RIAU ONLINE, PEKANBARU - Desakan mahasiswa dan pelajar di Riau pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 menuntut kepala daerah yang baru membuat karir politik Kolonel Kaharuddin Nasution, diujung tanduk.
Prajurit Para Komando tersebut dinilai para mahasiswa dan pelajar, kemudian dijuluki Eksponen 66 tersebut, gagal membersihkan Riau dari bau-bau PKI.
Garang di palagan, pertempuran, namun harus berakhir karirnya sebagai Gubernur Riau di tangan mahasiswa. Itulah nasib Gubernur Riau 1960-1966, Kolonel Inf Kaharuddin Nasution, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Baca Juga:
Kini Penjara Untuk Tahanan PKI Itu Berdiri Plaza Citra
Mahasiswa PKI Tak Bisa Bubarkan HMI, Aidit: Pakai Sarung Saja
Bekal sebagai prajurit Para Komando belum mumpuni untuk membendung gelombang unjuk rasa dilakukan para mahasiswa serta pelajar tergabung dalam Angkatan 66.
Gelombang unjuk rasa ini merupakan buntut dari pecahnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965, menculik enam jenderal plus satu perwira pertama, kemudian dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Kaharuddin Nasution, ketika itu sebagai Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah (Pepelrada) dan Gubernur Riau, tak merespon, bahkan seakan-akan mengabaikan tuntutan para pelajar, mahasiswa dan pemuda di Riau.
Tuntutan mereka antara lain, Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora dan Turunkan harga sembako, kemudian dikenal dengan Tritura.
Sejarawan Riau, Prof Suwardi MS dkk dalam bukunya,"Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 dan buku lainnya, Sejarah Lokal Riau:, menceritakan bagaimana tuntutan kaum terdidik itu tak digubris oleh Kaharuddin Nasution.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Riau, didirikan pada 7 Oktober 1965, di Kantor Jawatan Sosial. Rapat tersebut dihadiri tokoh-tokoh dari PII, HMI, Ansor, IMM, PMII, SEMMI, SEPMI, PI Perti dan Mapancas.
KAMI periode awal ini dipimpin Harun Ghazali (HMI),- pernah menjabat sebagai pimpinan Yayasan Ibnu Sina, membawahi RS Ibnu Sina, Aripin DS (PMII), ayah dari mantan Wakil Bupati Rokan Hulu, Hafith Syukri, Ibrahim Ajad (IMM), Sulaiman Adam (Dema FKIP) dan Buchari Syarif (HMI).
Klik Juga:
Usai Singkirkan Soekarno, Soeharto Campakkan Tiga Jenderal Loyalisnya
Terkuak! Di Balik Penghentian Film G30S/PKI Ada Nama Petinggi-Petinggi Ini
Sedangkan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Riau, dipimpin Agus Marzaini ((PII), Asmar Saleh (SEPMI) dan Muslim Chatib (IPM), serta tokoh lainnya. Aksi organisasi-organisasi tergabung dalam KAPI dan KAMI ini kemudian diikuti GMKI dan PMKRI.
Angkatan Muda Riau ini selain berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, juga mengambil alih kantor-kantor PKI, Baperki dan sekolah-sekolah berafiliasi ke partai tersebut.
Aksi anak muda Riau ini semakin kuat usai ditopang dan didukung oleh ABRI, ketika itu, kini TNI, terutama prajurit dari Kodam Siliwangi. Mereka ditempatkan di Pekabaru, sebagai pasukan persiapan Konfrontasi dengan Malaysia.
"Mula-mula gerakannya, berbentuk latihan-latihan musik di dalam rumah dan halaman rumah Syaharuddin Bibra. Sedangkan pusat kegiatan mereka, dipusatkan di Sekolah China, Pe Eng, kini di belakang Dinas Pemadam Kebakaran Jalan Cempaka," tulis Guru Besar Sejarah Universitas Riau.
Berbagai aksi dilakukan generasi muda tersebut, ternyata tak mendapat dukungan dari Kaharuddin Nasution, Komandan RPKAD tahun 1959 tersebut. Mantan komandan LB Moerdani itu tidak serta-merta memihak Angkatan 66.
