Kepemilikan Rekening Bank, Indonesia masih kalah dari Kenya

Penukaran-Uang-di-Bank-Indonesia.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ULTI DESI ARNI)

Penulis: Wilna Sari

 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Berdasarkan catatan Bank Dunia 2011 dan 2014, akses mobile banking atau salah satu gerakan elektronifikasi di Indonesia yang kini membaik pada posisi 36 persen, masih tertinggal dibanding negara terbelakang seperti Kenya di Afrika pada tingkat 75 persen dan negara sebaya Thailand yang sudah mencapai 78 persen.

 

Lebih jelas dalam hal ini, Analis Bank Indonesia Pusat Rezha Mario Ibrahim mengartikan bahwa saat ini hanya terdapat 36 persen penduduk Indonesia dewasa yang memiliki akses atau rekening ke lembaga keuangan formal. (KLIK: Dunia Pendidikan Siap Hadapi MEA)

 

"Detailnya, dari 100 orang dewasa, hanya 36 orang yang punya akses ke bank formal. Sementara, Kenya yang notabene negara tertinggal di dunia saja sudah berhasil membuat 75 persen penduduk dewasanya memiliki akses keuangan melalui mobile banking," katanya, Rabu (30/12/2015).

 

Adapun penyebabnya dipaparkan Rezha terbagi dalam dua sisi, yaitu supply lembaga keuangan dan demand masyarakat.

 



"Supply perbankan untuk mendirikan kantor cabang di seluruh pelosok butuh biaya besar. Belum lagi Indonesia dengan karakteristik kepulauan akan berpengaruh pada ketersediaan listrik dan sinyal yang sudah menjadi tulang punggung bagi operasionalnya," katanya. (BACA: Serapan Anggaran Riau Hanya 64,02 Persen)

 

Sarana infrakstruktur yang ada saat ini diakui Rezha belum cukup optimal bagi kinerja perbankan, apalagi membuka kantor di setiap daerah. Secara bisnis rencana ini akan merugikan perbankan.

 

"Sedangkan dari sisi demand masyarakat, seperti ketiadaan uang, biaya produk relatif mahal, dan jarak dari tempat tinggal yang cukup jauh," katanya.

 

Dari survei 100 petani kelapa sawit di Riau yang dilakukan pihaknya, hampir keseluruhan tidak memiliki rekening perbankan. Alasan terkuat adalah jarak tempuh yang jauh antara tempat tinggal dan perbankan.

 

"Rata-rata 70 persen jaraknya di atas 5 kilometer. Jadi tidak salah jika mereka pun enggan memiliki akses di lembaga keuangan resmi," katanya.

 

Dapat diketahui, saat ini BI mencatat transaksi ritel di Indonesia masih sangat dominan menggunakan transaksi tunai. Jumlah penggunaan 95,5 persen dan nominalnya 84 persen hanya debit, defisit dan e-money.

 

Kedepannya Rezha berharap program elektronisasi ini semakin aktif digalakkan. Sebab dampak baik yang ditimbulkan akan saling menguntungkan bagi masyarakat, perbankan, maupun pemerintahan.

 

"Positifnya, mengurangi traksaksi dengan uang tunai dapat membiasakan masyarakat untuk rajin menabung dan mengurangi perilaku komsumtif. Kemudian juga sebagai entri poin perkenalan pertama masyarakat kepada layanan yg dimiliki perbankan dan traksaksi ekonomi pun jauh lebih efisien," katanya.