RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dalam Draf RUU tentang Pemilu yang masuk prolegnas prioritas DPR tahun 2021 ini, eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dilarang menjadi calon peserta dalam pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Riau, Aidil Haris mengatakan, pemerintah harus mengkaji lebih dalam sebelum mengesahkan draf RUU tersebut. Menurut Aidil akan ada potensi konflik horizontal yang terjadi, khususnya konflik ideologi agama.
"Pemerintah harus mengakaji dulu apa yang diusung HTI. Khilafah seperti apa, harus dipelajari betul. Baik dalam konteks siasah, kalau dalam Islam, maupun kenegaraan konteks politik demokasi," katanya.
Lebih lanjut, Aidil juga mempertanyakan dimana letak tindakan penyimpangan yang dilakukan HTI. Selain itu, apakah HTI sudah merugikan banyak orang seperti PKI. Kalau PKI jelas bertindak melanggar kemanusiaan.
Menurut Aidil, negara tidak punya cukup dasar untuk menyamakan status HTI seperti PKI hingga tak mengizinkannya berpartisipasi dalam pemilihan umum, daerah, dan legislatif.
Aidil juga mengatakan, sangat beresiko kalau wacana ini sampai digulirkan. Ia khawatir ada oknum-oknum yang sengaja membangun narasi yang berefek mendiskreditkan kelompok Islam. Jadinya isu agama dan sangat riskan.
"Jangan sampai ini jadi 'gejolak' dan perang ideologi agama. Harus diwaspadai. Justifikasi negara terhadap HTI ini malah jadi tudingan," ujarnya.
Adapun isi dari draf revisi UU Pemilu, pada Pasal 182 Ayat (2) huruf jj, HTI disetarakan dengan PKI yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu, yakni persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI.
Pada Pasal 311, Pasal 349 dan Pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah melampirkan persyaratan administrasi yaitu surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.