PSBB Jangan Jadi Ajang Penderitaan Baru Warga Pekanbaru

Warga-Panam-Pekanbaru-Lockdown-Lokal.jpg
(Riau Online)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR), Kasmanto Rinaldi mengingatkan semua pihak untuk menjalankan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai dengan substansinya, yakni membatasi penyebaran virus corona Covid-19.

 

Pasalnya, Kasmanto mengaku khawatir jika nantinya imbas dari kebijakan ini berujung pada pemenjaraan terhadap sejumlah masyarakat. Oleh sebab itu, menurutnya, perlu pemikiran dan solusi yang tepat dan benar terkait dengan hal ini supaya bisa berjalan dengan baik dan efektif.  Memang berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah, ada sanksi pidana hingga denda.

 

"Namun, perlu banyak pertimbangan dalam pelaksanaannya. Persoalan ini memang nanti yang lagi-lagi menjadi perhatian perlu diatur lebih detail, pertama tidak berlebihan atau interpretasi oleh aparat dilapangan," kata Kasmanto, Senin, 13 April 2020.

 

Selanjutnya, agar banyak masyarakat yang mendukung upaya pembatasan ini, dia mengingatkan jangan sampai ada aparat yang bereaksi salah karena ketidakjelasan interpretasi di lapangan.

 

Adapun hal yang perlu menjadi titik fokus terkait pelaksanaan PSBB di Kota Pekanbaru adalah soal penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang bukan warga Pekanbaru.

 

Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR), Kasmanto Rinaldi

 



Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR), Kasmanto Rinaldi 

 

Secara riil di lapangan, jelas Kasmanto, bahwa di Kota Pekanbaru sendiri terdapat kawasan-kawasan padat penduduk dan ada juga kawasan yang kumuh.

 

Sehingga, dengan pembatasan ini, sangat perlu perhatian semua pihak terkait terjadinya konsentrasi di perkampungan atau di RT RW yang jumlah penduduknya sangat padat sekali. 

 

"(Kepadatan penduduk) ini yang harus menjadi PR bagi Pemda dan Aparat kemanan nantinya," tambahnya.

 

Selanjutnya, untuk konsep pengamanan yang bisa diterapkan saat ini, menurut Kasmanto adalah situasional crime prevention dalam konteks swadaya masyarakat. 

 

Hal ini sejalan dengan kekhawatiran masyarakat secara umum akibat dari banyaknya warga binaan di Lapas yang di berikan keringanan hukuman. 

 

Memang secara regulasi kebijakan ini dibenarkan dan secara kemanusiaan ini adalah cukup mulia, namun tidak ada yang bisa memasikan apakah warga binaan yang dilepaskan tersebut sudah benar benar "taubat" atau tidak.

 

"Apakah bisa mereka lebih baik perilakunya sekarang dibandingkan dia masuk ke dalam Lapas kemarin Inilah yang perlu menjadi fokus pihak terkait, mengingat proses pembinaan warga binaan di Lapas yang hampir dialami diseluruh Indonesia yang belum maksimal dengan berbagai hambatan, dan dikhawatirkan potensi mereka menjadi resedivis atau mengulangi perbuatan jahat itu kembali menjadi terbuka. Semoga kekhawatiran ini tidak terjadi," jelasnya.

 

Terkait adanya potensi premanisme oleh aparat pengamanab dalam tim Siskamling, dimana warga yang hendak keluar atau masuk suatu wilayah akan mengalami 'pemalakan', ditegaskan Kasmanto juga harus menjadi perhatian.

 

Sebab, dari informasi yang di dapat, petugas Siskamling hanya digaji Rp 500 ribu per bulan. Sementara PSBB berlaku 2 pekan atau 14 hari. Artinya 14 hari mereka hanya digaji sebesar Rp 250 ribu. 

 

"Oleh sebab itu, perlu pengawasan dan pembinaan dari pemerintah kecamatan atau kelurahan, TNI dan Kepolisian yang berdinas diwilayahnya masing masing,  jangan sampai wabah Covid 19 ini menjadi ajang kejahatan baru yang malah membuat masyarakat semakin tidak nyaman," tutupnya.