RIAU ONLINE - Film pendek karya sineas muda Indonesia, Ashram Shahrivar di Los Angeles, yang berjudul “Sigek Cokelat” belum lama ini berhasil menembus dua festival film International yaitu Colorado Environmental Film Festival di Colorado, Amerika, dan juga London International World Cinema di London, Inggris.
Tidak tanggung-tanggung, di London International World Cinema, film “Sigek Cokelat” berhasil meraih tiga nominasi untuk kategori sutradara terbaik, naskah terbaik, dan film asing pendek terbaik.
Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini bercerita tentang sisi gelap dalam industri minyak kelapa sawit yang dialami oleh pekerjanya di Kalimantan Barat.
“Cerita ini mengenai satu keluarga yang memang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jadi cerita intim tentang gimana keluarga ini bisa di influence-lah (oleh) perusahaan-perusahaan besar yang memang mempekerjakan mereka dan gimana aku men-deliver cerita ini lewat cokelat,” papar Ashram Shahrivar dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin 19 Maret 2018.
Cerita dalam film berdurasi 15 menit ini kemudian dituangkan oleh Ashram dan tim dengan pengantar sebatang cokelat, dimana minyak kelapa sawit sering digunakan sebagai salah satu bahan dasarnya.
“Jadi memang ‘Sigek Cokelat’ itu artinya sebatang cokelat. Itu bahasa melayu, bahasa Kalimantan barat,” jelas lulusan New York Film Academy di Los Angeles, California ini.
Film yang sudah didaftarkan ke total 10 film festival di seluruh dunia ini juga mengintip sekelumit dunia bisnis dari para penanam modal asing yang mencari kesempatan untuk terjun ke industri minyak kelapa sawit.
“Dari situ kita masuk ke gambar kebakaran hutan dan di situ kita lihat gimana struggle-nya orang lokal sendiri. Jadi perspektif dari investor, dari orang yang di atas, dan kita lihat juga perspektif orang yang di bawah, yang memang kerja di situ,” tambahnya lagi.
Ide film ini berawal ketika Ashram menonton video yang tengah viral di Facebook mengenai orang utan yang sedang kesakitan karena luka bakar, dengan pemandangan hutan yang sudah gundul terbakar dan batang pohon yang gosong.
“Nah, dari situ aku mempertanyakan ‘kenapa sih bisa sampai kayak gini?” ujar sineas kelahiran tahun 1996 ini.
“Aku pikir, apa yang bisa aku achieve untuk bisa mengubah itu atau enggak memberitahu ke orang lebih luas lagi gitu dan aku mikir,” lanjutnya lagi.
Dengan berbekal ilmu perfilman, Ashram kemudian mengajak teman-temannya, terutama yang tinggal di Indonesia, untuk melakukan riset tentang hal ini, hingga akhirnya terciptalah skenario film “Sigek Cokelat."
Pantang Menyerah Hadapi Tantangan
Yang menjadi tantangan bagi Ashram adalah bagaimana ia bisa memberikan pesan yang netral melalui film "Sigek Cokelat," mengingat ia juga tidak punya latar belakang sebagai seorang aktivis lingkungan.
“Aku enggak mau orang lain benar-benar melihat Indonesia itu jelek. Aku ingin coba untuk netral, karena di situ agak cukup tantanganlah, karena aku harus bisa menyeimbangkan dari sisi-sisi yang berbeda,” paparnya.
Saat melakukan riset, Ashram mendapati perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit yang memang tergolong sehat. Namun, ada juga yang ilegal. Para penanam modal yang ia temui untuk riset pun banyak yang keberatan dengan cerita yang akan ia angkat lewat film “Sigek Cokelat” ini. Ia pun kemudian berusaha untuk mendapatkan informasi dari para penanam modal yang ramah lingkungan.
Proses syuting dilakukan selama 10 hari. Ashram yang berperan sebagai sutradara dan produser, melibatkan 25 orang kru yang 10 diantaranya adalah penduduk lokal di Kalimantan Barat.
“Jadi aku bawa beberapa orang dari Jakarta dan beberapa orang lokal yang memang membantu kita di situ dan mereka cukup baik-baik semua. Mereka welcome sama kita,” kata Ashram.
Tidak hanya itu, ia dan kru juga mendapat bantuan dari lurah wilayah setempat yang meminjamkan dua rumah untuk mereka tempat selama proses syuting dilakukan, mengingat di daerah tersebut tidak ada tempat penginapan.
Matanya terbuka saat terjun langsung ke lokasi dan melihat secara dekat kondisi nyata dari kehidupan mereka.
“Ada perusahaan memang dengan massa yang besar dan punya nama besar. (Para pekerja) ya (diperlakukan) memang bagus gitu ya. Ada prosedur, ada safety, ada rules yang harus dikerjakan. Dan tempat tinggalnya pun aku lihat cukup baik ada beberapa,” ujar Ashram.
Namun, Ashram mendapati masih adanya penduduk yang bekerja di perusahaan yang tidak jelas statusnya atau perusahaan besar yang tidak memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.
Tempat tinggal yang disediakan pun kecil dengan hawa panas yang terasa di dalamnya.
“Di sana panas sekali dan anak-anak yang masih kecil kadang-kadang harus membantu orang tuanya, karena dalam satu hari mereka harus bisa store sekitar 75 seed (biji),” ceritanya lagi.
“Harusnya anak-anak di sekolah gitu. Dari pagi sampai sore di sekolah dan malamnya belajar atau pun gimana aktivitas, tapi ini harus membantu orang tuanya yang memang butuh karena dia harus bisa mencapai goal itu. Jadi kondisinya memang cukup ada yang memprihatikan dan memang ada pun yang sudah terorganisir. Itu yang aku lihat di sana,” tambahnya.
Tanggapan Positif Dari Warga Amerika
Hingga kini film “Sigek Cokelat” belum ditayangkan di Indonesia, karena masih terikat dengan persyaratan di berbagai festival film internasional. Tanggapan dari para penonton yang hadir, khususnya saat melakukan sesi tanya jawab di Colorado Environmental Film Festival di Colorado cukup positif dan menggugah hati.
“Mereka mau mengubah diri mereka sendiri gitu, karena mereka setelah nonton kayak ‘I didn’t know about that. I didn’t know cokelat ini dari situ.’ Dan mereka enggak tahu apa yang terjadi di sana,” ujar Ashram.
Seorang penonton mengatakan kepada Ashram bahwa filmnya adalah film terbaik di festival di Colorado. Penonton yang lain mengatakan film “Sigek Cokelat” ini telah membuatnya berpikir tentang konsekuensi dari tiap langkah yang ia ambil atau yang belum diambil, yang mungkin tidak terlihat di dekatnya, namun terjadi di belahan dunia lain, yang juga mempengaruhi kehidupan orang dan lingkungan.
Lewat film ini Ashram memang ingin membuka mata orang-orang untuk melihat apa yang terjadi di ‘bawah’ sana, sebagai contoh ketika tengah menikmati sebatang cokelat.
“Kayak dari cokelat sendiri itu kalau di buka, di lihat belakangnya ada palm oil kan? Nah, dari pekerja-pekerja yang memberi palm oil itu ke si perusahaan itu gimana nih? How they work?” papar Ashram.
“Jadi pesannya ya untuk lebih menyadarkan atau melihat dari lensa yang lebih besar lagi untuk si sawit itu,” tambahnya.
Menembus Kancah Perfilman Internasional
Sebagai seorang imigran dari Indonesia yang mendapat kesempatan untuk menimba ilmu perfilman di Amerika dan berhasil menembus kancah perfilman internasional bagaikan kerja keras dan jerih payah yang terbayarkan bagi Ashram.
“Saya selalu percaya dengan diri saya, walaupun masih belum tahu apakah saya akan berkarir di Amerika atau di Indonesia, jadi saya jalani saja. Saya merasa bahagia dan bersyukur, kepada keluarga dan Tuhan,” tutur Ashram.
Untuk teman-teman yang ingin mendaftarkan filmnya ke festival atau juga ingin berkarir di industri perfilman Amerika, Ashram memberikan saran berdasarkan pengalamannya.
“Jadi memang harus beda dari yang lain. Itu paling penting. Dan punya cerita yang otentik dan original gitu ya,” ujarnya.
Ashram juga berpesan untuk jangan menyerah dan menjalankan apa yang disukai.
“Untuk submit ke festival-festival manapun enggak usah takut, enggak usah feeling ‘ah, kayaknya bakalan enggak diterima nih sama festival ini,’ siapa tahu keterima kan?” katanya dengan semangat.
“If you believe in your film and believe in yourself pasti ada jalannya. Jadi don’t e afraid. Ada film festival di seluruh dunia itu ada banyak banget. Di Amerika sendiri sudah ada ribuan. Apalagi di Indonesia. Belum di Eropa, di Asia, China, masih banyak, dan mereka welcome sama film-film yang baru,” tambahnya menutup wawancara dengan VOA.(2)