RIAUONLINE, PEKANBARU - Meski persentase penduduk miskin Riau pada Maret 2022 sebanyak 485,03 ribu orang turun 15,78 ribu orang dibanding Maret 2022, namun ada beberapa hal yang mendasari tingkat kemiskinan di Riau bisa terjadi.
Koordinator Fungsi Statustik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, Rini Apsari, menghimpun tujuh faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Riau selama periode September 2021 hingga Maret 2022, diantaranya:
1. Perekonomian Riau triwulan I-2022 terhadap triwulan I-2021 mengalami pertumbuhan sebesar 4,72 persen (y-on-y). Angka ini jauh meningkat dibanding capaian triwulan III-2021 yang tumbuh sebesar 4,13 persen (y-on-y).
2. Pengeluaran konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2022 tumbuh sebesar 5,01 persen (y-on-y), telah jauh membaik dibandingkan pertumbuhan triwulan III-2021 yang hanya sebesar 2,93 persen.
3. Selama periode September 2021– Maret 2022, angka inflasi umum di Provinsi Riau tercatat sebesar 2,63 persen.
4. Pada Agustus 2021, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Riau sebesar 4,42 persen. Kemudian menurun 0,02 persen poin menjadi 4,40 persen pada Februari 2022.
5. Pada periode September 2021 - Maret 2022, harga eceran beberapa komoditas pokok di Provinsi Riau mengalami kenaikan, antara lain: cabai merah, cabai hijau, bawang merah, cabai rawit, daging ayam ras, dan minyak goreng.
Namun demikian, terdapat pula beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga, antara lain: daun bawang, buah naga, kol putih/kubis, telur ayam kampung, kacang tanah, dan beras.
6. Penduduk yang terdampak Covid-19 pada Februari 2022 mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2021 dari 360,20 ribu orang menjadi 193,50 ribu orang.
7. Bantuan Sosial Pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Daerah sangat membantu penduduk pada masa pandemi, terutama penduduk pada lapisan bawah.
Sementara, dalam menghimpun data-data Tingkat Kemiskinan di Riau, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan dan bukan makanan.
Ketidakmampuan tersebut kemudian diukur menggunakan dua komposisi, yaitu Garis Kemiskinan Nakanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM)
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari.
Jadi, apabila sebuah keluarga mengonsumsi lebih dari 2100kkal perkapita perhari, maka pada posisi garis kemiskinan makanan, anggota keluarga tersebut tidak dianggap miskin.
Sementara itu, Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.