Kondisi Terkini Utang Pemerintah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Daerah

Ilustrasi-utang2.jpg
(Liputan6.com/Trieyasni)

(Surjadi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Indonesia)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Hingga debat ketiga dalam pemilihan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024, isu utang pemerintah ternyata masih terus dibahas. Meskipun topik utama debat adalah bidang hukum dan pemerintahan ataupun pertahanan dan hubungan internasional, isu utang pemerintah selalu diperdebatkan dengan cukup panas. Isu utang pemerintah ini memang cukup banyak diperbincangkan di media sosial dan kemampuan untuk menjawab masalah utang pemerintah ini merupakan salah satu sumber legitimasi penting bagi para Capres dan Cawapres.

Sekilas sejarah utang pemerintah

Sebagaimana banyak negara berkembang lainnya, sejak era Presiden Soeharto, pemerintah telah menggunakan utang, yaitu utang luar negeri (foreign loan) untuk menutup defisit APBN. Salah satu skema utang luar negeri yang diandalkan oleh pemerintah adalah Official Development Assistance (ODA) yang memiliki sejumlah syarat lunak seperti adanya komponen hibah, adanya penundaan saat mulai mencicil (grace period) hingga lebih dari 10 tahun, serta tingkat bunga yang relatif kecil. Di masa itu utang dalam negeri cenderung terjadi karena hal-hal yang sifatnya administratif, seperti tertundanya pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa, bukan berupa surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah. Adalah krisis ekonomi 1997/1998 yang kemudian mengubah pola pembiayaan defisit APBN Indonesia. Sejak krisis tersebut, utang dalam negeri berupa penerbitan surat utang menjadi andalan pemerintah. Di masa pemulihan krisis ekonomi yang berjalan di bawah pengawasan International Monetary Fund (IMF), pemerintah juga menerbitkan obligasi rekapitalisasi (yaitu surat utang khusus yang digunakan untuk menyelamatkan bank-bank pemerintah dan swasta yang terancam bangkrut) bernilai ratusan triliun rupiah.

Sejak 1999, proporsi utang dari penerbitan surat utang (disebut “utang dalam negeri” yang kini secara resmi disebut “Surat Berharga Negara”) telah melampaui “utang luar negeri” yaitu 53% berbanding 47%. Sepuluh tahun kemudian proporsinya menjadi 62% (utang dalam negeri) berbanding 38% (utang luar negeri) dimana utang luar negeri meningkat dari Rp438 triliun menjadi Rp611 triliun, sementara utang dalam negeri melonjak tajam dari Rp502 triliun menjadi Rp979 triliun. Laporan tentang APBN dalam Nota Keuangan menjadi ranah kerja Kementerian Keuangan kemudian dilengkapi data rasio jumlah utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rupanya pemerintah ingin menunjukkan bahwa setiap tahun posisi utang (jumlah seluruh utang luar negeri dan utang dalam negeri pemerintah pusat) senantiasa dalam proporsi yang relatif kecil dibandingkan PDB, yaitu pendapatan nasional yang dihasilkan oleh penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah utang pemerintah diharapkan selalu dapat mendorong berkembangnya perekonomian yang diikuti dengan peningkatan pendapatan nasional. Singkatnya, besarnya utang pemerintah bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (khususnya dalam penjelasan Pasal 12 Ayat 3) menyebutkan bahwa “jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto”. Dalam praktiknya PDB yang digunakan dalam perhitungan persentasi ini adalah PDB Harga Berlaku, bukan PDB Harga Konstan yang selalu digunakan dalam perhitungan pertumbuhan PDB karena telah memperhitungkan tingkat inflasi. Dengan demikian pembahasan rasio jumlah utang pemerintah terhadap PDB tidak berkaitan dengan tingkat pertumbuhan PDB.

Seingat penulis, penetapan angka 60% dalam UU Keuangan Negara yang dihasilkan oleh DPR hasil Pemilu 1999 tersebut, tidak disertai oleh pembahasan akademik yang memadai. Saat UU Keuangan Negara dibuat, rasio jumlah utang pemerintah terhadap PDB memang sedang mengalami penurunan dari 85% pada 1999 menjadi 61% pada 2003. Rupanya hingga saat ini DPR dan Pemerintah sudah merasa nyaman dengan angka 60% tersebut sehingga belum ada rencana untuk mengubah besaran tersebut. Pandemi Covid 19 telah meningkatkan secara cukup tajam utang pemerintah sehingga rasio total utang meningkat pula dari 30,2% pada 2019 menjadi 39,4% (2020), 40,7% (2021) dan 39,7% (2022). Pada November 2023, rasio ini menjadi 38,11%, yang berarti masih cukup jauh di atas angka tahun 2019. Meskipun rasio ini masih aman karena jauh dari batas maksimum 60%, setidaknya besaran di tahun 2023 itu menunjukkan bahwa beban utang pemerintah ini masih belum kembali ke posisi sebelum pandemi Covid-19. 

Kondisi terkini utang pemerintah



Kementerian Keuangan melalui Nota Keuangan melaporkan bahwa pada 2014, posisi utang pemerintah adalah sekitar Rp2.600 triliun dan pada 2019 angkanya adalah Rp4.787 triliun. Dengan demikian secara rata-rata tiap tahun terjadi penambahan jumlah utang sebesar Rp437 triliun. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa hingga November 2023, jumlah utang pemerintah pusat adalah sekitar Rp8.041 triliun, sehingga dalam 4 tahun terakhir (termasuk didalamnya masa pandemi Covid-19) terjadi peningkatan jumlah utang sebesar Rp3.254 triliun yaitu rata-rata Rp813 triliun per tahun. Angka ini hampir 2 kali dari rata-rata pertambahan utang pemerintah pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Terlihat bahwa memang pandemi Covid 19 berdampak luar biasa terhadap penambahan jumlah utang pemerintah. Jadi walaupun Presiden Jokowi menjelaskan bahwa WHO menilai Indonesia termasuk negara yang paling sukses dalam mengatasi pandemi Covid 19, janganlah kita melupakan bahwa “kesuksesan” ini disertai beban pembayaran bunga utang yang cukup berat.

Saat ini sekitar 89% dari seluruh utang pemerintah adalah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Sebagai suatu instrumen investasi, maka utang pemerintah berupa SBN ini hanya akan diminati oleh para investor apabila memberikan hasil yang lebih menarik dibanding bentuk investasi yang lain. Dari sisi fiskal, makin mudah pemerintah menjual SBN maka semakin mudah pula pemerintah memperoleh utang untuk membiayai defisit APBN. Namun pada saat yang sama kemudahan untuk menjual SBN ini mengandung implikasi meningkatnya beban pembayaran bunga.

Para calon presiden hendaknya menyadari beratnya tanggung jawab dalam pengelolaan utang yang tercermin dari data bahwa pembayaran bunga utang menduduki pangsa terbesar dalam Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis pada APBN 2024. Dianggarkan pada 2024 akan ada pembayaran bunga utang sebesar Rp497 triliun atau sekitar 20% dari total belanja pemerintah pusat. Pembayaran bunga utang selama periode kedua Presiden Jokowi tidak pernah mengalami penurunan. Angkanya selalu meningkat dari sekitar Rp275 triliun pada 2019 menjadi beturut-turut Rp314 triliun,  Rp343 triliun, Rp386 triliun, dan Rp437 triliun untuk periode 2020-2023. Belanja modal (yang berperan strategis dalam penciptaan nilai tambah dalam perekonomian) pernah mengalami penurunan dari Rp259 triliun (2023) menjadi Rp244 triliun (2024). Pada 2024, belanja modal ini (Rp244 triliun) bahkan kurang dari separuh pembayaran bunga utang (Rp497 triliun). Subsidi (untuk menopang berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat) juga pernah turun yaitu dari Rp202 triliun (2019) menjadi Rp196 triliun (2020) dan pada 2024 angkanya (Rp283 triliun), jauh di bawah pembayaran bunga utang.

Dampak terhadap Pembangunan Daerah

Jika kita hitung berdasarkan data Nota Keuangan, maka pada periode APBN 2020-2024 pertumbuhan rata-rata per tahun belanja pembayaran bunga utang pemerintah adalah sekitar 12%, jauh melebihi pertumbuhan belanja pemerintah menurut jenis selain pembayaran bunga utang (belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, belanja lain-lain) yaitu sekitar 6.6%. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan belanja pemerintah pusat untuk jenis selain pembayaran bunga utang mengalami tekanan yang cukup berat. Padahal banyak dari komponen belanja tersebut memiliki dampak penting bagi pembangunan daerah.

Sebagai ilustrasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan bahwa untuk tahun 2023-2024 terdapat anggaran APBN sebesar Rp32,7 triliun untuk perbaikan jalan di seluruh Indonesia. Hal ini diputuskan sesuai hasil rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan telah dituangkan ke dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2023 tentang Percepatan Peningkatan Konektivitas Jalan Daerah. Media massa melaporkan bahwa penerapan Inpres ini di Provinsi Riau hanya dapat memperbaiki 4 ruas jalan dari 10 ruas jalan yang diusulkan, yaitu Jalan Teluk Piyai-Panipahan di Kabupaten Rokan Hilir sepanjang 3,4 km, Jalan Simpang Bunut-Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan sepanjang 5,5 km, Jalan Lipat Kain-Lubuk Agung-Batu Sasak di Kabupaten Kampar sepanjang 5 km, dan Jalan Simpang Batang-Lubuk Gaung di Kota Dumai sepanjang 4,5 km.

Di sisi lain, Kementerian Pertanian pernah mengabarkan bahwa dana subsidi pupuk yang dianggarkan untuk tahun 2024 adalah sebesar Rp26,68 triliun yang hanya cukup untuk pupuk urea dan NPK sebanyak 4,8 juta ton dari total kebutuhan 10,7 juta ton. Padahal selama ini banyak petani kelapa sawit (sebagai produk utama penyumbang nilai ekspor Indonesia) di Provinsi Riau  mengeluhkan masalah kelangkaan pupuk yang menyebabkan penurunan tingkat pendapatan mereka.

Siapapun pemenang dalam pemilihan presiden tahun 2024 harus memahami bahwa isu utang pemerintah tidaklah sebatas aman atau tidaknya rasio utang pemerintah terhadap PDB. Tantangan yang lebih strategis untuk dijawab adalah bagaimana agar beban pembayaran bunga utang tidak mengganggu kredibilitas pemerintah pusat dalam pelaksanaan proyek pembangunan di daerah-daerah serta tidak menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

*Kanal Citizen merupakan sarana bagi jurnalis warga

*Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan