Sejarah dan Asal Usul Tradisi Tionghoa Bakar Tongkang di Rokan Hilir

tradisi-bakar-tongkang-Rohil.jpg
(istimewa)

Laporan: Suci

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bakar tongkang merupakan tradisi turun-temurun yang digelar masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil).

Tradisi bakar tongkang digelar pada bulan kelima tahun Tionghoa, hingga menjadi wisata budaya bagi diminati para wisatawan lokal maupun mancanegara.

Tradisi bakar tongkang menyandang beberapa perlakukan yang berhubungan dengan kegiatan upacara, kepercayaan terhadap suatu kekuatan supranatural yang sulit diperhitungkan kebenaran absolutnya.

Menurut buku “Makna Tradisi Bakar Tongkang Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi” yang ditulis Nyoto, tradisi bakar tongkang menitikberatkan sebagai bagian dari tradisi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

Tradisi bakar tongkang atau disebut go gwe cap lak hanya ada di Bagansiapiapi dan satu-satunya di dunia. 



Ritual bakar tongkang adalah simbol dari penghormatan terhadap nenek moyang, mengenang perjuangan para imigran Tionghoa yang pada masa lalu menggunakan kapal tongkang untuk berlayar ke tempat-tempat yang jauh, termasuk Riau. Filosofi di balik tradisi ini mengandung nilai-nilai kebersamaan, keberanian, dan penghormatan terhadap leluhur.

Di zaman orde baru, masyarakat Tionghoa tidak berani menggelar bakar tongkang karena adanya larangan kegiatan yang berbau ke-Tionghoa-an, dari pemerintah di masa itu.

Tang Antoni, yang merupakan Ketua Harian Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Riau, menyebut banyak persoalan yang timbul menyebabkan etnis Tionghoa terdesak tradisinya sendiri.

Larangan-larangan yang dilakukan pemerintah terhadap kebebasan personalitas etnis Tionghoa adalah sebagai akibat tekanan politik yang dilakukan pemerintah rezim Soeharto terhadap warga Tionghoa, sehingga etnis Tionghoa masih merasa terjadi diskriminasi.

Pemerintah orde baru membatasi langkah-langkah masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi dengan beberapa peraturan, seperti surat edaran presidium kabinet ampera tentang masalah Cina No.SE/Pres.Kab/6/1967, instruksi presium cabinet No.49/U/IN/1967 tentang pendayagunaan mass media berbahasa Cina, dan beberapa aturan lain yang mengatur tentang etnis Tionghoa. 

Pembatasan terhadap budaya dan tradisi Tionghoa menjadikan ritual bakar tongkang go gwe cap lak sempat terhenti pada masa pemerintahan zaman Soeharto. Tidak ada rasanya aman yang didapat Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menjadikan tradisi leluhur ini tidak bermakna sama sekali. Saat itu nilai kemutlakan politik menekan nilai kemutlakan budaya. 

Fenomena ini berbeda dengan ketika perayaan ritual go gwe cap lak sudah boleh bebas dilakukan di zaman reformasi.

Perayaan tradisi bakar tongkang go gwe cap lak diadakan setiap tahunnya pada 16 bulan kelima tahun penanggalan Tionghoa. Dalam pelaksanaan tradisi ini, biasanya durasi waktu yang tidak ditentukan secara mutlak, tetapi berada di rentang tanggal 151 dan 16 bulan kelima tahun Tionghoa yang disebut dengan go gwe cap lak.

Pemilihan tanggal pelaksanaan Bakar Tongkang go gwe cap lak erat kaitanya dengan kedatangan nenek moyang orang Tionghoa Bagansiapiapi yang berjumlah 18 orang bermarga Ang. Kelompok orang-orang imigran ini di Bagansiapiapi pada 1826. Satu di antara 18 orang tersebut adalah perempuan yang juga bermarga Ang.