RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pepohonan rindang tumbang di hilir sungai Petapahan di dalam Hutan Imbo Putui saat hujan dengan intensitas ringan hingga sedang masih berpotensi mengguyur Riau hingga Januari 2024. Akar pohon Katuong dan kayu Sendok-sendok enggan menahan bobot pohon kayu setinggi 15 meter akibat banjir dan derasnya aliran air tidak terbendung.
Tumbangnya pohon di dalam hutan merupakan hal lazim terjadi. Namun kini, ada faktor lain menyebabkan pepohonan dengan mudah tumbang begitu saja, apalagi jika pohon tersebut berada tepat di tepian sungai. Akar pepohonan yang tumbang bahkan tertarik keluar dari tanah, sehingga menampilkan wajah hutan porak poranda.
Berjalan lebih jauh ke dalam hutan, akan terlihat hamparan pepohonan sawit. Sayangnya, kini hampir mustahil bisa menemui aktivitas memancing atau menangkap ikan. Dahulu, sekitar tahun 90-an akhir—itulah aktivitas terakhir masyarakat mencari ikan Tapah yang merupakan ikan air tawar yang juga menjadi ikan khas Kenegerian Petapahan.
Ekosistem utama bagi masyarakat adat Kenegerian Petapahan bukan hanya hutan, tetapi hutan-sungai. Namun kini, sungai-sungai di dalam hutan Imbo Putui tampak tidak lagi meliuk indah. Biasanya, masyarakat bisa langsung dengan aman mengonsumsi air minum dari sungai. Itu menjadi satu kemewahan terakhir yang bisa dirasakan masyarakat adat Imbo Putui sebelum korporasi raksasa beroperasi di wilayah mereka.
Sungai dan hutan dibagi menurut peruntukannya. Tata ruang hutan dibagi menjadi pemanfaatan bagi manusia untuk permukiman dan ladang, hutan larangan adat (imbo ghano), dan hutan bagi satwa liar (imbo pitaliong). Ruang yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat hanya wilayah permukiman dan ladang. Hutan larangan adat boleh dimanfaatkan hanya saat ada kebutuhan mendesak—misalkan saat ladang warga tidak menghasilkan. Tetapi, pemanfaatan hutan larangan adat harus berdasarkan izin dari pemangku adat.
Tata ruang sungai dibagi menjadi tepian mudiok, tepian lakuok, tepian masojik, dan tepian ujuong tanjuong yang diperuntukkan bagi kelompok laki-laki, serta tepian sughau, tepian macang, dan tepian samogham yang diperuntukkan bagi perempuan. Saat ini ruang sungai yang masih digunakan adalah tepian mudiok, tepian sughau, tepian samogham, tepian ujuong tanjuong, dan sebagian tepian macang.
Kondisi aliran sungai Petapahan pasca dilanda hujan. (LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)
Saat ini, sungai telah surut. Sungai yang tadinya memiliki kedalaman hingga tiga meter, kini hanya sebatas betis kaki. Otomatis, ikan yang membutuhkan genangan dalam untuk bertelur tak lagi dapat ditemukan dan hanya menyisakan ikan yang toleran terhadap air dangkal dan tercemar. Ikan-ikan tapah yang wajib tersedia dalam sajian adat sekarang hanya bisa diperoleh dengan cara membeli.
Budaya menangkap ikan beramai-ramai (manubo) beberapa tahun belakangan sudah tak dilakukan karena tubo sulit didapat. Balimau kasai kini harus dilakukan di sungai yang dangkal. Bahkan, masyarakat rutin membeli air kemasan untuk kebutuhan minum harian. Air yang bersumber dari sungai juga tak dapat mengalir dengan lancar ke pemukiman saat musim kemarau untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK).
"Ikan Tapah sekarang sudah tidak ada lagi, bisa dibilang hilangnya ikan Tapah itu faktor salah satunya karena tercemarnya sungai karena limbah dari pabrik. Dulu, bisa dapat ikan Tapah sampai pada bobot 30-50 kilogram. Ikan Tapah melakukan pemijahan alami, kita juga tak perlu pasang banyak pancing, cukup pasang 3, ikan sudah banyak dapat. Kita juga ada tradisi yang bernama menebah akar, sudah ada dari nenek moyang. Menebah akar adalah menangkap ikan bersama-sama dengan menggunakan akar tuba. Jadi, akar itu ditokok hingga mengeluarkan air lalu dikumpulkan dan dituangkan ke sungai," ujar Datuk Yusran yang bergelar Datuk Suro Dirajo.
Setelah hampir 30 tahun, masyarakat baru menyadari dampak buruk operasional sawit. Hutan dibabat dan ditanami sawit tanpa melalui kesepakatan secara adat. Sungai-sungai diluruskan, anak-anak sungai ditimbun, pohon sawit ditanam hingga nyaris ke badan sungai. Tanaman-tanaman asli di bibir sungai telah berganti dengan jajaran sawit, bersamaan dengan tegakan bambu yang bisa dihitung jari. Sementara, ikan-ikan asli penghuni sungai tidak dapat ditemukan lagi entah karena mati atau bermigrasi mencari habitat baru.
Eksistensi Hutan Adat Imbo Putui
Hutan Adat Imbo Putui berlokasi di wilayah administrasi Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Posisi desa ini berada di pertengahan Sungai Tapung Kiri yang bermuara di Sungai Jantan (Sungai Siak). Di tengah kepungan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, hutan Imbo Putui seluas 251 hektare masih tegak berdiri.
Secara kewilayahan adat Petapahan cukup luas hingga mencapai sekitar 60.000 hektare yang merupakan ulayat kenegerian tersebut. Berdasarkan data World Research International (WRI), sebuah lembaga nirlaba khusus penelitian menyatakan hutan adat Imbo Putui merupakan kawasan hutan yang terletak pada ketinggian 500-1.000 meter di atas permukaan laut.
Hutan Larangan Imbo Putui dan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan telah diakui statusnya oleh negara sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kampar pada tahun 2018 No. 660-491/X/2018, dan pengakuan hutan adat dari Negara berdasarkan SK KLHK no. SK.7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019 tanggal 17 September 2019 yang diserahkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal tahun 2020. Ini menjadikan Imbo Putui sebagai hutan adat pertama yang diakui di Provinsi Riau.
Datuk Pucuk, Khaidir Muluk mengatakan bahwa Imbo Putui bukan hutan yang baru, tetapi hutan yang turun menurun atau warisan. Dia menjelaskan, awalnya Imbo Putui dinamai dengan hutan larangan. Tidak boleh anak atau kemenakan untuk memasukinya tanpa izin pimpinan adat. Namun, setelah keluar SK dari menteri, maka sebutannya berubah menjadi hutan adat.
"Hutan Imbo Putui terletak di dekat sungai. Sebelum ada perusahaan, itu sungai sangat besar, dalam, hampir mencapai 3 meter. Sejak perkebunan masuk, itu semua berubah. Dulu namanya hutan larangan. Artinya, siapapun tidak boleh mengambil dan merusak hutan, kecuali pada masa itu orang yang anak kemenakannya ingin membuat rumah boleh ambil, atau membuat masjid boleh ambil . Tapi semenjak 1998 sudah kita stop, tidak boleh mengambil hasil hutan. Karena hasil hutan sudah mulai habis," kata tetua adat dari suku Domo ini.
Untuk Petapahan sendiri, tidak seorangpun yang mengetahui kapan desa ini mulai berdiri. Konon kabarnya desa ini telah berdiri jauh sebelum zaman Sriwijaya, atau pada abad ke-8. Penamaan Petapahan, kata Datuk Pucuk, berasal dari dua sumber penjelasan. Pertama, dapat dikatakan sebagai tempat "bertapa". Dahulu kala, lokasi ini dipercaya sebagai tempat tempat bertapa dari Muara Takus. Penjelasan kedua yakni, dinamakan Petapahan lantaran banyaknya popilasi ikan Tapah.
