Penulis : Firlia Nouratama
Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2020 meningkat tajam dibanding tahun lalu. Jumlahnya mencapai 84 kasus. AJI juga menganalisis dua hal paling krusial berhubungan dengan kerja jurnalis. Di antaranya kebebasan pers dan aspek kesejahteraan.
kasus kekerasan terhadap wartawan adalah sejumlah tindakan yang dikategorikan sebagai upaya menghalangi-halangi wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian tersebut merujuk pada standar penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan yang dimiliki Dewan Pers.
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan menilai, tahun ini menjadi masa kelam bagi jurnalis. Data yang ada mengindikasikan pelonjakan jumlah kekerasan dari tahun lalu. Data tersebut paling tinggi, sepanjang pengamatan AJI.
Sebelumnya, kasus tertinggi ditemui pada 2016 dengan 78 kasus. Setahun kemudian, menjadi 60 kasus. Lalu, naik kembali sebanyak 64 kasus pada 2018.
Manan menambahkan, Jakarta adalah tempat yang paling banyak tindak kekerasannya, yaitu 17 kasus. Disusul Malang dengan 15 kasus dan Surabaya 7 kasus. Biasanya, didominasi oleh intimidasi terhadap wartawan. Ada pula, kekerasan fisik, perusakan, dan perampasan alat serta hasil liputan.
Menurutnya, aksi demonstrasi menolak Omnibus Law pada 5 Oktober lalu, berkontribusi besar terhadap penambahan kasus kekerasan terhadap wartawan. Alasannya, demonstrasi yang berlangsung cukup masif.
Lebih jauh, pelaku kekerasan paling sering dilakukan oleh polisi. Sebab, polisilah bertugas mengamankan demonstrasi yang terjadi.
“Polisi sebagai pelaku terhadap kekerasan terhadap wartawan, umumnya melakukan intimidasi, penghapusan hasil liputan dan data hasil liputan hingga berbentuk kekerasan fisik,” ucap Manan.
Ia juga menyayangkan adanya pemidanaan terhadap wartawan. Seperti yang menimpa Diananta P. Sumedi, seorang Jurnalis Banjarhits. Diananta dipidana karena menulis berita konflik warga dengan PT Multi Sarana Agrosalah satu perusahaan Jhonlin Group, pada 9 November 2019. Diananta dijerat dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik. Hakim memvonis kurungan tiga bulan dan 15 hari penjara dalam sidang 10 Agustus lalu.
Selain tindak kekerasan, ada pula serangan siber. Jurnalis Detik.com menjadi korban doxing dan ancaman pembunuhan. Bermula dari berita soal rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka pusat perbelanjaan pada 26 Mei lalu.
Pada media, bentuk serangan digital terjadi di Tempo.co. Portal beritanya mengalami peretasan. Selain itu, ada upaya mematikan server oleh peretas, namun tidak berhasil. Lain lagi dengan Tirto.id, serangan dilakukan dengan menghapus sejumlah berita di server online. Keduanya terjadi pada 21 Agusus 2020.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Wawan ABK turut jelaskan bahwa, di masa pandemi situasi yang dihadapi tidak mudah. Ia merasa bahwa tahun ini, media mengalami pukulan ganda. Terpantau sejak tiga tahun terakhir, terjadi disrubsi era digital yang luar biasa. Mulai dari penurunan pendapat iklan dan kegamangan adaptasi teknologi. Ada pula Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga penutupan media. Alasan paling nyata ialah ancaman Covid-19.
Pekerja media, ucap Wawan, memiliki beban dan tanggung jawab. Seperti risiko pekerjaan yang makin berat di tengan pandemi. Namun, jurnalis harus tetap menjalankan perannya. Apalagi tsunami informasi terkait virus ini sedang marak. Ditambah dengan peredaran hoaks yang makin menjamur.
Dalam membangun literasi tentang hak-hak ketenagakerjaan, ada beberapa hal penting menurut Wawan. Pertama, baca dan cermati aturan perusahaan atau kontrak kerja. Pasal-pasal UU ketenagakerjaan dan Cipta Kerja juga perlu dibaca dan dipelajari. Bangun jejaring antarpekerja media, serta membentuk perkumpulan karyawan.
Konferensi pers catatan akhir tahun AJI diadakan pada, Senin (28/12). Kegiatan ini dilakukan melalui aplikasi Zoom Meeting. Banyaknya kekerasan yang terjadi pada wartawan. Pun serangan digital dan pemidanaan menjadi latar belakang penyelenggaraan.
*Penulis adalah jurnalis Pers Mahasiswa Bahana UNRI