RIAUONLINE, PEKANBARU - Tahun 2021 dapat disebut tahun yang buruk bagi daerah-daerah penghasil sumberdaya minyak dan gas bumi. Termasuk daerah-daerah penghasil Migas di Riau.
"Komoditas primadona (migas) sudah tidak lagi menjadi sumber keuangan untuk bergantung, apalagi situasi 2021 ini adalah cerminan dari untuk tahun-tahun yang akan datang," ungkap Triono Hadi, Selasa 27 April 2021.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang transfer keuangan pemerintah daerah dan dana desa untuk tahun 2021, DBH Migas untuk daerah-daerah di Riau (12 Kab/kota dan Provinsi) hanya ditargetkan Rp. 1,7 Triliun.
Target Penerimaan transfer DBH Migas ke Riau ini merupakan target terendah sepanjang 10 tahun terakhir.
DBH Migas yang ditargetkan diterima tahun 2021 ini hanya 35% nya dari target yang ditetapkan tahun 2020 dan hanya 32% dari realisasi tahun 2019.
"Artinya potensi DBH Migas yang diterima oleh pemerintah se Riau tahun 2021 ini jauh bekurang dari tahun sebelumnya yang belum diketahui jelas apa yang menjadi penyebabnya," ujar Triono Hadi.
Provinsi Riau yang mendapatkan bagian 3,5% dari hasil migas Kabupaten se Riau, tahun 2021 hanya ditargetkan Rp. 346,1 Milyar. angka itu jauh dari taget tahun 2020 sebesar Rp. 1,28 Tirliun dan realiasi tahun 2019 sebesar Rp. 830 Milyar.
Kondisi yang sama untuk daerah penghasil migas besar di Riau, seperti Bengkalis, Siak, Kampar, Rokan Hilir. Tahun 2021 target DBH migas yang akan diterima oleh darah-daerah itu hanya sepertiga dari realisasi DBH migas tahun 2019 dan target tahun 2020
"Kondisi ini akan semakin memperkecil kapasitas fiskal yang dimiliki oleh pemerintah Provinsi maupun kabupaten Kota penghasil Migas," Ungkap Triono Hadi mengingatkan.
Kabupaten di Riau rata-rata menggantungkan pendapatan daerah yang sangat tinggi kepada pendapatan transfer dari pusat. Salah satunya adalah dana bagi hasil kelola sumberdaya alam, padahal selain itu juga ada bagi hasil pajak, DAU serta DAK.
Kabupaten/kota di Riau rerata 89% dari penerimaan daerahnya berasal dari dana tansfer pusat maupun transfer provinsi yakni dana bagi hasil dan dana perimbangan. Sementara pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil di tingkat kabupaten/kota.
Padahal PAD merupakan sumber pendapatan asli daerah yang dipungut dari pajak retribusi daerah dan pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan PAD yang merupakan cerminan dari bagaimana kondisi ekonomi di daerah itu.
"Semakin kecil PAD maka menunjukkan tingkat ekonomi di daerah masih belum baik. Ekonomi dapat dilihat dari aspek pajak dan retribusi daerah untuk skala yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan kewenangannya," jelasnya.
Triono Hadi juga menyebut sulit untuk melihat efektifitas penggunaan DBH migas ini oleh pemerintah daerah. Karena dalam perencanaan anggaran tidak ada marking belanja daerah yang berasal dari DBH migas.
"Karena mekanisme bercampur baur, maka sangat mungkin belanja-belanja yang boros dan tidak efektif itu juga berasal dari pendapatan DBH migas," tutup Triono