(Istimewa)
Senin, 17 Maret 2025 09:02 WIB
Editor: Anggun Rosita Alifah
(Istimewa)
Oleh Ilham Muhammad Yasir, RedakturEksekutifRiauOnline.
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Matahari pagi masih menggantung rendah di langit Kota Pekanbaru ketika masyarakat mulai sibuk dengan aktifitas rutinnya. Jalan-jalan kota terlihat lebih ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Namun, di balik pemandangan yang tampak normal ini, tersimpan persoalan serius yang tengah dialami Pemerintah Provinsi Riau dan beberapa kabupaten/kota di dalamnya: fenomena tunda bayar dan defisit anggaran yang semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun.
Jika melihat angka-angka yang tersedia, Provinsi Riau sebenarnya tidak kekurangan dukungan dana dari pusat. Tahun 2022, pasca Covid-19, pemerintah pusat menyalurkan Rp4,1 triliun, yang kemudian melonjak signifikan menjadi Rp23,08 triliun pada tahun 2023, meningkat menjadi Rp23,20 triliun pada 2024, dan mencapai angka Rp25,12 triliun pada tahun 2025.
Namun ironisnya, dana fantastis ini ternyata tidak mampu mencegah munculnya fenomena tunda bayar yang kini menghantui hampir seluruh daerah di Riau.
Pekanbaru, sebagai ibu kota provinsi, mencatat tunda bayar hingga Rp400 miliar. Penyebab utamanya adalah keterlambatan transfer Dana Bagi Hasil (DBH) dari pusat, diperparah dengan penganggaran yang kurang matang. Masalah yang sama juga dialami Kabupaten Siak dengan nilai tunda bayar mencapai Rp229 miliar, Kabupaten Pelalawan sebesar Rp72 miliar, Kabupaten Rokan Hulu sebesar Rp125 miliar, dan Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp51,5 miliar. Masalah ini tidak berhenti pada lima kabupaten/kota tersebut.
Menurut laporan berbagai media, persoalan ini dirasakan merata di seluruh 12 kabupaten/kota di Riau. Semua memiliki akar masalah serupa: ketergantungan yang sangat tinggi pada dana transfer pusat, hingga mencapai sekitar 84 persen dari total pendapatan daerah.
Fenomena ini tentu mencerminkan rendahnya kemandirian fiskal daerah yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah provinsi. Ketergantungan yang tinggi pada transfer dari pusat tidak saja merapuhkan bagi posisi keuangan daerah, tetapi juga menghambat realisasi berbagai program pembangunan di daerah. Yang merupakan hak dasar bagi masyarakat.
Situasi sebenarnya menarik saat mendekati Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 lalu, di mana sejumlah kebijakan pembangunan muncul secara tiba-tiba, termasuk kebijakan menaikkan status 36 ruas jalan kota menjadi jalan provinsi. Padahal, kebijakan besar semacam ini sebelumnya tidak pernah termuat dalam rencana strategis resmi daerah. Keputusan strategis yang muncul secara mendadak ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan motif yang mendasarinya.
Dikhawatirkan, kebijakan tanpa perencanaan matang ini berpotensi membuka celah penyalahgunaan anggaran dan memicu modus korupsi yang sudah menjadi rahasia umum. Apalagi, defisit anggaran Pemprov Riau tahun 2025 mencapai angka Rp2,2 triliun, jumlah terbesar sepanjang sejarah provinsi ini. Jika tidak segera ditangani, masalah ini dapat berujung pada lumpuhnya pelayanan publik dan terganggunya aktifitas ekonomi di daerah.
Kondisi ini menuntut pemerintah daerah lebih serius dalam mengelola keuangan, memperkuat sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada dana transfer pusat. Perlu ada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat yang lebih tinggi agar pengelolaan anggaran berjalan efektif dan efisien. Daftar DOASLOT.
Tulisan ini merupakan refleksi bersama sekaligus ajakan kepada masyarakat untuk tidak lagi sekadar menjadi penonton pasif dari kebijakan publik yang tidak lepas dari politik anggaran. Masyarakat Riau harus aktif berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan daerah, guna memastikan bahwa anggaran daerah digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan, persoalan tunda bayar dan defisit anggaran bukan hanya isu administrasi dan birokrasi semata. Namun juga ada dimensi politik yang beririsan langsung dengan tata kelola pemerintahan. Masyarakat ke depannya perlu lebih jeli dan kritis terhadap kebijakan publik yang diambil terutama jika menjelang momentum politik seperti Pilkada. Untuk memastikan bahwa pembangunan yang dijanjikan benar-benar berpihak pada kepentingan umum, bukan sekadar pencitraan menjelang dan pasca pesta demokrasi lima tahunan.
Transfer Data ke Daerah (TKD) Provinsi Riau (2022–2025)
Tahun |
Total Transfer ke Daerah (TKD) |
Sumber |
Tahun 2022 |
Rp4,1 |
Kemente |
Tahun 2023 |
Rp23,08 |
DJPK K |
Tahun 2024 |
Rp23, |
DJPB |
Tahun 2025 |
Rp25, |
Pemprov |
Baca Juga
Data Tunda Bayar Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
TIDAK |
Kabupaten/Kota |
Jumlah Tunda Bayar |
Penyebab Utama |
1 |
Kota |
Rp400 miliar |
Keterlambatan DBH, perencanaan anggaran |
2 |
Kabupaten Siak |
Rp229 miliar |
Keterlambatan DBH |
3 |
Kabupaten Pelalawan |
Rp72 miliar |
Ketergantungan tingginya DBH |
4 |
Kabupaten Rokan Hulu |
Rp125 miliar |
Keterlambatan transfer DBH |
5 |
Kabupaten Kepulauan Meranti |
Rp51,5 miliar |
Rendahnya PAD, ketergantungan DBH |
6 |
Kabupaten Kampar |
Data belum tersedia |
Ketergantungan DBH |
7 |
Kabupaten Indragiri Hulu |
Data belum tersedia |
Ketergantungan DBH |
8 |
Kabupaten Indragiri Hilir |
Data belum tersedia |
Ketergantungan DBH |
9 |
Kabupaten Kuantan Singingi |
Data belum tersedia |
Keterlambatan DBH |
10 |
Kota Dumai |
Data belum tersedia |
Keterlambatan DBH |
11 |
Kabupaten Bengkalis |
Data belum tersedia |
Keterlambatan DBH |
12 |
Kabupaten Rokan Hilir |
Data belum tersedia |
Keterlambatan DBH |
Keterangan Tambahan:
- Seluruh kabupaten/kota mengalami masalah tunda bayar, namun angka detail sebagian daerah masih belum dipublikasikan secara terbuka.
- Ketergantungan terhadap transfer pusat secara umum mencapai 84 persen dari total pendapatan daerah.