Karena sikap penguasa Riau tersebut tak memihak Angkatan 66, pada 24 Mei 1966, pelajar dan mahasiswa tergabung dalam IPMR-Jakarta, Badan Kerja Sama Pelajar Mahasiswa se-Jawa, dan Badan Musyawarah Besar Nasional Masyarakat Riau se-Indonesia, mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Mayjen TNI Basuki Rachmat. Isinya, menuntut agar Gubernur Kaharuddin Nasution di-retool dari posisinya.
"Alasannya, semasa prolog Gestapu PKI, Gubernur Kaharuddin Nasution dengan sengaja membuat sistem pemerintah daerah mengakibatkan timbulnya penyelewengan dengan memberi kebebasan kepada PT Karkam untuk memeras rakyat Riau," tulis Suwardi MS dalam buku tersebut.
Poin berikutnya, generasi muda Riau menuntut Kaharuddin Nasution karena ketiadaan sikap dan tindakan tegas dari mantan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) pertengahan 1980-an dalam membersihkan aparatur pemerintahan di bumi lancang kuning dari oknum-oknum PKI, kaum plin-plan dan golongan vested interest.
Sebulan kemudian, 28 Juni 2016, Pimpinan Missi Ampera, seperti Thamrin Nasution (beberapa periode jabat anggota DPRD Riau dari Golkar, dosen FISIP Unri), Thamrin Yahya, T Abdul Manan, Syed Abdullah Ghazali (dosen FISIP Unri dan jabat anggota DPRD Riau dari Golkar), Arsyad Bhawan dan Mustafa Noor, diterima Peperalda Riau, Kaharuddin Nasution.
Missi Ampera meminta Kaharuddin Nasution melepaskan M Nazar Muhammad yang ditahan di Tahanan Politik Umum (TPU), - kini berdiri megah Plaza Citra, Jalan Pepaya.
Tak hanya itu, mereka juga meminta tokoh-tokoh Riau yang ditahan, seperti mantan Wali Kota Pekanbaru, Datuk Wan Abdurrachman, Tubagus Ishak M, T Machmud Anzam, T Rasmy Saleh, Buchari Syarif, dan Dahlan Abdullah, dibebaskan.
"Puncaknya, Kaharuddin berang saat mahasiswa menggelar orasi-orasi di SMA Negeri 1 dan kampus Unri Gobah. Orasi mereka mengatakan, Soekarno sudah di ambang pintu. Kaharuddin mengatakan, Missi Ampera supaya belajar saja, jangan ikut-ikutan berpolitik," kata Suwardi.
Lihat Juga:
Jalan Berdarah Soeharto Menuju Istana Negara
Sesama Kodam Diponegoro, Soeharto Tak Masuk Jenderal Diculik Pasukan Letkol Untung
Mendapat perlawanan seperti itu, seorang anggota Missi Ampera menjawab, mereka tidak suka Orde Lama, sekarang sudah masa Orde Baru. Sejak saat itu, usai pertemuan, Missi Ampera gerak-geriknya dimata-matai orang.
Kemudian pernyataan sama dikeluarkan KAMI, KAPI dan Kesatuan Aksi Pengganyangan Nekolim dan Gerakan PKI, 21 Juni 1966.
Di seberang pelabuhan Pelita Pantai, terlihat dengan jelas berjarak 2 meter, telah dijaga pasukan keamanan bersenjata lengkap.
Missi Ampera tak takut dan gentar. Sekali lagi, kakak kandung Angkatan 66, Kodam Siliwangi dibawah pimpinan Kapten Sukatma, melindungi aksi mereka dengan mengawal dan membawa rombongan ke pemondokan Stadion Dwikora (dulu Stadion Hangtuah, kini jadi bagian Masjid Agung An-Nur).
Tujuh hari berselang, Missi Ampera diterima audiensi oleh Peparalda, Kaharuddin Nasution. Mereka meminta para tahanan berseberangan dengan Kaharuddin dibebaskan dati TPU.
Di antaranya, M Nazar Machmud, pimpinan KAMi dan KAPI Riau, Datuk Wan Abdurrahman, Tubagus Ishak M, T Mahmud Anzam, Rasmy Saleh, Bushcari Syarief dan Dahlan Abdullah.
"Kaharuddin Nasution beralasan, mereka bukan ditahan, melainkan diisolir," tulis Guru Besar Sejarah Unri tersebut.
Pada 15 Juli 1966, mengalirlah massa KAMI dan KAPI dari pelosok Riau, termasuk Kepulauan Riau, ke Pekanbaru dengan mendatangi DPRD-GR menyampaikan Nota Politik. Sayang, ketika itu meletus bunyi tembakan gencar dari aparat keamanan.
Sebanyak 15 anggota KAPI berjatuhan usai mendapat sodokan keras dari popor senapan aparat, tendangan dan terjangan.
Mereka kemudian dilarikan ke RS Caltex di Rumbai. Tak hanya itu, sejumlah aktivis juga ditahan, di antaranya Mustafa Noor, Leonard Kaligis, M Arifin, Fauzi Suherman. Agus Jun Batuah, dari Missi Ampera dan Imran, Asman, serta Juliaman dari KAMi/KAPPI Riau.
Para aktivis ditahan itu kemudian dibawa ke Markas Arhanudse di Kubang, berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota.
Dampak dari peristiwa tersebut, dibentuklah Tim Pencari Fakta dari KAMI Pusat dan mereka ke Pekanbaru selama 6-14 Agustus 1966, dipimpin Elyas dan Imran Said Alan.
Elyas kemudian melakukan reorganisasi pimpinan KAMI Riau yang baru terdiri dari Darubani Lahasy, Khaidir Kadir, Darul Arief (kini pimpinan Tiki di Riau), Thaher Assey dan lain-lain, ditandai dengan pelantikan mereka 10 Agustus 1966.
Berselang 18 hari kemudian, 28 Agustus 1966, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat Riau di Jakarta, mengeluarkan dua pernyataan.
Isinya, guna menciptakan stabilitas politik dan ekonomi di Riau, perlu secepat mungkin dilakukan pergantian Gubernur Riau serta mengusulkan Kolonel Inf Ariffin Achmad (ketika itu menjabat Asisten II Koanda Sumatera di Medan) sebagai Gubernur Riau.
Keinginan tersebut dikabulkan pemerintah pusat dan Arifin Achmad, anak Riau, perwira TNI AD yang berperang dan besar di Bumi Lancang Kuning, dilantik sebagai Gubernur oleh Mendagri, 15 November 1966.
Kaharuddin Nasution sendiri dilantik sebagai Gubernur Riau tak terlepas dari perannya meredam Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI).
Ia mendarat di Pekanbaru, Lapangan Udara Simpang Tiga (kini Sultan Syarif Kasim II) pada 12 Maret 1958, sebagai Komandan RPKAD.
Ia merupakan perwira komando berdarah batak, lahir 25 Juli 1925 dengan masa tugasnya sebagai tentara dihabiskan di luar Sumatera Utara. Walau akhirnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara, 1983-1988.
"Kaharuddin merupakan lulusan INS Kayu Tanam dibawah asuhan Muhammad Syafei di Sumatera Barat," kata Suwardi MS.
Karir militer Kaharuddin Nasution dimulai di masa pendudukan Jepang. Setibanya di Tokyo, sebagai balatentara Jepang, 1945, ia menerima berita Indonesia telah Merdeka.
Langsung Kaharuddin meninggalkan pasukan dan berlayar menumpang kapal kargo sampai di Syo Nan To (Singapura). Secara diam-diam, kemudian ia melanjutkan berlayar ke Jakarta.
Mula-mula, Kaharuddin bergabung di TRI sebagai Komandan Mobil dan seterusnya mejadi Komandan KMKB Jakarta Raya (1954-1955), Komandan RPKAD (1956-1959) dan Komandan RTP I/Operasi Tegas 17 Agustus di Riau Daratan (1959-1960).
Kaharuddin kemudian ditugasi oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Riau kedua usai SM AMin, mulai 1960-1966. Ia pula memindahkan ibukota Pprovinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Banyak prestasi diukir dan kini masih bisa dinikmati Kaharuddin Nasution.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id