Pertumbuhan Ekonomi, Proyek Strategis Nasional dan Cita-cita “Indonesia Emas 2045”

Ilustrasi-ekonomi.jpg
(Liputan6.com/Andri Wiranuari)

(oleh Surjadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Tujuan pembangunan nasional adalah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setara dengan negara maju (high income). Demikianlah amanat Buku I (Agenda Pembangunan Nasional) Peraturan Presiden No.2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 yang dibuat di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Digunakannya frasa “high income” menunjukkan bahwa cita-cita menjadi negara maju menggunakan tolok ukur ekonomi khususnya pendapatan nasional. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Undang-undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 telah mencanangkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju melalui pencapaian visi Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur di tahun 2025.

Visi 2025 gagal dicapai

Melalui Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, yang ditetapkan sebelum pandemi Covid 19, pemerintahan Presiden Joko Widodo mengakui bahwa target menjadi negara maju pada 2025 tidak bisa dicapai. Dokumen perencanaan tersebut, melalui salah satu skenario yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, memprediksi pada 2024 hanya akan dicapai Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Neto per kapita sebesar US$6,000 yang berarti masih sangat jauh dari batas minimum tingkat pendapatan negara  maju menurut kriteria Bank Dunia yaitu US$13,846. Berbeda dengan Gross Domestic Product (atau Produk Domestik Bruto/PDB) yang mencatat seluruh pendapatan yang dihasilkan di negara Indonesia (baik oleh warga negara asing maupun warga negara Indonesia), GNI menghitung total pendapatan warga negara Indonesia yang dihasilkan di dalam mapun di luar negeri. Meskipun status negara maju tidak berhasil diraih, Lampiran I Perpres tersebut dalam Bab 10 menyatakan “RPJMN 2020-2024 merupakan titik tolak untuk mencapai sasaran pada visi 2045 yaitu Indonesia menjadi negara maju.”

Sementara itu, musibah pandemi Covid 19 telah menyebabkan GNI per kapita Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai US$4,870 yang bahkan masih cukup jauh dari skenario US$6,000 di tahun 2024. Jika GNI per kapita Indonesia pada tahun 2024 adalah US$5,300 (dimana terjadi pertambahan sebesar US$400 per tahun, sesuai skenario Bappenas) maka target tingkat pendapatan negara maju US$13,846 dapat dicapai dalam waktu sekitar 17 tahun jika pertumbuhan GNI per kapita Indonesia minimal mencapai rata-rata 6% per tahun. Sayangnya data Bank Dunia menunjukkan bahwa di periode 2011-2019, GNI per kapita Indonesia hanya tumbuh rata-rata 4% per tahun. Karena faktor pandemi Covid 19, periode 2019-2023 bahkan hanya mencatatkan angka pertumbuhan 2,34% per tahun. Rerata pertumbuhan PDB per kapita Indonesia baik selama periode Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) maupun Jokowi I (2014-2019) juga hanya sekitar 4% per tahun. Sedangkan periode Jokowi II (2019-2023) meraih angka 2,25% per tahun.

PSN dan pelajaran dari sejarah



Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden 2024, berulang kali menyampaikan bahwa pemerintahannya adalah kesinambungan dari pemerintahan Presiden Jokowi, sehingga kebijakan untuk menuju Indonesia menjadi negara maju pada 2045 (“Indonesia Emas 2045”) tidak akan jauh berbeda dari apa yang telah digariskan oleh pemerintahan sebelumnya. Jika bangsa ini ingin menjadi negara maju dengan ukuran GNI per kapita pada 2045, maka sudah sepatutnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan pembuatan kebijakan ekonomi di masa lalu. Pada saat yang sama kita harus berusaha keras untuk meningkatkan produktivitas perekonomian secara signifikan.

Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam RPJMN 2004-2009 menyatakan bahwa salah satu permasalahan utama perekonomian Indonesia (sehingga pencapaian pertumbuhan ekonomi negeri ini belumlah optimal) adalah belum memadainya dukungan infrastruktur fisik berupa transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumber daya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan. Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional rupanya bertekad untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur (yang bahkan dipercepat) demi mengatasi permasalahan pertumbuhan ekonomi di periode pemerintahan sebelumnya. Bagian “Menimbang” menyatakan bahwa Perpres tersebut bertujuan mempercepat pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Regulasi ini juga melahirkan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur yang bertugas untuk mengkaji pelaksanaan lebih dari 225 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan. Perlu dicatat bahwa Perpres ini hadir bukan untuk menjalankan amanat suatu Undang-undang, melainkan murni berdasarkan inisiatif Presiden.

