RIAU ONLINE - Menjelang sore, 16 Juni 2014, mobil berhenti di dekat Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hidayat di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Seorang pria turun dari mobil dan menuju ke kumpulan santri di halaman ponpes. Sebuah paket pun dititipkan untuk K.H. Imam Haramain, pengasuh Ponpes dan berlalu pergi tanpa memberi tahu identitasnya.
“Setelah saya lihat, ternyata tabloid ini lagi. Kali ini saya dapat 25 eksemplar,” kata Imam, dikutip dari Historia.id, Sabtu, 24 Juni 2018.
Ponpes itu sudah tiga kali mendapat paket Obor Rakyat, yang isinya sama, menjelek-jelekkan calon presiden (Capres) Jokowi.
Obor Rakyat kali pertama terbit pada awal Mei 2014 dan disebar ke sejumlah pesantren di Jawa. Sampul disi perdananya bertajuk "Capres Boneka", tampak gambar Jokowi mencium tangan Megawati. Edisi kedua berjudul “PDIP Partai Salib” dan edisi ketiga “1001 Topeng Pencitraan”. Dewan Pers menyebut Obor Rakyat bukan produk jurnalistik.
Belum reda kehebohan Obor Rakyat, masyarakat kembali riuh dengan beredarnya selebaran Pink berisikan serangan terhadap capres Prabowo Subianto. Jumlah halamannya lebih tipis daripada Obor Rakyat. Tapi, cukup membuat tim sukses capres Prabowo kalang kabut, dan menyebut bahwa selebaran itu sejenis kampanye hitam.
Polisi dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kemudian, berjanji mengusut peredaran dua terbitan gelap itu.
Dalam pemilu, saling serang, saling kecam, saling hina hingga bahkan saling fitnah bukan suatu hal yang baru. Bedanya, dulu lebih terang-terangan. Tak perlu bersembunyi di balik nama redaksi atau alamat kantor fiktif. Ini terjadi pada Pemilu 1955. Belum banyak larangan kampanye saat itu.
“Adapun bentuk kampanye yang dilarang adalah segala bentuk penyiaran baik lisan maupun tertulis yang merugikan kedudukan presiden dan wakil presiden,” tulis Alfitra Salamm dalam “Pemilihan Umum dalam Perspektif Sejarah” termuat di Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru suntingan Syamsuddin Haris.
Partai-partai besar menjadi sebagian besar pelako propagand. Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Agitasi mereka tak jauh dari benturan ideologi. Kampanye program partai pun tenggelam.
PNI selalu menilai Masyumi bercita-bercita mendirikan negara Islam. Koran mereka, Suluh Indonesia, beberapa kali memuat penolakan terhadap gagasan negara Islam. Sebagian besar memang bersifat ilmiah, namun sisanya hanya lebih mirip asumsi dan celaan belaka. Dan Melulu soal potong tangan, poligami, cadar, atau tirai pemisah antara lelaki dan perempuan.
Sukarno pun ikut mengipasi polemik negara Islam pada Januari 1953. “Ia mengeluarkan peringatan bahwa upaya menjadikan Indonesia negara Islam akan disusul dengan pemisahan diri wilayah-wilayah tertentu,” tulis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955.
Melalui KH Isa Anshary, ketua Masyumi Jawa Barat, Masyumi mengecam anggapan PNI dan Sukarno. Menurut Isa, perjuangan negara berdasarkan Islam tak bertentangan dengan Pancasila. Dia juga melontarkan agitasi ke para pemimpin partai-partai politik bukan muslim. Bahkan, dalam suatu pidato, Isa mencap mereka sebagai “munafik” dan “kafir”. Karuan tokoh partai lain terusik.
“Nabi Muhammad SAW bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi… Masuk Masyumi itu haram sedangkan masuk PKI itu halal,” kata Ketua umum PKI, DN Aidit di Malang pada 28 April 1954, yang mulai gerah dengan pengkaplingan dan penafsiran Islam oleh Masyumi.
Saling kecam dan fitnah berlanjut ke media massa. Melalui rubrik “Kawan dan Lawan” yang dimuat di majalah Masyumi, Hikmah, Masyumi memuat antara lain tuduhan bahwa PKI hendak mendirikan kediktatoran. Abadi, koran Masyumi, tak kalah gencar menjelek-jelekkan PKI.
Pada edisi 22 April 1955, Abadi membeberkan kisah anak kecil yang membawa sobekan Alquran berstempel PKI. Parahnya dalam sobekan itu ada tulisan “Masjumi seperti Asu”. Kejadian itu benar ada atau tidak, urusan belakang. Yang penting bisa membangkitkan emosi massa.
Tensi politik kian meningkat menjelang Pemilu 1955. PKI menuduh Masyumi sebagai partai penebar teror, antidemokrasi, dan berkomplot dengan pemberontak Darul Islam Kartosuwirjo. Bahkan PKI menyebut Masyumi dikendalikan Amerika Serikat. Sebaliknya, orang Masyumi bilang PKI antek Moskow. Maka mereka menyebarkan selebaran bertuliskan “Memilih palu arit berarti menyerahkan Indonesia kepada kekuasaan asing”.
Berbeda dengan PKI dan Masyumi, NU justru memperlihat taktik propaganda yang lebih halus dan menumpang partai lain tapi tetap memojokkan. “Kalau Masyumi menang akan terjadi kekerasan; kalau PKI menang juga akan timbul kekerasan… Kalau tidak ingin terjadi kekerasan pada waktu pemilihan umum, pilihlah PNI (atau NU),” tulis Herbert Feith.
Pada Pemilu masa Orde Baru menampilkan pelakon propaganda tunggal: pemerintah. Dalam pemilu 1971 mereka mengejewantah sebagai Golongan Karya (Golongan Karya). Pemilu 1971 penting bagi Golkar untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Sadar sebagai pemain baru dalam Pemilu, Golkar menghalalkan segala cara untuk menang. Antara lain menggunakan kekuatan Pertahanan Sipil (Hansip).
“Kami mengerahkan mereka dari rumah ke rumah menyampaikan pesan kepada keluarga: ‘Hanya Golkar yang bisa menjamin stabilitas dan pembangunan. Kalau anda pilih partai lain, berarti Anda antimiliter dan mungkin saja pro-PKI,’” tulis Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru.
Propaganda Golkar berlanjut pada Pemilu 1977. Lawan mereka kini cuma dua Organisasi Peserta Pemilu (OPP): Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), keduanya hasil fusi beberapa partai. Golkar menang lagi. Begitu seterusnya hingga Pemilu 1997.
“Hantu PKI” menjadi senjata ampuh penguasa untuk menjegal lawan-lawannya. Penelitian Khusus (litsus) menjadi alat militer dan pemerintah Orde Baru untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari apa yang mereka sebut anasir komunis. Ia juga dipakai untuk menekan oposisi. Melalui kebijakan “bersih diri dan bersih lingkungan”, beberapa calon legislatif dari PDI dan PPP dinyatakan tak lulus litsus.
Sejak pemilu 2004, untuk kali pertama kampanye hitam bukan hanya menyasar partai, tapi juga calon presiden. Sebab baru kali ini pula orang Indonesia menyelenggarakan pilpres langsung.