RIAU ONLINE - Hari Raya Idul Fitri menjadi momen kemenangan yang disambut setiap umat muslim setelah 30 hari menjalankan ibadah puasa. Beragam cara dilakukan, seperti anak-anak yang selalu merayakan idul fitri dengan pesta petasan. Begitu pula dengan Soekarno kecil.
Saat kecil Soekarno, pesta petasan kerap meramaikan malam Idul Fitri. Setiap anakn bersuka cita dengan petasannya. Tapi tidak bagi Soekarno.
Putra bungsku pasangan Raden Soekemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai itu memendam keriangannya dalam sendu di hari Lebaran.
Sosok yang kelak menjadi tokoh proklamator itu mengaku malu, kesal dan sedih hanya karena tak bisa ikut meramaikan, tak bisa menyalakan petasan karena memang keluarganya sedang tidak mampu.
Baca Juga: Peci Bung Karno, Lambang Penyatuan Islam dan Negara
Dalam Otobiografi ‘Penyambung Lidah Rakyat’ yang dituliskan Cindy Adams, di hari Lebaran Soekarno hanya bisa berbaring di tempat tidurnya dan sesekali menginti[ keluar dinding bilik rumah yang bolong, seperti dilansir dari OKEZONE.COM.
Jangankan untuk membeli petasan seharga satu sen, bahkan untuk jajan sehari-sehari saja tak pernah diterima Soekarno dari ayahnya. Meski bergelar seorang "raden", sang ayah hanya pekerja medioker bergaji 25 gulden per bulan.
Dengan upah yang tak seberapa itu, ayah Soekarno harus membayar uang sewa rumah hingga memenuhi kebutuhan kelaurga dengan empat kepala, dan seringkali tidak tercukupi.
Saat usia enam tahun, Soekarno pindah ke Mojokerto dan menetap di daerah yang melarat. Kendati demikian, Soekarno kecil tetap mengenyam pendidikan. Sang ayah mengupayakan agar Soekarno bisa bersekolah di Eerste Inlandsche School, tempat ayahnya bekerja.
Klik Juga: Ketika Bung Karno Unjuk Kekuatan kepada John F Kennedy
“Ketika berumur enam tahun, kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri. Akan tetapi mereka mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaja atau jajan lainnja. Tapi aku tidak. Tidak pernah,” curhat Bung Karno di otobiografinya.
“Kegembiraan di hari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah...di malam sebelum Lebaran sudah mendjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua melakukannya kecuali aku. Di hari Lebaran aku berbaring seorang diri di kamar tidurku yang kecil. Dengan hati gundah aku mengintip keluar arah ke langit melalui lubang udara pada dinding bambu,” lanjutnya.
“Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela oleh sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku jang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu dan aku tidak!,” cetusnya.
Lihat Juga: Kutip Ayat Alquran, Inilah Pidato Bung Karno Kritik Tajam PBB
Dipelukan ibundanya, Soekarno hanya bisa menangis. Lantas tiba-tiba, seorang sahabat ayahnya datang bertamu dengan membawa bingkisan berisi petasan.
Baginya pemberian itu adalah sesuatu yang sangat berharga dan tak terlupakan. “Tak ada harta, lukisan atau pun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Tak dapat kulupakan untuk selama-lamanya,” tandas Bung Karno.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline