RIAU ONLINE, KATOWICE - Rohmat Suprihatin dan Wendrika, satu petani asal Dusun 5, Desa Karang Agung, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, satu lagi pendamping Desa Tri Mandayan, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Wendrika, menjadi pusat perhatian di Paviliun Indonesia, Senin, 1o Desember 2018, di Katowice, Polandia.
Keduanya diundang untuk berbagi pengalaman kisah keberhasilan mereka dihadapan undangan dan peserta diskusi saat digelarnya Konferensi Perubahan Iklim (COP24).
Laporan Fakhrurrodzi, jurnalis RIAUONLINE.CO.ID, dari Katowice, Polandia, keberhasilan Kelompok Tani Wali Songo dipimpinnya dalam bercocok tanam tanpa membakar di lahan gambut, seperti selama ini kerap dilakukan petani.
Kelompok tani berjumlah 20 orang tersebut menanam palawija, seperti cabai, terong, gambas, pare, sawi, kangkung, dan semangka. Tanpa menggunakan unsur kimia, melainkan kompos, bahan alamiah tersedia di alam.
"Kalau dibakar sebelum bercocok tanam, pertumbuhan tanaman cepat, namun diumur tanaman tak panjang. Hasilnya lebih banyak tak dibakar, karena kompos utuh, bakteri lunak dibutuhkan tanaman tak mati akibat dibakar," kata Rohmat.
Hasil keseluruhan saat panen untuk palawija mencapai 2 ton di atas lahan 2.500 meter persegi atau sekitar Rp 40-50 juta sekali panen.
Cara bercocok tanam tanpa membakar dilakukan Rohmat dan para petani di Desa Karang Agung tersebut sejak 2017 silam dengan menggunakan metode Demplot.
Demplot adalah Demontration Plot, metode penyuluhan pertanian kepada petani, dengan cara membuat lahan percontohan, agar petani bisa melihat dan membuktikan terhadap objek yang didemontrasikan.
Proses ini, tutur Rohmat, diperoleh usai mencapat pendampingan dari Badan Restorasi Gambaut (BRG) yang membentuk Desa Peduli Gambut (DPG) pada tujuh provinsi di Indonesia.
"Kami menggunakan kearifan lokal dalam menanam. Susah iya, namun semangat untuk berusaha tanpa membakar lahan dalam berocok tanam itu lebih penting bagi keberlanjutan pola tanam ramah lingkungan," ujar laki-laki kelahiran 1986 tersebut.
Sebaliknya, jika Rohmat mempraktikkan cara bercocok tanam tanpa membakar di lahan gambut, maka Wendrika melakukan proses pendampingan masyarakat di desa dampingan yang dibentuk oleh BRD, Desa Peduli Gambut.
Ia menceritakan, bagaimana mengajak warga Desa Tri Mandayan untuk bersama-sama menjaga dan memanfaatkan gambut tanpa membakar.
Desa Tri Mandayan memiliki luas 2.171,05 hektare dengan memiliki karakteristik berbda dengan gambut lainnya. Di desa ini, tutur Wendrika, gambutnya jenis fibrik dengan kedalaman mulai 0,5 hingga 15 meter.
"Saya mengajak masyarakat bersama-sama menjaga gambut dan memanfaatkannya. Saya juga mengajak adik-adik pramuka untuk peduli gambut," kata Wendrika.
Rohmat Suprihatin saat menjadi pembicara dalam Koneferensi Perubahan Iklim COP24, Senin, 10 Desember 2018, di Katowice, Polandia.
Anak-anak Pramuka inilah kemudian menjadi ujung tombak Wendrika untuk melakukan sekat kanal (Canal Blocking) di desa dampingannya.
Fasilitator ini juga menjelaskan bagaimana cara pembasahan (rewetting), penenaman kembali (revegetation) dan pembangunan kembali (revitalization) kepada masyarakat di desa dampingannya.
Ia menjelaskan, di masyarakat adat dan lokal, ada istilah pegung. Pegung ini adalah cara tradisional mengatur air di lahan gambut. Istilah kekinian canal blocking ataiu sekat kanal.
"Cara 3R inilah saya jelaskan ke anak-anak Pramuka, bagaimana mengerti menjaga lahan gambut. Mereka juga ikut terlibat aktif dalam membuat sekat kanal," kata Wendrika.
Sama dengan dilakukan Rohmat, di desa dampingan Wendrika juga dilakukan Demplot bersama-sama anak didik Pramuka. Dari demplot itu, tuturnya, kemudian ditanam berbagai buah-buahan, tanaman palawija dan obat-obatan,
"Buah-buah seperti durian, kopi, semangka, nanas, markisa,buah naga, kalimbawan, jeruk, rambutan, dan cempedak," jelasnya.
Untuk tanaman palawija, mulai dari cabai, cabe, kangkung, ubi, singkong, terong dan tanaman obat-obatan antara lain serai, jahe, kunyit, dan kunyit hitam.
Sementara itu, Deputi III bidang Kemitraan Edukasi, Sosialisasi dan Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna A Safitri mengatakan, kedua orang tersebut membuktikan upaya-upaya serius dengan mengedepankan kearifan lokal dan partisipasi masyarakat, mampu menjaga gambut.
Bahkan, tuturnya, tak hanya menjaga gambut dari kebakaran, melainkan juga bermanfaat, terutama bercocok tanam tanpa membakar.
"Kearifan lokal, kolaborasi dengan masyarakat, dipadu dengan teknologi, membuat gambut lebih bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat. Mereka bukti di lapangan," kata Myrna.