RIAU ONLINE - Dari Ende, sebuah kota kecil di lereng perbukitan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Bung Karno membingkai Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia.
Berdasarkan refensi, hampir keseluruhan menyebutkan bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah perenungan Bung Karno saat masa pembuangan selama empat tahun 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938 di kota kecil itu.
Soekarno, selama pembuangan itu bergumul dalam proses kristalisasi nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Bung Karno yang lain
"Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini," ucap Bung Karno sebagaimana ditulis jurnalis asal Amerika Serikat Cindy Adams.
Cindy Adams menjadi yang pertama dan satu-satunya wartawati berhasil mewawancarai seorang Soekarno dengan sangat detail.
Bukan cuma tentang kenegaraan dan tetek bengeknya, tapi juga menyerempet ke masalah pribadi salah satu founding fathers atau tokoh pendiri bangsa Indonesia tersebut.
Bung Karno, di masa jayanya menjadi sosok yang membuat para jurnalis geregetan ingin menulis riwayat hidupnya. Namun, tak ada seorang pun jurnalis yang diizinkan untuk mewawancarainya. Hingga Cindy Adams mampu memikat hati Sang Putra Fajar itu.
Bung Karno tak punya alasan khusus sehingga bisa dengan lempengnya mengizinkan jurnalis asal AS mewawancarainya, di saat orang lain begitu susah. "Cindy adalah sosok yang baik dan tulisannya sangat jujur," hanya itu yang dikatakan Bung Karno.
Begitu pula dengan Cindy, ia tak menduga bisa dengan gampangnya meminta secara langsung untuk mewawancarai sosok Bapak Bangsa tersebut. Bahkan, tak terlihat kesan penolakan atau enggan untuk diwawancarai dari Bung Karno.
Wawancara itu di awali dengan pertanyaan yang sangat ringan dan menyenangkan. Bahkan, hingga membuat Bung Karno tersipu.
"Kenapa Anda mengenakan peci? Apakah agar terlihat lebih tampan?" begitu tanya Cindy.
"Ya, Anda benar. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?" kata Sukarno sambil sedikit tersenyum lalu tertawa kepada Cindy waktu itu.
Sebuah pertanyaan penting, pernah ditanyakan Cindy Adams kepada Bung Karno, "Apa pesan Anda kepada rakyat Indonesia?"
Soekarno menjawab dengan jawaban yang sangat patriotik dan menggugah semangat kebangsaan. Menjadi negara Indonesia. Ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang," ujar Bung Karno.
Kemudian, Cindy melukiskan jawaban Bung Karno itu sebagai salah satu hal termanis yang pernah diperoleh selama berkarir sebagai jurnalis.
Saat diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang dengan 5.000 orang penduduk yang bekerja sebagai petani dan nelayan.
"Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala."
"Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan."
"Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki telepon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu."
Dalam tulisannya Cindy Adams, mengungkap bahwa Bung Karno mulai merefleksikan dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.
"Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik," demikian keluh kesah Bung Karno.
Bung Karno, selama masa pengasingan di Ende bersahabat dan berdiskusi dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink, tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Aku menaruh perhatian pada khotbah Yesus di atas bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untuk-Nya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut."
"Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku," kata Bung Karno, sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep "pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan".
Keragaman budaya, ras dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.
Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, Bung Karno diperkaya oleh fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.
Hingga pengalaman hidup yang nyata itu melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiusitas. Ini yang terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepankan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.
Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.
Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Sukarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.
Maka, Hari Lahir Pancasila yang akan dirayakan di Ende, pada Jumat (1/6/2018), memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Sukarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan.
Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk Cindy menulis buku tersebut. Saat proses akhir hendak rampung, Bung Karno malah melarang untuk mencetaknya. Alasannya sangat sederhana, karena Cindy hanya menulis Sukarno dari sudut pandang orang pertama, seolah-olah Sukarno sedang menuturkan ceritanya lewat buku itu.
Namun akhirnya, Sang Putra Fajar menandatangai persetujuan kepada wanita bernama lengkap Cindy Heller Adams itu untuk mencetak buku berjudul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (versi bahasa Indonesia, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat).
Berita ini kali pertama diterbitkan Liputan6.com