Laporan: Azhar Saputra
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pandangan matanya tajam ke arah kembang api yang berwarna-warni meletus dan berpijar-pijar di angkasa. Ia menoleh ke kiri dan kanan, anak-anak muda, sukacita menghabiskan malam pergantian tahun dari 2016 ke 2017.
Mengenakan topi pet serta baju T-shirt berkerah, Pak Wan (78), pedagang buah gerobak itu masih setia berjualan berharap rezeki melimpah di malam pergantian tahun. Ia tak henti-hentinya berkata-kata, betapa indahnya langit di malam pergantian tahun tersebut.
Sembari menekan kedua lutut di atas kursinya, laki-laki tua beranak dua ini menceritakan kepada RIAUONLINE.CO.ID, ia menikmati berjualan buah gerobak dengan cara berkeliling. Gerobak buah yang diajak keliling berjualan tersebut mampu menampung 100 potong berbagai jenis buah. Ia menjualnya per buah Rp 3.000 dan kalau beli dua, Rp 5.000.
Baca Juga: Curhat Penumpang Citilink Saat Komplain Malah Dilaporkan Pramugari Sebagai Teroris
Pak Wan mulai mendorong gerobaknya dari rumah kontrakannya di Jalan Kartini. Dalam sehari, jika ia beruntung, terjual 90 potong buah yang disusunnya di dalam gerobak terbuat dari kaca tersebut.
"Karena tidak bisa dua hari, sisa buah yang tidak terjual dibagi-bagi saja ke teman-teman," katanya.
Hasil keuntungan dari berjualan hari itu, kembali diputarnya untuk membeli berbagai macam buah, seperti semangka, nenas, pepaya, sawo, dan bengkuang, keesokan harinya. Istri tercinta, sudah menanti di rumah usai Pak Wan pulang dari pasar untuk membeli buah dan memotong-motongnya.
PAK Wan, pedagang buah gerobak berusia 78 tahun, masih bertahan berharap rupiah demi rupiah saat malam pergantian Tahun Baru, Minggu, 1 Januari 2016.
"Pai bali buahnyo apak jam 09.00 WIB bajalan ka pasa pusat, Tibo di umah jam 10.00 WIB. Dakek pasa dai rumah (Kalau beli buahnya Bapak pergi berjalan ke Pasar Pusat, berangkat pukul 09.00 WIB, dan pulang ke rumah pukul 10.00. Pasar ke rumah dekat kok," tutur kakek beberapa cucu ini sambil tersenyum dengan logat Minang (Padang) masih kental.
Saat istrinya memotong-motong buah ia beli dari Pasar Pusat (Plaza Sukaramai), Pak Wan memilih beristirahat guna mengumpulkan tenaga digunakan saat berdagang keliling masuk dan keluar kampung menawarkan jualan kepada para pelanggannya.
Pak Wan ternyata tak tiap hari berjualan. Selain faktor usia tak muda lagi, ia ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah. Ia berjualan pada hari Selasa, Rabu dan Kamis. Sedangkan hari lainnya, Senin, Jumat, dan Sabtu dimanfaatkannya menjadi muazin dan imam di masjid dekat rumahnya.
Pak acap kali jadi muazin bahkan imam di Mesjid Nurul Falah, saat ia diminta menjadi imam pengganti Salat lima waktu. Dalam gerobak ia dorong-dorong tersebut, tak hanya diisi buah-buahan saja, juga air mineral dalam kemasan dengan ukuran 600 mililiter dengan kondisi dingin maupun tidak.
Klik Juga: KH Ahmad Dahlan Tak Sungkan Belajar Kembangkan Pendidikan Ke Sekolah Katolik Di Muntilan
Air mineral ia jajakan bukan tiap hari, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja, seperti Car Free Day dan malam pergantian tahun, saat saat ini. Jika ia sudah berdagang air mineral, dipastikan tidak menjual buah-buahan.
Jarum jam menunjukkan pukul 00.14 WIB. Dentuman kembang api silih berganti memecah kesunyian malam. Kembali pria bertopi ini memalingkan pandangannya ke bunga api hanya sekadar bercerita masa-masa bahagianya.
Ia berjualan buah dan air mineral sudah selama 20 tahun. Pekerjaan ini bermula dari rasa sakit dialaminya pada kedua tulang lutut kakinya. "Semenjak terkena penyakit asam urat, Bapak memberanikan diri berjualan buah sekadar membeli jajanan sehari-hari bagi kami," kata Pak Awak, Minggu 1 Januari 2017, dinihari.
Dua anak Pak Wan sudah sering melarangnya, jangan berjualan buah gerobak lagi. Namun, larangan tersebut tak digubrisnya, walau keduanaknya bersedia menanggung semua kebutuhannya. Karena tak mau terlalu bergantung sehingga mereka mengabaikan tawaran tersebut.
Sebelum berjualan buah keliling, Pak Wan bekerja sebagai tukang bangunan. Ia menyebut beberapa hasil karyanya sebagai tukang, antara lain rumah toko (ruko) hingga kini masih berdiri kokoh di depan Pasar Cik Puan atau Pasar Loket, Jalan Tuanku Tambusai.
Namun sekarang hanya tinggal sebuah cerita. Masa-masa yang dulu dijadikannya sebagai penyemangat hidup di negeri Rantau, Pekanbaru. Wan lahir dan dibesarkan di Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia bercita-cita ingin mencicipi manisnya gaji dari satu perusahaan minyak tersohor, Caltex, maka merantaulah.
Lihat Juga: Kapolda Riau Heran Kok Kendaraan Yang Terdaftar Turun Dari Tahun Sebelumnya
Namun, impiannya tersebut tak kunjung datang. Beberapa kali lamaran ia ajukan ke perusahaan berpusat di Amerika Serikat tersebut, tidak juga mendapatkan respon.
Akhirnya, ia banting stir bekerja sebagai pekerja bangunan. Hasil keringat tersebutlah kemudian mampu menghidupi isteri dan anak-anaknya selama 30 tahun.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline