RIAU ONLINE - Ketegangan seketika mengubah suasana yang semula akrab dan bersahabat di Amerika Serikat pada 1956. Presiden Soekarno tengah di Hollywood, ditemani oleh beberapa selebritas ternama negeri Paman Sam, salah satunya Jeans Simmons, aktris cantik yang sangat terkenal kala itu.
“Nanti di Jakarta saya ingin naik becak,” ungkap Simmons yang barangkali mengakrabkan diri dengan sang tamu agung dan terhormat yang didampinginya itu, dikutip dari buku Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007:191) karya Alwi Shahab, melansir Tirto.id, Rabu, 25 Juli 2018.
Tapi ternyata, Soekarno tidak berkenan dengan ucapan Simmons. Siapa sangka, Soekarno malah marah dan menghardik artis berkebangsaan Inggris itu.
Bekerja menarik becak, tukas Bung Karno, tidak pantas dibanggakan, apalagi dijadikan ikon Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Baginya, profesi sebagai tukang becak adalah bentuk nyata dari “penghisapan manusia oleh manusia lainnya”.
Perkara menarik becak yang dianggap sebagai pekerjaan tidak manusiawi itu kembali disinggung Soekarni saat menjamu Duta Besar AS untuk Indonesia, Howard P. Jones, sepulangnya ke Jakarta. “Dalam menuju masyarakat yang adil dan makmur tidak boleh lagi ada penghisapan manusia oleh manusia,” tegas presiden (Shahab, 2007:192).
Soekarno marah-marah di Amerika Serikat, bukan hanya saat itu. Lain waktu pada 1960, Soekarno mencak-mencak lagi di negara adikuasa tersebut. Tak tanggung-tanggung, kali ini Bung Karno murka di Gedung Putih lantaran merasa tidak dihargai oleh pemerintah AS dan presidennya Dwight D. Eisenhower, saat itu.
Kekesalan Sukarno di Amerika
Kala itu, Bung Karno memang diundang khusus oleh Eisenhower untuk mengunjungi Amerika. Bisa jadi Eisenhower ingin lebih dekat lantaran selama ini Sukarno cukup sering mengkritik negaranya. Bung Karno pun menyanggupi untuk datang sesuai jadwal.
Dalam buku Dari Soekarno sampai SBY (2009) karya Tjipta Lesmana, dikisahkan Bung Karno sudah merasa janggal dan kurang nyaman setelah mendarat di Washington. Ternyata bukan Eisenhower yang menyambut kedatangannya sebagaimana protokol yang berlaku di Amerika saat itu ketika sesama kepala negara berkunjung (hlm. 43).
Tentu saja ada kekecewaan yang dirasakan. Tapi, Presiden Soekarno berusaha memaklumi. Namun Bung Karno tak bisa menahan amarahnya dan meledak saat kejadian serupa terulang lagi di Gedung Putih.
Soekarno dijadwalkan bertemu dengan Eisenhower pukul 10.00 pagi waktu setempat. Pukul 09.58, ia sudah tiba di Gedung Putih, kemudian duduk menunggu si empunya rumah.
Menit demi menit berlalu. Bung Karno masih bertahan. Hingga 10.25, Bung Karno mulai gelisah karena Eisenhower tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dan, 5 menit kemudian, genap 30 menit menunggu, murkalah sang pemimpin besar revolusi itu.
Ajudan Presiden Sukarno, Bambang S. Widjanarko, menceritakan fragmen menegangkan ini dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010). Sukarno mendatangi petugas protokoler lantas menghentak. "Apa-apaan ini! Kalian yang menetapkan pertemuan pukul 10.00, hingga pukul 10.30 presiden kalian belum datang juga! Apakah kalian memang bermaksud menghina saya? Sekarang juga saya pergi!" bentak Sukarno (hlm. 295).
Melalui buku Sukarno: an Autobiography (1966), Cindy Adams juga menuturkan kisah serupa yang didengarnya dari mulut Bung Karno sendiri. Setelah Sukarno mengancam pergi, petugas protokoler Gedung Putih buru-buru meminta maaf, kemudian masuk ke dalam ruangan.
Tak lama kemudian, Eisenhower keluar dan mempersilakan Bung Karno masuk bersamanya. Namun, tak ada kata maaf dari Presiden AS itu. “Ia (Eisenhower) tidak mohon maaf, juga tidak berniat memohon maaf ketika akhirnya saya diantarkan ke dalam,” sebut Sukarno yang ditulis Cindy Adams.
Perlakuan seperti itu semakin membuat Bung Karno benci terhadap Amerika Serikat. Bung Karno mengaku sudah berulang kali mencoba untuk menjalin persahabatan dengan negara itu, tapi selalu kandas. “Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sisa-sia.” (Lesmana, 2009:43).
Pengalaman buruk dengan Eisenhower semakin menjauhkan Indonesia dari Amerika di era Presiden Sukarno. Bung Karno pun menolak bantuan yang hendak diberikan oleh negara adidaya itu. “To hell with your aid!” sergahnya.
Murka Demi Martabat Bangsa
Sebagai Presiden, Bung Karno memang tipikal paling lugas dan tegas, lebih ekspresif, berkarakter keras, tanpa tedeng aling-aling dalam meluapkan perasaan, termasuk kemarahan. Murka Bung Karno tanpa pandang bulu. Amarahnya bisa kepada siapa saja atau dalam masalah apa saja yang tidak berkenan di hatinya.
Bahkan dalam forum internasional sekelas Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang dihadiri oleh lebih dari 100 orang kepala negara dari seluruh dunia, Bung Karno pernah murka. Dengan suara keras bak gelegar halilintas, dia, mengecam negara-negara Barat yang disebutnya tidak adil terhadap negara-negara berkembang. Pada 1963 itu, Sukarno sekaligus menyatakan bahwa Indonesia keluar dari PBB.
Di periode yang sama, kemurkaan juga ia luapkan terhadap Malaysia. Bung Karno menuding, negeri tetangga yang masih serumpun itu sebagai negara bonek, antek bangsa-bangsa kapitalis, terutama Inggris dan Amerika.
Sukarno tambah murka saat mendengar para pengunjukrasa anti-Indonesia di negeri jiran membawa-bawa lambang negara Garuda Pancasila ke depan gedung Kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, dan merobek-robek foto dirinya (J.F. Tualaka, ed., Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, 2009:36).
Bahkan, para demonstran kemudian membawa Garuda Pancasila kepada Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya untuk menginjak salah satu simbol kehormatan bangsa Indonesia tersebut. Kampanye Ganyang Malaysia pun menjadi luapan amarah Presiden Sukarno kala itu.
Kemarahan Sukarno memang tak memandang apa dan siapa. Terhadap Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, pun ia pernah murka pada suatu upacara peringatan kemerdekaan RI.
Menurut penuturan jurnalis sekaligus sejarawan Hendi Jo, dikutip dari Merdeka.com, Aidit yang membacakan teks proklamasi tidak menyebut nama Mohammad Hatta, yang seharusnya dibaca berangkaian: “Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.”
Setelah Aidit membaca naskah proklamasi, Sukarno naik pitam dan langsung pergi meninggalkan upacara yang belum selesai.
Marah Lantaran Difitnah
Bung Karno pernah meradang karena fitnah keji. Di sebuah pertemuan dengan peprwakilan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berunjukrasa menuntut pembubaran PKI pada 18 Januari 1966, Bung Karno mempersoalkan corat-coret selebaran terbuka yang berisi fitnah terhadap salah satu istrinya, Hartini.
Corat-coret dan selebaran itu menyebut bahwa Hartini sebagai “Gerwani Agung”. Seperti diketahui, Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia adalah organisasi sayap perempuan pendukung PKI. Tak hanya di Jakarta, tembok rumah Hartini di Bogor pun tak luput dari aksi vandalisme tersebut (Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, 2006:239).
Terhadap kakak kandungnya, Sukarmini Wardoyo, Bung Karno juga pernah kesal hanya karena mbakyu-nya itu kerap berlatih tenis. Ia marah karena menurutnya, tenis adalah permainan mewah yang jauh dari kondisi rakyat Indonesia saat itu (Intisari, Agustus 2015).
Tak hanya sekali, Soekarno marah lagi ke kakak perempuannya itu. Sukarmini pernah diperalat seorang pengusaha asal Belanda yang ingin mendapatkan proyek dari Soekarno. Bung Karno jelas menolak mentah-mentah karena tidak berkenan dengan cara-cara yang dilakukan oleh pengusaha asing itu, yakni dengan mendekati kakaknya.
Meski begitu, hubungannya dengan sang kakak tetap saja harmonis karena kemarahan Bung Karno itu ibarat pertanda kasih sayang. Di samping itu, Sukarmini adalah kakak satu-satunya Bung Karno, juga sering ikut menjaga dan merawat anak-anaknya.
Masih banyak kejadian kemarahan Sukarno lainnya semasa menjabat sebagai presiden Indonesia. Terlebih setelah peristiwa G30S 1965 yang meruntuhkan pamor "sang penyambung lidah rakyat" Indonesia lantaran berbagai kabar miring yang belum tentu valid kebenarannya. Namun, Bung Karno murka tentu ada alasannya.
Apabila Bung Karno yang bertabiat keras saja sering marah-marah, maka sepertinya wajar jika presiden-presiden berikutnya yang berkarakter lebih kalem terkadang terpancing pula emosinya, karena presiden juga manusia.