RIAU ONLINE - Sejarah peci atau songkok di kancah perpolitikan nasional telah lama tergores sejak zaman Kolonialisme Belanda hingga kini. Peci, semula digunakan oleh umat Islam, dan khalayak umum lainnya, mereka merasa bangga memakainya untuk membedakan dengan warga terpelajar lainnya sudah terkontaminasi budaya barat.
Alkisah, dalam sebuah perjalanan dari Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan berlanjut ke Desa Padang Japang guna bertemu dengan Syekh Abbas Abdullah, pimpinan Pondok Pesanten Darul Funun El Abbasiyah, awal Bung Karno berganti peci.
"Peci ini kuberikan kepadamu sebagai tanda bahwa mayoritas rakyat Indonesia ini adalah umat Islam," kata Syekh Abbas sambil menyerahkan peci itu.
"Umat akan mendukung kamu selama kamu tidak memisahkan agama dengan pemerintah. Kamu juga harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang bisa menghancurkan Negara yang kau bentuk nanti," sambung Syekh Abbas, dilansir dari Instagram matapadi.
Bbaca Juga: Kutip Ayat Alquran, Inilah Pidato Bung Karno Kritik Tajam PBB
Jauh sebelumnya, Soekarno muda saat berusia 20 tahun, dalam rapat Jong Java, di Surabaya, Juni 1921, seperti ditulis oleh Cindy Adams, penulis buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, menuturkan, "ciri khas saya...simbol nasionalisme kami." Soekarno.
Bung Karno tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, ia mengamati kawan-kawannya, menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?" "Aku seorang pemimpin." "Kalau begitu, buktikanlah," batinnya lagi. "Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!"
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Ia pun memecah kesunyian dengan berbicara: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka." Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.
Klik Juga: Yonko Paskhas 462, Batalyon Khusus TNI Satu-satunya di Riau
Pada buku serupa, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams menuturkan, Soekarno pernah berkata, "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia,"
Peci memiliki sifat khas ini, mirip dipakai para buruh bangsa Melayu, merupakan asli milik rakyat kita. Menurutku, kata Seokarno, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka. Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.
Namun, Bung Karno sebenarnya bukanlah intelektual pertama kali menggunakan peci. Tahun 1913, rapat Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP), di Den Haag, Belanda, dr Tjipto Mangunkusumo, telah mengenakan kopiah dari beludru hitam. Selain HOS Tjokroaminoto, Tjipto merupakan guru Bung Karno, dan tampaknya si Bung mengikuti jejak gurunya itu.
Pengaruh Bung Karno ternyata begitu luas, pada pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye memakai barang-barang bikinan Indonesia, termasuk peci lurik.
Hingga akhirnya peci atau kopiah hitam kemudian begitu populer, Dennys Lombard menyatakan bahwa semula peci merupakan bentuk kerpus Muslim, namun kelak memiliki makna umum.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline