RIAU ONLINE - Nilai tukar rupiah mencapai titik terendah sejak 4 tahun terakhir hingga menembus 16.400 per dolar AS. Rupiah pernah anjlok ke posisi Rp 16.400 per dolar AS pada 30 Maret 2020.
Nilai tukar rupiah yang terus melemah menjadi perhatian khusus Presiden Jokowi. Jokowi menggelar rapat terbatas membahas kondisi tersebut bersama Menteri Keuangan, Ketua OJK, Ketua LPS, dan Gubernur Bank Indonesia, Kamis, 20 Juni 2024.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa kondisi pelemahan nilai tukar rupiah selalu dipengaruhi dua faktor utama, yakni fundamental dan sentimental jangka pendek.
Faktor fundamental yang dimaksud adalah kondisi makroekonomi Indonesia seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan kredit. Dari sisi faktor fundamental, seharusnya rupiah menguat.
Sebab, inflasi Indonesia masih terkendali di 2,8 persen pada Mei 2024 dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen pada triwulan 1 tahun ini. Begitupun dari sisi pertumbuhan kredit yang menyentuh 12,5 persen pada Mei 2024.
"Demikian juga kondisi ekonomi kita, termasuk juga imbal hasil investasi Indonesia yang baik. Itulah faktor-faktor fundamental yang mestinya mendukung rupiah itu akan menguat," kata Perry di usai rapat dengan Presiden di Istana Negara, Jakarta, dikutip dari kumparan, Jumat, 21 Juni 2024.
Sementara saat ini, pelemahan rupiah lebih dipengaruhi faktor teknikal jangka pendek, seperti ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu, berubahnya arah angin kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau the Fed, yang sebelumnya diproyeksi akan menurunkan suku bunganya hingga 3 kali pada tahun ini, ternyata tak kunjung dilakukan dan kemungkinan penurunan suku bunga hanya terjadi satu kali hingga akhir tahun nanti.
Untuk mengantisipasi berubahnya arah kebijakan Fed, Bank Indonesia meresponsnya bukan hanya dengan intervensi, tapi juga menaikkan suku bunganya menjadi 6,25 persen pada Mei 2024, hingga kemudian rupiah sempat menguat dari Rp 16.600 menjadi Rp 15.900 per dolar AS.
"Itu menunjukkan bahwa rupiah kemudian menguat begitu sentimen-sentimen jangka pendek itu berakhir," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Rupiah saat ini yang kembali melemah masih dominan dipengaruhi faktor global, yakni belum jelasnya kebijakan the Fed soal rencana penurunan suku bunganya.
Sedangkan faktor lainnya adalah kenaikan suhu bunga obligasi pemerintah Amerika yang tempo hari hanya 4,5 persen saat ini naik menjadi 6 persen, karena memang untuk membiayai utang di Amerika.
Demikian juga bank sentral Eropa sudah mulai menurunkan suku bunga. Ini yang menyebabkan kenapa sentimen-sentimen global memberikan dampak kepada pelemahan nilai tukar.
Sementara dari sentimen domestik, pada triwulan II khususnya bulan Juni, Bank Indonesia mencatat terjadi kenaikan permintaan corporate terhadap dolar AS, di antaranya untuk repatriasi dividen dan untuk membayar utang.
Meski begitu, Warjiyo optimis rupiah ke depan akan menguat. Namun, gerakan rupiah pada setiap bulannya akan sangat bergantung pada sentimen-sentimen yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Ia menyebut hampir semua mata uang negara melemah, kecuali Rusia. Jika dilihat dari Desember 2023, rupiah hingga saat ini melemah hanya 5,92 persen.
Sementara Won Korea melemah hingga 6,78 persen, Baht Thailand melemah 6,92 persen, Peso Meksiko 7,89 persen, Real Brasil melemah 10,63 persen, dan Yen Jepang 10,78 persen.
Berdasarkan perbandingan tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang relatif masih lebih baik. Tapi, akankah bertahan lama?
Stabilisasi rupiah dilakukan dengan memastikan keberadaan bank sentral di pasar melalui penggunaan cadangan devisa.
Saat ini, Bank Indonesia memiliki cadangan devisa senilai USD 139 miliar. Menurut Perry, akan sangat wajar cadangan devisa tersebut digunakan untuk menstabilkan rupiah ketika terjadi capital outflow.
"Dan itu intervensi, dari tunai, forward, maupun juga berkoordinasi dengan bu menteri keuangan bagaimana ini terhadap stabilitas SBN. Kami juga bisa beli SBN dari pasar sekunder. Itu langkah-langkah yang kami lakukan," ujarnya.