Puskesmas yang Tangani Masalah Kejiwaan Minim, Ini Penjelasan Kemenkes

Depresi2.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat bahwa saat ini hanya sedikit puskesmas yang bisa menangani masalah kejiwaan. Hanya sekitar 38 persen puskesmas di Indonesia saat ini yang mampu dapat menangani masalah tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes Imran Pambudi pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024.

Imran mengatakan, saat ini pihaknya tengah membuat sejumlah pelatihan dengan tujuan agar semakin banyak puskesmas yang dapat menangani masalah kesehatan mental.

"Karena tadi tenaganya masih kurang,” Imran, dikutip dari ANTARA.

“Mereka nggak pede (percaya diri) ngurusin gangguan jiwa. 'Udah lah, dirujuk aja ke rumah sakit jiwa,' padahal tidak semua itu butuh," imbuhnya.

Menurut Imran, tantangan lain dalam penanganan masalah kejiwaan adalah masalah obat-obatan. Imran menjelaskan bahwa obat-obatan yang dibutuhkan masuk dalam kategori psikotropika, sehingga peraturannya menjadi ketat.


"Nah ini juga menjadi teman-teman di puskesmas juga agak ragu-ragu nih gitu kan, karena laporannya segala macam harus ke polisi segala macam gitu," kata Imran.

Imran menjelaskan, saat ini pihaknya tengah fokus pada upaya-upaya preventif dan promotif, seperti skrining, agar dapat menangani masalah-masalah mental sebelum akhirnya menjadi lebih parah atau menjadi gangguan.

"Jadi skriningnya kita perkuat dan diperbanyak dan diperkuat dan tindak lanjutnya harus jelas," imbuhnya.

Imran menambahkan, Kemenkes mengupayakan deinstitusionalisasi, agar tidak semua orang yang mengalami gangguan jiwa dirawat di rumah sakit jiwa. Menurutnya, rumah sakit jiwa hanya untuk yang sangat kritis.

Namun demikian, katanya, yang di rumah sakit jiwa pun harus dikembalikan ke keluarganya suatu saat. Oleh karena itu, pihaknya perlu kerja sama dari pemerintah daerah serta dinas sosial dalam menangani hal itu.

Dia menilai, perlu upaya bersama dalam menjaga kesehatan mental, karena masalah kesehatan jiwa memengaruhi seluruh kelompok usia, terutama kelompok pekerja yang menjadi aset menuju Indonesia Emas 2045. 

Selain itu, perlu dukungan kebijakan kesehatan mental di tempat kerja.

Imran menyebutkan bahwa pada periode bonus demografi, yakni 2020-2035, 70 persen penduduk adalah usia produktif, yang akan menjadi kunci Indonesia Emas, karena berperan sebagai tulang punggung keluarga, aset negara dalam perekonomian, serta yang melahirkan generasi penerus bangsa.