RIAUONLINE - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan mendapat serangan air keras di bagian muka oleh dua orang yang mengendarai motor. Insiden terjadi setelah ia salat subuh di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Beberapa kali, Novel Baswedan sempat mendapat teror lainnya, mulai dari ditabrak hingga di pidanakan, ketika ia memimpin penyelidikan kasus-kasus korupsi besar di KPK.
Novel Baswedan bukan aparat penegak hukum pertama yang mendapat teror ketika membongkar kasus korupsi. Sejarah mencatat beberapa kali, teror juga terjadi pada aparat penegak hukum lainnya.
Satu di antaranya teror yang menimpa Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Pada 2001, terjadi pembunuhan terhadap Syafiuddin, setelah memvonis Tommy Soeharto bersalah dalam kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang merugikan negara hingga Rp95,6 miliar, seperti dilansir dari Historia.
Ia tewas saat dalam perjalanan menuju kantornya, dibunuh oleh empat orang yang mengendarai dua sepeda motor yang melepaskan empat tembakan ke tubuh Hakim Agung tersebut. Pelaku penembakan, Mulawarman dan Noval Hadad, mengaku telah menerima perintah pembunuhan dari Tommy. Lantas, Tommy ditetapkan sebagai tersangka.
Jauh sebelumnya, teror juga dihadapi Jaksa Agung Mr. Gatot Tarunamihardja. Ada yang berupaya mengahabisinya saat Gatot bertekad memberantas korupsi.
Gatot adalah jaksa agung pertama Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Namun, pada 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, dia diberhentikan dengan hormat oleh presiden. Pada 1 April 1959, dia kembali dipercaya sebagai jaksa agung menggantikan Mr. R. Soeprapto. Dia adalah orang pertama yang dua kali memegang jabatan Jaksa Agung.
“Pak Gatot itu orang hebat. Cuma nasibnya tidak bisa maju. Zaman telah berubah. Siapa yang mau menegakkan kebenaran dan keadilan seperti Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja itu malah dianggap melawan arus. Sekarang, kebanyakan orang malah lebih suka mengikuti arus, yaitu arus kebatilan,” ungkap Abdul Rachman Nasution, ayah pengacara Adnan Buyung Nasution, sahabat Gatot.
Dalam otobiografinya, Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto, Buyung bercerita, Ketika Gatot diangkat menjadi Jaksa Agung, ia bertekad untuk membersihkan negara ini dari korupsi.
Menurut Buyung, Gatot memang terlalu berani dengan memilih korupsi sebagai kejahatan pertama yang harus diberantas di institusi tentara. Tak tanggung-tanggung, Gatot bahkan berupaya membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Siwoto. Hasil dari penyelundupan dan barter itu digunakan untuk kepentingan tentara.
Awalnya, penyelidikan itu sempat dihentikan oleh KSAD Mayjen TNI AH Nasution dan akan menyelesaikan masalah itu dengan cara disiplin tentara dan administratif. Pemerintah juga telah menyetujuinya. Namun, pada 23 Agustus 1959, Gatot meminta izin Presiden Soekarno untuk melakukan pemeriksaan setelah adanya indikasi penyelundupan yang terus dilakukan.
Beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, Nasution, berupaya menggagalkan saat Gatot akan memeriksa. Bahkan, mereka memerintahkan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusuma untuk menangkap Gatot saat presiden di luar negeri.
Setibanya di tanah air, Soekarno menggelar pertemuan bersama Perdana Menteri Djuanda, Nasution dan Gatot. Permasalahannya diambil alih Sukarno. Sebagai jalan tengah, presiden memberhentikan Gatot dan mengembalikannya ke departemen kehakiman.
Sementara, para perwira yang terlibat barter Tanjung Priok dimutasi dan tetap aktif di militer. Tindakan Gatot itu ternyata masih mendapat kecaman, tentara berusaha membunuhnya.
Christianto Wibisono dalam Jangan Pernah Jadi Malaikat: Dari Dwifungsi Penguasaha, Intrik Politik, sampai Rekening Gendut, menulis bahwa Operasi pemberantasan korupsi mengalami obstruksi (rintangan) seperti percobaan pembunuhan terhadap Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja yang berani mengusut penyelundupan oleh perwira tinggi TNI Angkatan Darat
“Dia dicoba dibunuh oleh tentara dengan ditabrak subuh-subuh sampai buntung kakinya,” kata Buyung.
Gatot secara resmi menjabat sebagai Jaksa Agung selama sekitar lima bulan sampai 22 September 1959. Kemudian digantikan oleh Mr. Gunawan.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline