RIAU ONLINE, PEKANBARU - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Pekanbaru tahun 2019 ini mengalami defisit Rp 100 miliar dari klaim dilakukan fasilitas kesehatan yang berada di wilayah kerja.
Kepala Bidang Perluasan BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Alicia Ade Nursyafni menjelaskan, dari iuran dibayarkan baik dari peserta mandiri, penerima upah maupun Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung dalam APBN dan APBD sejumlah Rp 800 miliar.
"Kita alami defisit hampir Rp 100 miliar dari klaim. Sedangkan pemasukan kita terima Rp 780 miliar, pengeluaran sudah melebihi Rp 800 miliar," kata Ade, Sabtu, 7 Desember 2019, dalam Talk Show Suara Mahasiswa yang diselenggarakan BEM Universitas Riau bekerja sama dengan RIAUONLINE.CO.ID dan Radio Bharabas 97,5 FM.
Lalu, bagaimana menagih kekurangan atau defisit tersebut? Ade menjelaskan, BPJS Kesehatan Pekanbaru sudah melakukan inovasi agar masyarakat yang menunggak iuran bisa diedukasi dengan baik.
Satu caranya dengan telecollecting akan menghubungi peserta BPJS untuk melunasi tunggakan jaminan sosialnya. Selain itu, ada kader BPJS sudah ditempatkan di setiap daerah.
Sehingga para kader ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya membayar iuran BPJS.
"Kita jadi peserta BPJS ini kan upaya untuk proteksi diri, kalau tak sakit kita bantu yang sakit. Warga Negara Asing (WNA) yang lebih enam bulan kerja di Indoensia wajib ikut, karena ini untuk proteksi diri," jelas Ade.
Talk Show Suara Mahasiswa minggu ini memasuki pekan kedua, setelah diluncurkan oleh Presiden Mahasiswa (Presma) BEM Universitas Riau, Syafrul Ardi, Minggu, 1 Desember 2019, di area Car Free Daya, bertepatan dengan Peringatan Hari HIV/AIDS se-Dunia.
Selain Ade, Suara Mahasiswa juga mengundang Direktur RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, Nuzelly Husnedi, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Riau Yohannes serta peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Tarmizi.
Ade menjelaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2020. Kenaikan tersebut bukan kali pertama saja, melainkan pernah di 2016 silam.
Naiknya iuran BPJS Kesehatan ini sesuai dengan Perpres No 75 tahun 2019 September merevisi Perpres 82 Tahun 2016. Bagi peserta mandiri, kenaikan ini sangat memberatkan mereka.
Pasalnya, persentase kenaikan mencapai 100 persen. Untuk Kelas III saja, semula hanya Rp 20.500 naik menjadi Rp 42 ribu, kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 102 ribu serta kelas I dari Rp 80 ribu jadi Rp 160 ribu.
"Sejak BPJS dibentuk pada 1 Januari 2014, selalu ada defisit anggaran. Kemudian kita lakukan perhitungan dan analisa, makanya kita putuskan menaikkan iuran," ujar Ade.
Ia menjelaskan, ada solusi lain atasi defisit anggaran ini antara lain dengan menurunkan benefit atau keuntungan didapat peserta BPJS. Namun, hal tersebut akan lebih merugikan masyarakat.
Terkait defisit ini, Ade merincikan jika BPJS pada prinsipnya menggunakan sistem gotong royong, dimana orang yang sehat memberikan bantuan kepada orang sakit. Namun, kenyataannya masyarakat hanya membayarkan iuran ketika sakit saja, sehingga terjadi defisit setiap tahunnya.
"Contohnya cuci darah, bayangkan berapa harus dikumpulkan untuk membiayai satu pasien. Satu pasien sakit jantung saja, harus ada 5.880 orang sehat. Lalu pasien DBD, harus ada 1.200 orang sehat agar pasien bisa mendapatkan perawatan gratis," pungkasnya.