Ilustrasi Ikan Tapah (Wikipedia)
"Ikan Tapah saat banjir biasanya naik dan melepaskan telurnya. sampai hari tidak ada lagi, sungainya sudah dangkal. Di samping itu, lahan juga diciutkan oleh perusahaan sawit. Kami sudah memperjuangkan untuk mempertahankan itu. da 167 hektare lahan diambil perusahaan, bahkan surat itu sudah sampai ke Presiden Jokowi. Sampai kapan pun itu hak kami. Sejauh ini belum ada pertemuan direksi. kami mau berdialog bersama mereka," ujarnya.
Selama ratusan tahun masyarakat Petapahan terus berupaya menjaga hutan adat nan terlarang itu. Dari generasi ke generasi, berpegang teguh pada aturan adat. Salah satu aturan adat yang terakhir adalah penerapan denda yang sangat berat apabila ada warga desa dengan sengaja menebang kayu, meski hanya rantingnya sekalipun. Siapapun yang berani mengambil kayu akan didenda dengan material semen. Lalu untuk kayu berdiamater 5-20 cm, dendanya 200 sak semen, di atas ukuran itu 500 sak semen.
Hutan Adat Imbo Putui memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Terdapat jenis Epifit di antaranya Lumut tanduk (Anthoceros leavis), Tanduk Rusa (Auricularia auricula), Jamur Kayu, Jamur Kuping (Platycerium bifurcatum), Benalu. Ada juga empat jenis Liana, atau tumbuhan yang merambat, memanjat, atau menggantung. Liana yang terdapat di hutan ini yaitu Akar Hisap, Akar Pembelit, Sirih hutan (Piper caducibrateum), Anggur hutan.
Kekayaan alam lainnya yakni Terna yang merupakan tumbuhan yang memiliki ciri khas berbatang lunak dikarenakan tidak memiliki unsur kayu di dalamnya. Terna juga dapat disebut herba dikarenakan tumbuhan jenis ini banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan tradisional atau modern. Jenis habitus terna yang ditemukan di Hutan Larangan Adat Imbo Putui yaitu Kantong Semar (Nepenthes Ampulari), Pakis haji (Cycas rumphii), rumput Teki (Cyperus rotundus), Keladi Neon, Pakis, Keladi, dan Daun seribu.
Jenis pohon langka yang didapat sebanyak 37 jenis dengan total individu yang ditemukan secara keseluruhan sebanyak 213 individu. Jenis pohon yang ada di Hutan Larangan Adat Imbo Putui yaitu Kompas (Kompasia mallensis), Trembesi (Samanea saman), Kulim (Scorodorocarpus borneensis), Pasak Bumi.
Kawasan ini memiliki keanekaragaman mamalia yang beragam, yakni 16 jenis mamalia terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung (Trachypithecus auratus), Siamang (Symphalangus syndacty), Beruk (Macaca nemestrina), Ungko (Hylobates agilis). Jenis-jenis mamalia besar seperti Kijang (Munaticcus muntjok), Kancil (Tragulusjovonicus) dan tapir (Tapirus indicus). WRI juga mencatat keanekaragaman burung yang dapat ditemukan di kawasan hutan adat ini terdapat 36 jenis.
Datuk Pucuk tidak menampik banyaknya dampak buruk dari operasional perusahaan sawit yang tentu saja merugikan masyarakat. Sejak akhir tahun 90-an, tempat pemijahan alami ikan Tapah mulai hilang. Kondisi tersebut lantaran sungai tercemar zat kimia dari limbah pemupukan dan penyemprotan sawit.
"Masalah pencemaran sungai itu, mereka (perusahaan) tidak punya parit, maka air dari kebun itu turun ke sungai dan membawa pasir, pada akhirnya sungai Petapahan jadi dangkal, yang mengakibatkan ikan sudah tidak bisa bertahan dan masuk lagi. Hingga kini, aktivitas perusahaan masih dijalankan, karena kita tidak ada bukti tertulis untuk lahan yang mereka pakai itu. Kita hanya berpedoman dengan norma atau peraturan yang berlaku dari nenek moyang," paparnya.
Sebagai masyarakat adat, Datuk Khaidir ingin keberlangsungan hutan adat Imbo Putui terus terjaga. "Masyarakat tetap mendukung penjagaan dan melestarikan hutan. Mungkin masyarakat tidak ada yang mengambil hasil hutan adat secara berlebihan, apalagi kini sudah ada penjaga yang bisa mengontrol hutan," tuturnya.
Konflik Tenurial Belum Berakhir
Hutan Adat Imbo Putui, Kenegerian Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar yang kini sedang bermasalah dengan sebuah perusahaan perkebunan sawit. Masyarakat adat masih berjuang menegakkan ulang ekosistem-ekosistem hutan adat dalam pusaran gravitasi perubahan budaya ekonomi sawit. Hal ini bermakna upaya mengembalikan nilai-nilai baik secara historis, baik budaya dan sosial di kenegerian Petapahan. Khususnya fungsi-fungsi ekosistem hutan adat Imbo Putui yang makin luruh akibat ekspansi perkebunan sawit.
Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan saat ini juga sedang mengajukan keluhan kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), asosiasi yang mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya memulihkan ekosistem hutan dan sungai yang sudah dirusak oleh kehadiran perkebunan besar sawit yang telah memiliki sertifikat RSPO. Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan menuntut tanggung jawab dari perusahaan yang telah hadir, melakukan ekspansi ke hutan adat, dan menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Desa Petapahan, Habib Bran’s juga tidak menampik sejumlah masalah serius timbul akibat operasional perusahaan sawit raksasa. Dampaknya mulai dari sungai yang tercemar akibat limbah pemupukan sawit, pendangkalan sungai karena perusahaan tidak meninggalkan DAS. Perusahaan sawit juga tidak membuat greenbelt.
"Terjadinya pendangkalan sungai disebabkan oleh sungai yang sudah diluruskan, sehingga tidak ada yang menopang menahan air untuk membuat lubuk. Lalu, parit-parit pabrik rata-rata mengalir ke sungai sehingga menyebabkan pendangkalan sungai akibat pasir yang terbawa oleh parit dan terjadinya kerusakan ekosistem sungai. Hal ini yang menyebabkan ikan tidak bertahan, seperti ikan Tapah. Dulu ada lereng, kini tidak ada," kata Habib.
Habib menjelaskan, saat ini lahan yang sudah disertifikasi oleh KLHK berjumlah 251 hektare, dan sisanya sebanyak 167 hektare dipakai oleh perusahaan yang telah mereka alih fungsikan. Perwakilan masyarakat adat maupun perusahaan sempat melakukan musyawarah. Namun, kata Habib, saat melakukan pertemuan, mereka tidak pernah membahas bagaimana cara untuk menyelesaikan dan mencari substansi atas permasalahan.
"Jadi, selama ini mereka (perusahaan) menyampaikan bahwa mereka benar. Sementara kita sebagai masyarakat adat menurut saya tidak perlu data, karena semua tersirat. Jadi, setiap ada pertemuan, saya tetap dengan penyampaian yang sama, kami ingin perusahaan mengembalikan 167 hektare dengan menumbangkan pohon sawit lalu diganti dengan tanaman hutan yang sebenarnya," tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua LPM Desa Petapahan, M Syafrul mengungkapkan bahwa masyarakat adat sudah mencoba dari tahun 2012 bergerak untuk melestarikan hutan demi kehidupan anak cucu ke depan. Dirinya menilai, dari hari ke hari populasi hutan kian berkurang. Karena keserakahan masyarakat mengubah hutan menjadi industri sawit. Kondisi ini terjadi baik di hutan, maupun di bekas perladangan masyarakat, bahkan sampah di pinggiran sungai.
"Kami selaku generasi muda, hutan adat Imbo Putui merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara hutan dan kampung. Karena memiliki nilai historis yg saling berkaitan. Harapannya, setelah kami tidak ada, untuk ratusan tahun ke depan hutan adat Imbo Putui ini tetap lestari, dia tidak tinggal di buku sejarah, tetapi tetap lestari. Karena hutan ini sudah ratusan tahun lalu atau ribuan tahun lalu. Jadi kami akan selalu menjaga hutan ini, sehingga anak cucu bisa melihat hutan lestari dan sejarah itu masih utuh," katanya.
Kawasan operasional perusahaan sawit di sekitar hutan adat Imbo Putui, Petapahan. (LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)
Dirinya tidak menampik, semenjak masuk perkebunan sawit, ada dampak negatif maupun positif yang dirasakan.
"Dampak positif dari adanya perusahaan ini adanya perhubungan (jalan), lapangan pekerjaan seperti petani sawit dan meningkatnya ekonomi. Tetapi, dengan adanya peningkatan ekonomi, budaya kita sedikit demi sedikit tergerus. Seperti budaya masyarakat mandi sungai, dulu, setiap hari berinteraksi. Kini, ketika air tersebut tidak layak lagi, budaya dan interaksi tersebut menghilang. artinya ada yang harus dikorbankan," ulasnya.
Masyarakat adat tetap meyakini wilayah—hutan adat mereka, walaupun sudah terjadi perubahan tutupan hutan oleh perusahaan.
Merek mengakui, karena sudah mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah sebagai hutan kelompok masyarakat adat melalui SK Bupati Kampar. Para datuk, pemuda adat serta masyarakat menyadari bahwa perusahaan menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem. Upaya penyelamatan hutan pun dibuktikan dengan pengajuan surat komplain ke RSPO, yang diajukan oleh masyarakat didampingi sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Bahtera Alam sebagai lembaga pendamping, sejak lima tahun terakhir mendampingi masyarakat adat di kenegerian Petapahan, dalam upaya mendorong pengakuan masyarakat hutan adat (MHA) secara legal. Kemudian mendorong pengakuan hutan adat. Mereka akhirnya mendapatkan SK dari Bupati Kampar dan juga Menteri Kehutanan yang SK tersebut diserahkan langsung oleh presiden saat berkunjung ke Riau pada tahun 2020.
"Kami juga mendampingi masyarakat terkait pengaduan konflik ke RSPO. Lahan yang 167 hektar itu merupakan keputusan dari datuk ninik mamak. Jadi saat ini kondisi sudah bukan hutan, telah menjadi kebun sawit. Masyarakat ingin dikembalikan dan silakan ambil sawitnya, masyarakat akan menanami kembali dengan tanaman hutan. Kenapa itu dilakukan? Para datuk menyebut itu merupakan amanah dari para leluhur terdahulu. Para leluhur telah menyerahkan hutan untuk dijaga dan dikembalikan bagaimana fungsi hutan semestinya. Itu lah yang diperjuangkan masyarakat adat," ulas Direktur Bahtera Alam, Harry Oktavian.
Perkebunan sawit di kawasan hutan adat Imbo Putui. (LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)
Dirinya menilai, masyarakat adat saat ini merasa wilayah adat mereka telah dikuasai oleh berbagai perizinan. Negara menetapkan kawasan hutan secara sepihak. Namun nyatanya wilayah tersebut tumpang tindih dengan kawasan masyarakat adat. Sengketa pertanahan di Riau beberapa puluh tahun belakangan ini umumnya disebabkan oleh izin konsesi untuk pembangunan wilayah perkebunan (sawit) dan hutan tanaman industri, yang membutuhkan penguasaan tanah dan lahan, bahkan kawasan hutan yang luas untuk kepentingan ekonomi kapitalis.
Sawit Watch, sebuah organisasi non pemerintah di Indonesia yang memiliki keprihatinan terhadap dampak-dampak negatif dari sistem perkebunan sawit skala besar juga berperan mendampingi upaya pengembalian hak-hak masyarakat adat.
"Intinya, masyarakat menuntut bagaimana tanah adat Imbo Putui 167 hektare yang dirampas perusahaan itu bisa dikembalikan. Ada harapan dan angin segar ketika komplain ke RSPO. Ini terbukti di sejumlah wilayah sudah dikembalikan (lahan). Kini, kami menunggu dari pihak RSPO dalam rangka proses yang sudah dimulai. Kami masih menunggu," ujarnya.
Pemerintah Peduli Kelestarian Hutan Adat
Pemerintah setempat, melalui Kepala Desa Petapahan menilai bahwa hutan adat Imbo Putui menjadi jantungnya Riau. Beberapa kali hutan adat Imbo Putui mendapatkan penghargaan baik di tingkat kabupaten, provinsi, nasional bahkan se Asia. Mereka mendapatkan penghargaan dalam upaya menjaga dan melestarikan hutan adat Imbo Putui.