Perpres No. 3 Tahun 2016 ini rupanya memang dirancang agar pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur dapat berjalan dengan lebih lancar. Misalnya, Pasal 19 Ayat (2) Perpres tersebut menyatakan bahwa dalam hal lokasi PSN tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detil Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari lokasi yang direncanakan, dapat dilakukan penyesuaian tata ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. Di antara proyek infrastruktur yang terdapat dalam daftar PSN ini adalah Kereta Api Jambi – Pekanbaru dan Jalan Tol Pekanbaru – Kandis – Dumai Bendungan (di Provinsi Riau) serta Jalan Tol Batu Ampar – Muka Kuning – Bandara Hang Nadim dan Bendungan Muara Sei Gong (di Provinsi Kepulauan Riau).

Perpres tentang Percepatan PSN ini ternyata juga cepat mengalami perubahan. Perubahan pertama adalah berupa Perpres No. 58 Tahun 2017 yang merevisi sejumlah pasal dan kini memiliki daftar 248 PSN. Perubahan kedua yaitu Perpres No.56 Tahun 2018 hanya merevisi Lampiran yang kini terdiri dari 227 PSN. Kemudian pada perubahan ketiga melalui Perpres No. 109 Tahun 2020 direvisi sejumlah pasal dan kini terdapat 201 PSN serta 10 program strategis nasional. Terbitnya Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan cepat menghadirkan pengaturan baru berupa Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang memberikan kewenangan kepada Menteri Koordinator Perekonomian untuk mengevaluasi usulan dan daftar PSN. Evaluasi tersebut juga berlangsung cepat yaitu melalui Peraturan Menko Perekonomian No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan PSN. Peraturan Menko Perekonomian ini juga berubah dengan cepat dan terjadi 2 kali perubahan di tahun 2022. Peraturan terkini yaitu  Peraturan Menko Perekonomian No.7 Tahun 2023 adalah perubahan ketiga dimana di dalamnya terdapat 211 PSN, termasuk Proyek Jalan Tol Rengat – Pekanbaru (di Provinsi Riau dan 13 program strategis nasional, termasuk Proyek Pengembangan Kawasan Rempang Eco City (di Provinsi Kepulauan Riau).

Terlepas dari adanya permasalahan tata ruang, penundaan jadwal, konflik dengan masyarakat  dan berbagai isu kontroversial lainnya, percepatan pembangunan ratusan PSN sejak tahun 2016 ternyata belum berhasil mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara memadai. Pertumbuhan PDB yang pada gilirannya akan berdampak terhadap perhitungan GNI per kapita dalam upaya mencapai kriteria negara maju, tampaknya belum berhasil mencapai angka rata-rata 6% per tahun. Asumi pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam APBN periode 2022-2024 yang angkanya disepakati oleh Pemerintah dan DPR, juga belum pernah menyentuh angka rerata 6% per tahun.

Pesan penting menuju “Indonesia Emas 2045”

Sudah saatnya pemerintah meninjau kembali penggunaan kata “percepatan” sebagai nama suatu kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya pembangunan adalah suatu proses agar kehidupan masyarakat semakin baik, bukan sekedar menghasilkan penambahan infrastruktur secara cepat. Percuma saja pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur jika dampaknya tidak bisa dirasakan masyarakat luas yang tercermin dari peningkatan daya beli masyarakat yang berjalan secara lambat atau bahkan berkurang. Bukankah data pertumbuhan PDB Indonesia selalu menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar? Data BPS menunjukkan bahwa 54,93% pertumbuhan PDB di kuartal pertama 2024 berasal dari pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Selain belajar dari pencapaian pertumbuhan ekonomi di tengah percepatan pembangunan PSN, Prabowo Subianto perlu juga mencermati proses pembangunan Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara – Kalimantan Timur yang ditargetkan dapat mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa. Jika pembangunan  infrastruktur fisik IKN saja banyak mengalami kendala, sehingga Presiden batal berkantor di sana pada Juli 2024, bagaimana dengan pembangunan aspek sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat yang jauh lebih rumit?Pembangunan IKN merupakan ajang pembuktian apakah bangsa kita memang dapat membuat perencanaan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai cita-cita “Indonesia Emas 2045”, atau IKN malah menjadi sumber pemborosan keuangan negara yang dibiayai dari pembayaran pajak oleh rakyat.