RIAU ONLINE - Prof. John L. Esposito, dalam kunjungannya ke Jakarta pada 2008 silam menyatakan rasa kagumnya terhadap kecintaa kaum Muslim terhadap agamanya. Sayangnya, dia mengkritik ekspresi itu kerap kali tidak disertai semangat untuk memahami Islam lebih mendalam. Sehingga, banyak kelompok Islam yang menjatuhkan dalam tindak radikalisme.
“Sedangkan gerakan radikalisme agama merupakan taman bermain paling nyaman bagi para agen intelijen dan ini membahayakan masa depan agama itu sendiri,” ujar Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu
Bisa jadi pernyataan Esposito itu benar. Karen Armstrong, The Batlle for God, (lewat badan intelijen), mengatakan, negara-negara di dunia sering menggunakan kelompok-kelompok keagamaan sebagai instrumen untuk memainkan kepentingan mereka. Seperti kasus HAMAS Gerakan Pertahanan Islam) di Palestina.
“Israel pada awalnya mendukung HAMAS, sebagai cara untuk meruntuhkan PLO,” ujar perempuan yang dijuluki sebagai “Duta Besar Islam di Dunia Barat” tersebut.
Pendiri WikiLeaks Julian Assange memperkuat pendapat Karen Armstrong. Dalam suatu wawancara dengan sebuah surat kabar Argentina yang dikutip Russia Today edisi 25 Maret 2015, Assange mengatakan: “Jaringan kami mengungkapkan bahwa Israel selalu mendukung HAMAS terutama pada masa awal kelompok ini berkembang, tujuannya untuk memecah perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka.”
ISIS yang menjadi biang keladi kerusuhan berdarah di Mako Brimob dan beberapa kota di Indonesia belakangan ini, juga disinyalir sebagai organ yang dibentuk para agen Mossad (Badan Intelijen Israel), CIA (Badan Intelijen AS) dan M16 (Badan Intelijen Inggris). Berbagai kalangan mengakui hal tersebut, termasuk Edward Snowden, eks anggota NSA (Badan Keamanan Nasional AS) yang membelot ke Rusia.
Di Indonesia, pemanfaatan kelompok-kelompok radikal oleh para agen rahasia sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Salah satunya DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia), gerakan yang menjadi cikal bakal adanya dua gerakan Islam radikal pada hari ini, yakni Jamaah Islamiyah (JI) yang menginduk ke Al Qaidah dan Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada ISIS.
Kisah itu berawal pada 1 Agustus 1962, kala itu DI/NII memutuskan untuk mengakhiri pemberontakannya terhadap pemerintah RI yang sudah berusia 13 tahun. Keputusan itu dicetus oleh 32 tokoh dan ulama DI/NII (terdiri dari orang-orang terdekat Imam DI/NII S.M. Kartosoewirjo), antara lain Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat Basuki, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani dan Djaja Sudjadi.
Beberapa waktu kemudian, ikrar kesetiaan mereka terhadap Pemerintah RI diganjar berbagai hadiah oleh Pemerintah RI lewat tentara. Antara lain, modal usaha dan biaya memulai hidup baru di wilayah transmigrasi untuk para eks kombatan DI/NII setingkat prajurit dan perwira. Sedangkan, untuk para petingginya, mereka langsung dibina oleh Kodam Siliwangi dan dimodali untuk berbisnis.
“Seperti Ateng Djaelani dan Adah Djaelani, mereka dijadikan penyalur minyak tanah di Bandung dan Jakarta,” ujar Solahudin dalam NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia.
Hubungan mesra eks anggota DI dengan tentara semakin kuat ketika mereka dilibatkan dalam penumpasan orang-orang PKI, pasca peristiwa 1 Oktober 1965. Pihak tentara menunjuk pentolan Kodam Siliwangi seperti H.R. Dharsono dan Aang Kunaefi serta beberapa pejabat BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yakni Ali Moertopo dan Yoga Sugama untuk berkoordinasi dengan para petinggi DI.
“Dalam operasi itu, pihak tentara hanya memberikan pinjaman senjata sedangkan untuk soal-soal teknis termasuk logistik, orang-orang DI membiayai sendiri,” ungkap Sholahudin, dilansir dari Historia.id, Selasa, 5 Juni 2018.
Keberhasilan memberangus eks anggota PKI, mengantarkan para tokoh DI/NII ke para petinggi BAKIN untuk terlibat dalam proyek pemenangan Golkar dalam Pemilihan Umum 1971. Ajakan itu diterima, setelah terjadi perdebatan di kalangan eks anggota DI/NII.
“Lewat Pertemuan Situaksan, Bandung (yang ditengarai dananya dari BAKIN) pada 21 April 1971, sekitar 3000 eks anggota DI menyatakan siap mendukung Golkar,” kata Solahudin.
Perkembangan selanjutnya DI/NII bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan bersenjata kembali. Sejak pertengahan tahun 1970-an, ruang lingkup perjuangan mereka tidak lagi hanya semata di Jawa, namun juga sudah meluas hingga Sumatera dan Sulawesi.
Aksi-aksi DI/NII semakin militan, kreatif dan mulai berjejaring secara internasional, terutama setelah mereka mendirikan JI dan JAD.
Apakah mereka sudah terlepas dari kuasa para agen rahasia? Dalam dunia intel, tak ada yang bisa menjamin itu terjadi.