Belum lama ini, Kepala Desa (Kades) Petapahan Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Riau Said Aidil Usman menjemput penghargaan Asia Award di ballroom Hilton Garden Inn Hotel Jakarta, Jumat 12 Januari 2024 malam. Desa Petapahan menjadi satu-satunya yang mendapat nominator Asia Award pada acara tersebut. Penilaian yang dilakukan berdasarkan assesment dan informasi dari team Asia Award Representatif Riau.
"Kami, terus mendukung dan peduli secara penuh dalam konteks melestarikan dan menjaga hutan adat Imbo Putui, karena hutan adat ini merupakan jantung kita semua. Sistem support-nya dengan menjaga, selain itu karena perkembangan zaman ini, kami berinovasi membuat objek wisata religi, seperti ekowisata. Hutan adat dikelilingi oleh anak sungai, yang disebut sungai emas Petapahan. Sekarang sudah menjadi ekowisata pemandian dan lokasi kemping," ujar Kepala Desa Petapahan melalui Kaur Perencanaan, Said Muhammad Faisal.
Terkait operasional perusahaan sawit, Faisal menyampaikan bahwa peran perusahaan untuk menjaga lingkungan mestinya harus ditingkatkan. Ia menyebut, tahun lalu sudah dilakukan normalisasi sungai, karena di sungai emas itu airnya jernih, terkecuali pada saat musim hujan yang mengakibatkan dari hulu sungai yang airnya keruh.
"Terkait pencemaran sungai yang disebabkan oleh perusahaan, tentu kita tidak bisa mengelakkan. Namun, setiap kemajuan kita harus siap untuk segala risiko, apalagi tentang perkebunan sawit. Sekarang untuk perkebunan pada aturannya sudah dilarang menanam tanaman di pinggiran sungai, agar sungai masih terjaga. Intinya, ada risiko yang harus diambil, karena perusahaan di sini tidak semua negatif. Hari ini, beberapa perusahaan hadir memberikan dampak positif. Harapan kita perlu ditingkatkan lagi kerjasama dalam membangun pada hutan adat dengan perusahaan ada di sekitar sini," sebutnya.
Di Pekanbaru, Gubernur Riau Edy Natar Nasution menggelar pertemuan bersama para pimpinan perusahaan sawit, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri, para bupati/wali kota, Forkopimda, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau terkait, lembaga adat, badan pertanahan, dan pemangku kepentingan lainnya di Gedung Daerah Balai Serindit, Rabu, 24 Januari 2024.
Edy Natar membeberkan tujuh sebab terjadinya konflik lahan yang selama ini terjadi di antara perusahaan dan masyarakat di Provinsi Riau. Konflik lahan tersebut salah satunya tuntutan pengembalian lahan masyarakat atas tanah yang sedang dalam proses perpanjangan HGU, lalu terdapat perusahaan perkebunan dan kebun masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.
Menurutnya, persoalan-persoalan yang menimbulkan konflik lahan harus segera diluruskan dan dicari solusinya. Maka dari itu, semua pihak yang terlibat dan berwenang harus bersama-sama membantu penyelesaian konflik ini.
"Terkait konflik ini, pentingnya peran kepala daerah untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan konflik dengan cara yang seadil-adilnya, agar tercipta sebuah keadilan di tengah masyarakat, sekaligus juga ada sebuah kepastian di lingkungan para pelaku usaha," jelasnya.
Edy Natar menyebut, saat ini Provinsi Riau memiliki kebun kelapa sawit terluas di Indonesia, dengan luas 3,38 juta hektare dari 16,8 juta hektare atau sebesar 20,08 persen dari kebun kelapa sawit nasional. Data tersebut sesuai dengan surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 833 Tahun 2019.
Berdasarkan data tutupan citra satelit terakhir luas kelapa sawit telah mencapai 3,9 juta hektare. Kemudian produk CPO di Riau pada 2022 sebanyak 7,9 juta ton CPO dari produksi nasional sebesar 45,6 juta ton. Sehingga share Riau ke nasional sebesar 18,06 persen.