Pengguna Lahan Tanpa Izin di Riau Bakal Diampuni, LAMR: Tak Adil

Konflik-Lahan.jpg
(Liputan6.com/Rino Abonita)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, setidaknya 1.444.800 hektare luas hutan di Riau digunakan tanpa izin. Mayoritas dari keseluruhan hutan itu digunakan untuk perkebunan sawit ilegal dengan luasan 1.351.816 hektare.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Syahril Abubakar, menolak keras rencana pengampunan pelaku lewat UU Cipta Kerja.

"LAM pihak saya menolak dengan keras kebijakan yang diwacanakan Kementerian LHK untuk memberikan pengampunan kepada pemilik kebun yang masuk dalam kategori kebun ilegal. Kita sependapat dengan kawan-kawan aktivis lain. UU Omnibus law sudah ditolak oleh MK untuk diperbaiki, karena sangat bertentangan dengan UUD maupun filosofi Pancasila. Maka dengan adanya keinginan memberikan pengampunan perusahaan yang membabat hutan secara ilegal, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan khususnya masyarakat adat," katanya, Senin, 29 Agustus 2022.

Syahril menyampaikan ada 1 juta hektare berada di tanah ulayat di antara 1,4 juta hektare tersebut. Hal itu dijelaskannya setelah dikuras perusahaan besar selama lebih kurang 30 tahun dan masyarakat adat tidak dapat apa-apa.

"Tentu tak adil di situ. Makanya harusnya itu kebun ilegal dikembalikan ke masyarakat adat, bukan perusahaan," tegas Syahril.



 

 

"Perusahaan wajib membayar denda kepada negara selama berapa tahun mereka menikmati itu, dan ke depan harus dikembalikan ke masyarakat. Itu yang harus didorong oleh pemerintah, berapa rinciannya yang berada di atas tanah ulayat, itu yang harus dikembalikan ke masyarakat adat. Baru nantinya masyarakat adat bekerjasama dengan perusahaan, itu baru adil," tuturnya.

Berangkat dari permasalahan itu, pihaknya sesegera mungkin akan menyurati Presiden Jokowi, dan sedang merancang pertemuan melalui KSP Moeldoko.

"Tentu ada yang bertanya, kalau LAM yang saya pimpin ini tidak sah. Saya tegaskan, yang tidak sah itu kan di mata gubernur saja, kami masyarakat adat tetap berjalan dengan masyarakat adat yang berjalan menaungi kami semua," cakapnya.

"Ini kami mendorong agar masyarakat adat tetap mendapatkan haknya. Kalau Pemprov tak mengakui kami itu lain soal. Yang jelas hak masyarakat adat dan kami membela itu," tandas Syahril.