Laporan: Winahyu Dwi Utami
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bocah berusia 4 tahun 9 bulan itu tampak lahap menyuap sendok demi sendok bubur kacang hijau ke mulutnya. Dengan tangannya yang mungil, suapan demi suapan ia lakukan sendiri dengan baik, tanpa ada yang tumpah.
Kanza, nama anak itu, pagi ini bersama sang nenek mengunjungi Posyandu Merpati Putih RW III, Kelurahan Tangkerang Labuai, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru, untuk ditimbang dan dipantau pertumbuhannya. Keceriaan tampak di wajahnya.
Di sudut lain, terdengar suara tangis seorang bayi laki-laki sedang diimunisasi. Seorang petugas kesehatan dengan cekatan dan hati-hati menyuntik bayi berada dalam gendongan ibunya. Tak hanya disuntik, ada juga bayi menangis saat dimasukkan vitamin ke mulutnya.
Sementara di atas timbangan, seorang bayi berusia 4 bulan 15 hari juga terlihat menangis. Bayi perempuan bernama Pamela tersebut, terus menangis meskipun sudah dibelai sang ibu. Selain ditimbang, Pamela juga diukur panjang tubuh dan lingkar kepalanya.
"Beratnya 5,8 kg, tinggi 60 cm dan lingkar kepala 40 cm. Bayi ini cenderung memiliki kelebihan berat badan, walaupun tidak banyak," kata Rika, kader Posyandu Merpati Putih yang melakukan penimbangan dan pengukuran, Selasa, 3 Desember 2019.
Sejauh ini, bayi, balita dan anak usia dini yang datang ke Posyandu, tutur Ketua Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Merpati Putih, Alini, pertumbuhannya cukup baik atau normal.
"Pernah ada dulu sedikit kurang, sudah kita rujuk ke Puskesmas dan diberi makanan tambahan," ungkap Alini.
Di Puskesmas, tuturnya, ada ahli gizi akan memantau perkembangan anak hingga kondisinya membaik.
"Makanan tambahan diberikan berupa biskuit," kata Tenaga Kesehatan Puskesmas Sapta Taruna, Jalan Sidodadi Pekanbaru, Yesi, ketika itu bertugas di Posyandu Merpati Putih.
Tidak semua Balita bernasib sebaik bocah-bocah di atas, memiliki asupan gizi baik. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018, masih banyak Balita mengalami permasalahan gizi, kemudian menyebabkan pendek dan sangat pendek (Stunting).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak Balita akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Anak stunting bisa dilihat dari perbandingan tinggi badannya dengan anak lain seusianya.
Menurut badan Perserikatan Bangsa-bangsa Mengurusi Anak (Unicef), tahun 2011 setidaknya ada 165 juta (26 persen) balita dengan stunting di seluruh dunia.
Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka balita stunting tertinggi dengan 7,5 juta balita (UNICEF, 2013). Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Riau 2013, prevalensi status gizi balita TB/U menunjukkan anak pendek (sangat pendek dan pendek) di Riau 34,1 persen.
Masih data yang sama, prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di Kabupaten Rokan Hulu sebesar 59,0 persen dan terendah di Kota Dumai 34,1 persen.
Sedangkan untuk Kota Pekanbaru 34,7 persen. Sementara itu, data Riskesdas 2018, angka stunting Riau menurun menjadi 27,4 persen.
“Berdasarkan Riskesdas 2013 dan 2018, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) dimasukkan dalam 100 kabupaten/kota prioritas intervensi penanganan stunting di Indonesia. Untuk 2019, Riau bertambah satu kabupaten lagi menjadi prioritas nasional, Kabupaten Kampar,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir, Senin, 2 Desember 2019.
Penambahan jumlah daerah prioritas intervensi di Riau tersebut, atas dasar ketersediaan anggaran di pusat untuk membantu permasalahan stunting di daerah. Di 2019 ini, Dinas Kesehatan Riau mendapatkan kucuran dana APBN Rp 5 miliar untuk penanganan stunting.
"Anggaran Rp 5 miliar dari APBN tersebut digunakan untuk pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronik (KEK) serta Balita di Rohul dan Kampar," jelas Mimi.
Berikut data stunting di Provinsi Riau:
Sumber: Dinas Kesehatan
Dari tabel di atas terlihat persentase prevalensi Balita stunting di Rohul tertinggi di Riau pada 2013 sebesar 58,9 persen atau sekitar 42.142 jiwa.
Namun pada Riskesda 2018, persentasenya menurun menjadi 27,3 persen. Ada beberapa kabupaten persentasenya meningkat seperti Kabupaten Rokan Hilir dari 27,3 persen naik menjadi 38,1 persen dan Kabupaten Bengkalis dari 26,9 persen menjadi 32,3 persen.
Data yang dikumpulkan Diskes Provinsi Riau, per 2 Desember 2019, angka stunting di Riau mencapai 33.637 Balita.
Dampak Stunting
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 30% atau lebih. Periode 0-24 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan golden periode.
Dampak buruk dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada 1.000 HPK satu di antaranya adalah stunting. Dampak stunting dalam jangka pendek terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan metabolisme tubuh.
Dampak jangka panjang atau saat dewasa adalah kemampuan kognitif dan prestasi belajar menurun, demikian pula kekebalan tubuh sehingga mudah sakit.
Selain itu, risiko tinggi mendapatkan penyakit tidak menular dan kualitas kerja tidak kompetitif, sehingga berakibat rendahnya produktivitas ekonomi.
“Saat dewasa mudah terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung, kanker dan lain sebagaginya. Anak bisa kehilangan masa depannya akibat stunting,” kata Kepala Seksi Kesga dan Gizi Masyarakat pada Health And Nutrition Journalist Worshp (HNJW), Helfiyan, Kamis, 14 November 2019.
Dalam paparannya Helfiyan menilai penting melakukan investasi gizi. Investasi pada gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan PDB negara 2 hingga 3 persen per tahun.
“Investasi 1 Dolar AS pada gizi dapat menghasilkan kembalinya 30 Dolar AS dalam peningkatan kesehatan, pendidikan dan produktivitas ekonomi,” jelasnya.
Menurut Zulfayeni, Staf Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Riau, pembiayaan penanganan stunting di Riau, khususnya, berasal dari APBN, APBD, APBDes, CSR dan dana hibah lainnya.
Lembaga terlibat cukup banyak, jelasnya, tidak hanya Dinas Kesehatan karena banyak faktor bisa sebabkan stunting. Di antaranya bisa kemiskinan, ketersediaan air bersih, tingkat pendidikan atau pengetahuan minim dan lain sebagainya.
“Kontribusi Dinas Kesehatan dalam upaya menanganan stunting di daerah hanya 30 persen. Sedangkan 70 persen lainnya dilakukan oleh Dinas atau institusi lain seperti Dinas Sosial untuk masalah kemiskinan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) untuk infrastruktur air bersih dan sanitasi, BKKBN untuk kesehatan reproduksi serta Balita, BPPOM untuk keamanan pangan, Dinas Pendidikan untuk pendidikan anak usia dini dan institusi terkait lainnya,” jelas Zulfayeni.
Anggota Komisi V DPRD Riau, Ade Hartati menilai, anggaran kesehatan dialokasikan untuk pengobatan (kuratif) lebih besar dibandingkan dengan pencegahan (preventif).
Seharusnya, tutur politisi PAN ini, ada keseimbangan penganggaran karena melakukan edukasi kepada masyarakat sangat penting untuk mencegah atau menurunkan angka kesakitan termasuk stunting.
“Tindakan pencegahan terhadap stunting khususnya dan masalah kesehatan pada umunya penting. Untuk itu, anggarannya harus seimbang dengan upaya pengobatan,” kata Ade Hartati, awal pekan ini.
Ia menjelaskan, program penanganan stunting ini lintas sektor, ia juga menyebutkan harus ada sinkronisasi dan semua terintegrasi. Untuk itu koordinasi antar lembaga dari tingkat provinsi hingga kabupaten perlu terjalin dengan baik.