korban-G30S-PKI.jpg
(Sumber: sumbarprov.go.id via Kumparan)


RIAUONLINE - Banyak penelitian mengungkap bahwa pelaku di balik peristiwa G30S tidak tunggal. Namun, versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalam dari peristiwa berdarah itu.

Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman, Soekarno dalam Pidato Nawaksara menyebut bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab.

"Yaitu pimpinan PKI keblinger, subversi nekolim, dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing," kata Asvi mengutip Historia.id, Jumat, 30 September 2022.

Setidaknya, berbagai penelitian mengungkap lima versi tentang pelaku G30S, yaitu PKI, konflik internal Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan unsur asing, terutama CIA yang merupakan Dinas Intelijen Amerika Serikat.

PKI

PKI sebagai pelaku G30S merupakan versi rezim Orde Baru. Sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh yang pertama membuat literatur dengan tajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya, disebutkan tentang skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini pun jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Rezim Orde Baru juga membuat Buku Putih yang dikeluarkan Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa.

Sebab itu, versi Orde Baru ini mencantumkan "/PKI" di belakang G30S. Namun, para pelaku menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai "Gerakan 30 September" atau "G30S".

Gerakan ini bahkan pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh), sebagai bagian dari propaganda Orde Baru. Penyebutan G30S/PKI menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal AD itu adalah PKI.

Bertahun-tahun peristiwa itu diajarkan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Sehingga, menutup kemungkinan munculnya pelaku versi lain yang berdasarkan pada sudut pandang berbeda atas peristiwa itu. Kesimpulan itu pun diambil tanpa melewati penyelidikan terlebih dahulu.

Dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, sejarawan John Roosa mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Pasalnya, rencana gerakan Untung hanya diketahui segelintir orang saja. Padahal, keputusan resmi partai seharusnya diketahui oleh semua pengurus. Tapi nyatanya, struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central sampai Comite Daerah Besar tak tahu tentang rencana itu.

"Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnua, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, oang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 2965 sampai paginya itu," ungkap Asvi.

Konflik Internal AD

Melalui A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesia atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan bawah peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal AD.



Sejarawan Harold Crouch dalam Army and Politics in Indonesia (1978) pun mengatakan bahwa menjelang tahun 1965, Staf Umum AD (SUAD) pecah jadi dua faksi. Keduanya anti-PKI, tapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno.

Faksi tengah yang dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, menjadi kelompok yang loyal terhadap Soekarno. Namun menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya.

Faksi kanan, justru bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Soekarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution, dan Mayjen TNI Soeharto.

Dalih untuk menyelamatkan Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal pada peristiwa G30S sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama "faksi tengah" untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD.

Selain mendukung itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negera disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah "agen rangkap" yang bekerja untuk D.N. Aidit dan AD.

Soekarno

Soekarno pun ikut dituding terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 2, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defear (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devios Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.

Asvi menyebut ketiga buku itu "mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu."

Keluarga Soekarno protes keras saat buku Dake berjudul Sukarno File (2005) terbit di Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Soekarno. Yayasan Bung Karno bahkan menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006 untuk menyanggah buku-buku tersebut. Cetakan kedua memuat bantahan dari kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.

Soeharto

Dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999), Komandan Briogade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief, mengungkap bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta, pada 28 September 1965, tepatnya dua hari sebelum operasi itu dilangsungkan.

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi yang menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965.

Kendati sudah dua kali dilaporkan, menurut Latief, tidak ada larangan atau upaya pencegahan dari Soeharto kala itu.

Namun menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu Latief dan mengetahui rencana G30S, tapi tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasuiton, menjadi titik masuk bagi analisis "kudeta merangkak" yang dilakukan oleh Soeharto. Beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan Saksia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan Menteri Luar Negeri.

Soebandrio dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) mengungkap rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap, yakni menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965, membubarkan PKI, partai dengan jutaan anggota dan pendukung Soekarno, menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno, dan mengambialih kekuasan Soekarno.

CIA

Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, termasuk Jepang, berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. AS menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.

David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy, menyebut opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Soekarno beralih kebijakan, menyingkirkan Soekarno, mendorong AD merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI, dan merekayasa kehancuran PKI, sekaligus menjatuhkan Soekarno. Pilihannya adalah opsi terakhir.

Keterlibatan AS melalui operasi CIA dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap oleh sejumlah sumber. Profesor dari University of California, Peter Dale Scott, menulis US and Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira AD dalam Sekolah Staf Komando AD (Seskoad). Salah satunya Soeharto.

Sumber lainnya, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Dan buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya.

Roosa mengungkap bahwa pada akhir 1965, AS memberi perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan apra mantan pejabat tinggi AS di akhir 1980-an menemukan bahwa AS sudah memantau komunikasi AD melalui radio-radio itu.

CIA memstikan bahwa frekuens-frekuensi yang akan digunakan AD sudah diketahui National Security Agency (NSA), sebuah badan keamanan nasional AS. NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan kemudian diterjemahkan oleh para analis, lalu hasilnya dikirim ke Washington.

Dengan begitu, AS memiliki detil bagian demi bagian laporan terkait penyerangan AD terhadap PKI, misalnya mendengar "komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu."

AS juga memberikan bantuan dana sebera Rp 50 juta atau sekitar 10 ribu USD untuk membiaya kegiatan Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP Gestapu). Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama tokoh PKI kepada AD.