RIAU ONLINE - Penyelidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat di China menemukan bahwa Partai Komunis China, partai penguasa dan pemerintahan di Negeri Tirai Bambu tersebut, terlibat dalam pembunuhan massal dan memperjualbelika organ tubuh korban yang dibunuh tersebut.
Para korban itu merupakan tahanan politik, agama dan keyakinan lainnya dianggap menentang kebijakan pemerintah Beijing. Para aktivis ini disiksa di dalam penjara, terutama warga Muslim Etnis Uighur, Tibet dan pengikut Falun Gong serta sebagian warga Kristen dari gereja-gereja yang tidak diakui pemerintah untuk mendapat organ guna transplantasi medis.
Penyelidikan ini tertulis dalam laporan setebal 798 halaman yang diterbitkan, Rabu, 28 Juni 2016, dan diperdengarkan oleh Sub-Komite Gabungan Amerika Serikat, pekan lalu.
Baca Juga: Sudah Curi Ikan Indonesia, Pemerintah China Malah Protes
Mereka mendengar kesaksian mengenai perdagangan organ ilegal hanya dua pekan setelah DPR mensahkan sebuah resolusi mendesak China untuk menghentikan pengambilan organ tubuh para tahanan hati nurani dan politik, agama dan keyakinan lainnya dianggap menentang pemerintah.
Menurut laporan tersebut, seperti dilansir dari voaindonesia.com, pengambilan organ tubuh di China setiap tahunnya jauh melampau perkiraan resmi pemerintah, 10 ribu prosedur pembedahan setiap tahunnya.
"Berapa besar transplantasi organ di China ketika kita jumlahkan semua data dari pusat-pusat transplantasi dan RS? Bukannya 10 ribu per tahun, kami memperkirakan berkisar antara 60 ribu sampai 100 ribu transplantasi per tahun, dengan penekanan pada jumlah yang lebih besar," tutur David Matas, pengacara HAM Kanada dan seorang penyusun laporan itu.
ALAT bedah operasi - Ilustrasi
Bersama rekan penyusun laporan itu, David Kilgore, mantan diplomat senior Kanada, menyatakan kesaksian mereka juga diikuti wartawan investigasi Ethan Gutmann, Profesor Francis Delmonico dari Fakultas Kedokteran Harvard dan Charles Lee, seorang pengikut Falun Gong yang mengasingkan diri.
Klik Juga: Ih, di China Ribuan Guk-guk Dibantai dalam Festival Makan Anjing
“Kita ingin menegaskan kepada semua pihak, transplantasi organ jenis apapun harus ditangani secara sangat hati-hati khususnya di negara seperti China” kata Rohrabacher, usai sidang itu.
Ia menyebut, kepemimpinan komunis “sangat menekan, ini digunakan bukan hanya sebagai cara mendapatkan uang tidak bermoral tapi juga untuk menekan rakyat mereka,” paparnya.
“Perdagangan organ adalah tindakan tidak beradab. Seperti Nazi dan terjadi saat ini di banyak bagian dunia, termasuk khususnya di China,” kata Smith.
“Keprihatinan terbesar adalah pejabat militer mendapat uang dalam jumlah besar dengan mengeksekusi pengikut Falun Gong dan tahanan politik, agama serta keyakinan lainnya bertentangan dengan pemerintah guna diambil organ mereka. Ini harus dihentikan dan diungkapkan," tuturnya.
Ia melanjutkan, "Saya tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi tahanan yang dipenjara dan mengetahui besok jam 8.00 pagi, pankreas atau hati kita diambil kemudian kita akan mati."
Lihat Juga: Malu-malu, Indonesia Masuk Peringkat 12 di Dunia Urusan Belanja Syahwat
Tanggal 13 Juni lalu, Kongres AS dengan suara bulat mensahkan resolusi mendesak China menghentikan pengambilan organ para tahanan politik, agama dan keyakinan lainnya dan mengakhiri hukuman terhadap Falun Gong yang sudah berlangsung 17 tahun.
Resolusi itu juga melarang Departemen LN Amerika mengeluarkan visa bagi mereka di China dan negara-negara lain yang bertanggung jawab melakukan pengambilan organ manusia. RUU itu juga mewajibkan laporan dipatuhinya kebijakan setiap tahun kepada Kongres.
Juru bicara kedutaan besar China, Zhu Haiquan menanggapi tuduhan-tuduhan pengambilan organ itu sebagai rekayasa. Ia juga menyebut Falun Gong, gerakan Anti China dan mendesak Kongres untuk menarik dukungannya bagi praktik spiritual yang menggabungkan meditasi dan latihan qigong dengan falsafah moral yang berpusat pada prinsip-prinsip kebenaran dan kasih sayang.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline