RIAU ONLINE - Terowongan bawah tanah Jalur Gaza, Palestina, menjadi incaran Israel. Terowongan ini memiliki panjang sekitar 500 km dan dalam mencapai 30-70 meter.
Awalnya, terowongan Gaza ini difungsikan sebagai kanal transaksi ekonomi terselubung. Namun serangan militer Israel yang kian ganas membuat terowongan ini menjadi jalur memasukkan dan menyimpan senjata, bahkan merancang perang.
Israel meyakini terowongan ini terletak di bawah bangunan-bangunan sipil, termasuk rumah sakit. Itu sebabnya, Israel menyerbu RS Al-Shifa yang diyakini sebagai pos militer Hamas.
Perdana Meteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengungkap tentara Israel menggeledah Al-Shifa. Ia menyebut ada 200-an orang Israel yang disandera Hamas di bawah rumah sakit itu, sebagaimana dilansir dari Suara.com, Minggu, 19 November 2023.
Israel seharusnya tidak heran dengan adanya gedung sipil yang berada di bawah terowongan bawah tanah bertahun-tahun dibangun oleh warga Gaza.
Total panjang dan lebar Jalur Gaza adalah 41 dan 12 km. Artinya, luas kantong Palestina itu adalah 365 km persegi. Wilayah sebesar itu kalah panjang dari bentangan terowongan Gaza yang mencapai 500 km. Dengan panjang sejauh ini, mungkin tak ada tanah Gaza yang tak dilalui terowongan bawah tanah.
Israel mengaku menemukan senjata di RS Al-Shifa. Namun pengelola rumah sakit ini membantahnya. Rumah sakit tidak ingin dituding sebagai basis militer Hamas.
Kenyataannya, saat Israel merazia Al-Shifa banyak saksi mata yang mengaku tak mendengar bunyi tembakan, karena memang tak ada baku tembak. Artinya, tak ada orang bersenjata di dalam rumah sakit tersebut.
Seorang dokter di RS Al-Shifa, Ahmed Mokhallalati, berkata kepada BBC bahwa hanya ada warga sipil di dalam rumah sakitnya. Mokhallalati membenarkan bahwa semua gedung di Gaza, termasuk RS Al-Shifa, memang berada di atas terowongan bawah tanah. Akan tetapi, Israel tidak bisa menggeneralisasi gedung-gedung sipil sebagai pos Hamas.
Jika mencermati riwayat konflik Israel-Palestina, yang membuat Gaza dipenuhi terowongan bawah tanah justru karena kebijakan Israel dan Barat.
Terowongan Gaza (AFP via Suara.com)
Terowongan itu memang sudah ada sejak awal 1980-an setelah kota Rafah dibagi dua; satu menjadi bagian Mesir, satu lagi menjadi bagian Palestina yang waktu itu masih diduduki Israel.
Pembagian Rafah adalah buah dari Perjanjian Camp David 1979 antara Mesir dan Israel yang mengakhiri permusuhan dan membuka jalan bagi pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dan Mesir.
Terowongan bawah tanah ini awalnya hanya berada di sekitar Rafah. Hingga kemudian, Israel memblokade Gaza pada 2007 yang diikuti sanksi Barat, satu tahun setelah Hamas memenangkan pemilu Palestina 2006, yang membuat pangan, sandang, BBM, dan semua barang ekonomi yang dibutuhkan rakyat Gaza tidak bisa diperoleh dari perdagangan normal.
Sebenarnya Gaza memiliki pantai, namun angkatan laut Israel memblokade perairannya. Alhasil, pintu Gaza ke dunia luar hanya perbatasan Gaza-Mesir di Rafah.
Warga Gaza lalu menggali terowongan karena dikurung dari segala sisi. Terowongan itu dibangun hingga perbatasan Mesir-Gaza agar bisa mendapatkan kebutuhan mereka.
Israel memblokade Gaza untuk melemahkan Hamas sehingga rakyat Gaza kecewa untuk kemudian menjauhi Hamas. Padahal, Hamas berkuasa dari proses politik yang dianjurkan Barat, yakni Pemilu.
Tetapi Israel dan Barat khawatir oleh doktrin Hamas yang tak mau mengakui Israel. Padahal, pandangan politik Hamas itu adalah antitesis dari kemandulan Barat dan kebebalan Israel dalam mengimplementasikan komitmen-komitmen internasional, termasuk Perjanjian Oslo 1993.
Perjanjian 1993 itu mengakhiri gerakan perlawanan bersenjata Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Melalui perjanjian itu, PLO mengakui eksistensi Israel, dan sebaliknya semua pihak sepakat membentuk Negara Palestina merdeka di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, pada 1999.
Ternyata sampai 1999, negara Palestina tak kunjung berdiri. Sampai pemimpin PLO, Yasser Arafat, wafat pada 2004, negara Palestina tak berhasil diwujudkan.
Wajar jika rakyat Palestina kecewa berat, termasuk warga Gaza. Sikap mereka semakin keras, sampai menentang eksistensi Israel.
Gerakan Intifada merupakan embrio yang membesarkan Hamas. Ketika Hamas memiliki pengaruh yang kian besar, Israel dan Barat kemudian merancang cara untuk melenyapkannya dari proses politik, lewat pemilu 2006. Ironisnya, Hamas malah memenangkan pemilu itu.
Begitu memenangkan pemilu, Hamas langsung diisolasi Israel. Setahun kemudian Jalur Gaza diblokade, setelah Fatah menjadi "sangat Hamas" terusir dari Gaza, lalu memusatkan kekuasaan di Tepi Barat.
Prajurit dari pasukan Israel berjalan di depan salah satu terowongan Gaza (AFP via Suara.com)
Hamas terpaksa mencari cara untuk menunjukkan kepada warga Gaza bahwa mereka mampu memerintah di Gaza. Bawah tanah pun jadi pilihan. Sejak itu pembangunan terowongan besar-besaran di Gaza dilakukan.
Secara perlahan, Gaza membangun diri. Hamas pun semakin populer, sampai Tepi Barat. Mereka dinilai efektif menjalankan pemerintahan Palestina di Gaza.
Hamas yang berhasil membangun Gaza menjadi ancaman bagi Israel. Israel tidak mau "rumput di halaman depannya kian tinggi dan merambat liar". Sebab itu, Israel secara berkala melancarkan operasi militer di Gaza seakan menjadi "memotong rumput".
Dengan begitu, Hamas dipaksa terus memulai segala sesuatu dari bawah. Situasi itu juga membuat Hamas intensif merangkul perlawanan bersenjata. Mereka kian agresif melakukannya karena prilaku buruk pemukim Yahudi di Tepi Barat yang diduduki Israel.